Beasiswa Itu Tak Pernah Salah Alamat

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Logika Pemerintahan
IST

Dulu hanya S1 dan S3.

Itu pun dibatasi. Yang S3 harus dosen. Yang S1 hanya sekali seumur hidup. Itu pun untuk mahasiswa yang sedang kuliah. Dan mesti lolos seleksi ketat.

Kini berubah.

Tahun ini, Pemerintah Provinsi Jambi mulai membuka untuk S2. Dan, ini yang lebih penting, untuk umum.

Bukan lagi hanya dosen. Bukan lagi hanya akademisi. Tapi, siapa saja yang sedang mengejar ilmu lebih tinggi. Yang sedang membayar mahal untuk masa depan. Yang sedang investasi leher ke atas. Dan yang selama ini harus menunda karena tak punya cukup ongkos kuliah.

Saya melihat perubahan ini sebagai pengakuan. Bahwa, tak semua kecerdasan lahir dari kampus. Dan bahwa intelektualitas tak selalu punya status dosen.

Saya tahu, beasiswa bukan hal baru. Sejak dulu sudah ada. Tapi yang ini berbeda.

Yang ini menyapa. Masuk ke relung hidup yang paling gelap. Di mana anak-anak petani harus memilih antara lanjut kuliah atau membantu orang tua di kebun. Di mana mahasiswa semester akhir harus berpikir, bayar UKT atau bayar kos. Di mana dosen muda harus jual motor demi ongkos S3.

Program Dumisake, kini Pro Cerdas (nama beasiswanya), datang sebagai semacam pelampung di laut dalam. Tak menyelesaikan semua. Tapi membuat orang berenang lebih lama. Mungkin sampai daratan. Mungkin sampai cita-cita.

Saya tak hendak memuji Al Haris. Tapi saya juga tak tega mengabaikan fakta.

Selama tiga tahun pertama, lebih dari 15 ribu siswa miskin di Jambi menerima bantuan perlengkapan sekolah. Seragam, sepatu, buku, bahkan alat bantu dengar bagi yang tuna rungu. Ada 1.600-an siswa SMK swasta yang ditalangi SPP-nya oleh negara, karena orang tua mereka tak sanggup bayar. Dan ratusan mahasiswa, dari yang kuliah di Jember, Lampung, Palembang, hingga Makassar, dapat kucuran dana langsung Rp 15 juta. Cukup untuk bertahan satu semester, atau membeli laptop, atau melunasi UKT.

Saya tertegun saat membaca pengakuan mahasiswa asal Jambi di Yogyakarta yang bilang, “Gubernur kami mungkin tidak kami temui, tapi beasiswanya menyentuh hidup kami.” Kalimat itu bukan pujian. Itu pengakuan yang sulit dipalsukan.

Lebih menarik lagi, Al Haris tak hanya melihat pendidikan sebagai urusan sekolah. Ia melihatnya sebagai urusan masa depan daerah. Maka dari itu, ia menyasar para dosen. Mereka yang mengabdi di kampus-kampus kecil di Jambi. Yang mungkin sudah mengajar belasan tahun tapi ijazahnya mentok di S2. Kini, lebih dari 100 orang sedang menjalani studi doktoral. Beberapa bahkan ke luar negeri. Di balik angka itu, tersimpan investasi jangka panjang. Doktor lokal. SDM unggul. Dan, mudah-mudahan, anak-anak muda yang terinspirasi.

Tahun 2025, langkah itu naik satu tingkat.

Kalau dulu beasiswa hanya untuk S1 dan S3. Sekarang ditambah satu lapis lagi, S2.

Ada perluasan. Ada keberanian melonggarkan eksklusivitas. Dan ini harus dicatat.

Saya juga mencatat suara-suara sumbang. Dan itu wajar. Ada yang bertanya, kenapa hanya dosen yang dapat S3? Kenapa S2 tidak dianggarkan? Apakah beasiswa ini menjangkau anak petani di pelosok Kerinci? Atau hanya untuk mahasiswa yang kenal pejabat? Kritik-kritik itu valid. Tapi jawabannya bukan dihapuskan program ini. Jawabannya, perluas. Perbaiki. Tambah kuota. Perketat seleksi. Libatkan publik. Dan teruskan.

Karena beasiswa itu tak pernah salah alamat.

Saya kira, ini bukan lagi soal program. Tapi soal niat. Dan niat itu, kalau jujur, akan kelihatan dari cara pemerintah mengurus hal kecil. Seperti memberikan beasiswa ini. Seperti cara Gubernur Al Haris membelikan sepatu siswa, atau buku tulis anak yatim lewat program Pro Cerdas itu.

Saya tahu, masih banyak yang harus diperbaiki. Seperti proses seleksi. Seperti transparansi. Seperti soal “anak pejabat dapat juga”. Tapi bagi saya, kita bisa kritik sambil menjaga api baik tetap menyala.

Sebab di republik ini, yang benar-benar menyentuh rakyat tak banyak.

Saya masih berharap satu hal, agar ke depan, penerima beasiswa ini tak hanya menjadi orang sukses. Tapi menjadi orang yang menyadari bahwa mereka dulu pernah ditolong negara. Dan karenanya mereka harus kembali menolong yang lain.

Jika itu terjadi, beasiswa ini tak hanya melahirkan sarjana. Tapi juga manusia.

Dan manusia itulah yang akan menyelamatkan Jambi. Bukan angka IPM. Bukan grafik pertumbuhan. Tapi wajah-wajah yang pernah dicegah untuk menyerah.(*)

*MUAWWIN MM (Anggota TAG Jambi)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network

 

Terkait

Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar

Baca lainnya

Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar