Gubernur Jambi waktu itu orangnya Bung Karno. Namanya M. Joesoef Singedekane. Bukan sekadar hubungan struktural antara pusat dan daerah. Ini soal personal. Orang-orang tua di Jambi dulu berbisik, sang gubernur masih punya hubungan kerabat dengan Ibu Fatmawati. Benar atau tidak, yang jelas Singedekane adalah representasi Sukarno di tanah Jambi. Kesayangannya.
Lalu datanglah badai itu. 1 Oktober 1965.
Bagi banyak orang, ini soal PKI. Soal enam jenderal yang dibunuh. Tapi, di level kekuasaan tertinggi, ini adalah awal dari gergaji politik yang pelan-pelan menebang pohon beringin bernama Sukarno. Dan ketika pohon utama mulai goyang, ranting-rantingnya di daerah pasti ikut bergetar. Singedekane adalah ranting utama di Jambi.
Di Jakarta, panggung direbut oleh Soeharto. Perintahnya jelas, sikat semua yang berbau G30S, yang sejak detik pertama sudah dituduhkan pada PKI. Perintah itu sampai ke Jambi, diterima oleh Korem 042/Garuda Putih.
Di sinilah drama sesungguhnya dimulai. Jambi adalah provinsi yang taat memegang adat dan agama. PKI-nya lemah. Tak punya basis massa. Operasi ini bukan lagi soal ideologi. Ini menjadi alat untuk menguji loyalitas. Anda ikut komando Jakarta baru, atau masih setia pada Jakarta lama?
Gubernur Singedekane terjepit di posisi paling mustahil. Sebagai "orangnya Bung Karno", ia adalah simbol kekuasaan sipil yang sah. Sebagai perwira Polisi Militer, ia terbiasa dengan hukum dan prosedur. Tiba-tiba, di provinsinya sendiri, tentara bergerak di luar komandonya. Melakukan pembersihan terhadap PKI.
Di Jakarta, patronnya sedang digergaji. Di Jambi, kekuasaannya dipreteli hari demi hari. Ia mungkin mencoba melawan. Meminta agar semua sesuai prosedur hukum. Tapi di era chaos seperti itu, permintaan taat hukum bisa dengan mudah dituding sebagai "melindungi PKI".
Puncaknya datang setelah Surat Perintah 11 Maret 1966. Supersemar adalah surat serah terima kekuasaan de facto dari Sukarno ke Soeharto. Pohon beringin itu akhirnya tumbang. Tiga bulan kemudian, pada 16 Juni 1966, giliran rantingnya yang dipatahkan. Gubernur Singedekane resmi diberhentikan.
Tak perlu alasan yang rumit. Logikanya sangat lurus. Rezim baru di pusat butuh orang-orang baru yang loyalnya satu garis lurus ke Soeharto, bukan yang masih menengok ke Istana Merdeka tempat Sukarno semakin terisolasi. Singedekane, dengan cap "orangnya Bung Karno" yang begitu lekat, harus tersingkir.
Begitulah politik. Ia akan selalu memakan korban seiring naiknya orang lain di pusat kekuasaan. Kisah Singedekane adalah miniatur dari tragedi politik. Ia korban dari sisi yang berbeda. Laiknya Bung Karno, ia menjadi korban dari pergeseran lempeng kekuasaan.
Hari ini, 1 Oktober 2025, kita kembali memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Kesaktian Pancasila yang sejati bukan terletak pada kemampuannya bertahan dari rongrongan ideologi. Tapi bagaimana memberikan keadilan pada sejarah.
Jasmerah!!!(*)
MUAWWIN MM
Add new comment