Logika Pemerintahan

| ada 0 komentar

Pagi ini ada yang beda. Saya diminta Dr Fahmi Rasid,--koordinator sekretariat Tenaga Ahli Gubernur (TAG)--, mewakili kawan-kawan TAG untuk bicara di forum terhormat. Dialog interaktif bersama RRI. Di Aula Bappeda Provinsi Jambi yang sejuk ini, saya duduk bersama seorang ahli perencanaan, Pak Nico Fransisca. Dipandu duo host keren RRI, Akhmad Kharis dan Hasti Wulandari.

| ada 0 komentar

Gubernur Jambi waktu itu orangnya Bung Karno. Namanya M. Joesoef Singedekane. Bukan sekadar hubungan struktural antara pusat dan daerah. Ini soal personal. Orang-orang tua di Jambi dulu berbisik, sang gubernur masih punya hubungan kerabat dengan Ibu Fatmawati. Benar atau tidak, yang jelas Singedekane adalah representasi Sukarno di tanah Jambi. Kesayangannya.

Lalu datanglah badai itu. 1 Oktober 1965.

| ada 0 komentar

Bayangkan seorang petani kopi di lereng Gunung Kerinci. Bertahun-tahun hidupnya lurus saja. Panen, jual ke tengkulak, lalu selesai. Harga? Ya seikhlas pembeli. Ia tak pernah tahu bahwa harga robusta di pasar dunia sedang naik atau jatuh. Kabar dari kota butuh berhari-hari untuk tiba.

| ada 0 komentar

DATA itu langsung jadi perhatian serius Gubernur Jambi, Bapak Al Haris. Angka stunting kita di Jambi, oleh Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024, tercatat 17,1 persen. Ada kenaikan.

Bagi pemerintah, ini bukan sekadar statistik untuk bahan paparan. Ini adalah panggilan untuk bekerja lebih keras lagi. Terutama di wilayah seperti Tanjung Jabung Timur dan Tebo, di mana angkanya masih di atas 20 persen.

Maka, ketika program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah pusat bergulir, arahan Gubernur sangat jelas dan tegas, program ini harus kita "Jambi-kan".

| ada 0 komentar

Di Jambi, grafik stunting pernah membuat kita lega. Dari 22,4 persen tahun 2021, turun jadi 18 persen di 2022. Sebuah capaian yang di banyak daerah lain mungkin masih sulit dicapai. Sayangnya, angka itu kemudian bergerak ke 17,1 persen di 2024. Turun, tapi tidak sedrastis target, 12 persen.

Apakah ini kegagalan?

Tidak.

Ini lebih tepat disebut “pembelajaran”.

| ada 0 komentar

Sebentar lagi rapat koordinasi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Jambi akan digelar. Angka-angka akan dipaparkan. Grafik akan ditunjukkan. Ada kabar baik, Jambi disebut masuk sembilan besar nasional. Tentu sebuah capaian yang patut disyukuri. Tapi, demokrasi tak hanya soal angka. Demokrasi juga soal rasa. Rasa aman berdemonstrasi. Rasa percaya pada pemilu. Rasa yakin bahwa uang publik dipakai sebagaimana mestinya.

| ada 0 komentar

Olahraga dan kepemudaan selalu berada di ujung meja anggaran. Setiap kali APBD dibagi, porsi terbesar lari ke infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

Pemuda?

Olahraga?

Hanya sisa-sisa kecil yang seringkali tak cukup bahkan untuk sekadar memperbaiki lapangan atau mengirim atlet ke luar daerah.

Di situlah kita menemukan celah.

CSR.

| ada 0 komentar

Selama lebih 20 tahun, kursi itu hanya diisi tokoh dari provinsi-provinsi raksasa migas. Riau, Jawa Barat, Kalimantan Timur. Mereka adalah provinsi yang namanya sudah setara merk dagang di peta energi nasional.

Tahun ini, sejarah itu berbelok.

Panji Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan, ADPMET, diserahkan kepada Gubernur Jambi, Al Haris.

Bagi orang luar, mungkin itu sekadar pergantian pengurus.

Bagi warga Jambi, ini sejarah.

Bukan semua kepala daerah bisa memimpin 21 provinsi dan 60-an kabupaten/kota penghasil energi.

| ada 0 komentar

Dulu hanya S1 dan S3.

Itu pun dibatasi. Yang S3 harus dosen. Yang S1 hanya sekali seumur hidup. Itu pun untuk mahasiswa yang sedang kuliah. Dan mesti lolos seleksi ketat.

Kini berubah.

Tahun ini, Pemerintah Provinsi Jambi mulai membuka untuk S2. Dan, ini yang lebih penting, untuk umum.

Bukan lagi hanya dosen. Bukan lagi hanya akademisi. Tapi, siapa saja yang sedang mengejar ilmu lebih tinggi. Yang sedang membayar mahal untuk masa depan. Yang sedang investasi leher ke atas. Dan yang selama ini harus menunda karena tak punya cukup ongkos kuliah.

| ada 1 komentar

Saya ingin mengajak Anda ke satu ruangan yang tak banyak kamera menyala. Tapi justru dari sanalah akan dimulai nasib lima tahun ke depan.

Di podium Paripurna DPRD Provinsi Jambi, Gubernur Al Haris berdiri. Tak berteriak. Tak berdebat. Ia hanya membacakan. Tapi kalimat-kalimatnya mengandung pesan yang, bagi saya, lebih keras dari bunyi palu sidang.

“RPJMD ini bukan sekadar dokumen. Ini kompas. Ini kontrak. Ini tanggung jawab,” tegas Gubernur Al Haris.