DATA itu langsung jadi perhatian serius Gubernur Jambi, Bapak Al Haris. Angka stunting kita di Jambi, oleh Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024, tercatat 17,1 persen. Ada kenaikan.
Bagi pemerintah, ini bukan sekadar statistik untuk bahan paparan. Ini adalah panggilan untuk bekerja lebih keras lagi. Terutama di wilayah seperti Tanjung Jabung Timur dan Tebo, di mana angkanya masih di atas 20 persen.
Maka, ketika program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah pusat bergulir, arahan Gubernur sangat jelas dan tegas, program ini harus kita "Jambi-kan".
Apa artinya? Suksesnya program ini di mata Beliau bukan hanya diukur dari perut anak yang kenyang dan angka stunting yang turun. Tapi, yang tak kalah penting, harus diukur dari seberapa besar perputaran uang dari program ini dinikmati oleh petani, peternak, dan nelayan kita di Jambi.
Programnya bagus. Niatnya mulia. Tapi program dari Jakarta itu ibarat resep masakan. Koki-nya ada di kita. Di Jambi. Mau jadi masakan lezat dan bergizi, atau malah jadi hidangan hambar dan basi?
Uji coba sudah dimulai. Di Kota Jambi. Di Batang Hari. Saya lihat foto-fotonya. Anak-anak tersenyum. Senang. Tentu saja. Siapa tak suka dapat makanan gratis. Tapi saya, anda, kita semua, termasuk pak Gubernur, tentu tak mau berhenti di senyum itu. Kita mau tahu, telur di piring mereka itu telur dari peternak mana? Sayurannya dari kebun siapa?
Jangan-jangan, telurnya dari peternak besar di Jakarta. Dagingnya dari perusahaan beku di Surabaya. Kalau begitu, program ini gagal. Gagal total.
Ya, anaknya kenyang. Tapi peternak lokal kita tetap merenung. Petani kita tetap bingung mau jual hasil panen ke mana. Uang triliunan dari program ini hanya akan ‘lewat’ saja di Jambi. Numpang lewat. Lalu kembali lagi ke kota-kota besar.
Ini yang harus kita cegah. Mati-matian.
Saya membayangkan sebuah sistem. Di Tebo, di mana angka stuntingnya tinggi, para petani ubi kayu, jagung, dan sayur dikumpulkan. Bukan oleh pemerintah. Tapi oleh Koperasi. Ya, Koperasi Merah Putih yang sedang digagas itu harus jadi otaknya.
Koperasi membeli hasil panen mereka. Dengan harga layak. Lalu Koperasi mengolahnya di dapur-dapur umum yang sudah dibantu siapkan oleh TNI dan Polri. Dari dapur itu, makanan didistribusi ke sekolah-sekolah terdekat.
Sederhana?
Tidak.
Tentu tidak.
Tantangannya banyak. Siapa yang mau nalangin (membayar di muka) biaya produksi?
Kabarnya, sistem pembayaran dari pusat memakai model reimburse. UMKM atau koperasi kecil bisa kehabisan napas kalau harus menalangi dulu. Ini harus dicarikan solusinya. Harus.
Lalu soal logistik. Mengantar makanan setiap hari ke sekolah-sekolah di pelosok bukan perkara gampang. Butuh manajemen rantai pasok yang cerdas. Efisien.
Kritik juga sudah terdengar dari pelaksanaan awal. Menunya monoton. Terkesan seremonial. Nah, ini akibatnya jika kita hanya berpikir ‘yang penting program jalan’. Kalau basisnya adalah potensi pangan lokal, menunya pasti bisa beragam. Hari ini ikan patin dari nelayan Tanjab Timur, besok olahan ubi dari petani Tebo, lusa ayam dari peternak Batang Hari.
Rabu hari ini, 24 September 2025, Rabuan Series Tenaga Ahli Gubernur Jambi mengumpulkan semua pihak di Bappeda. Ini bukan sekadar rapat. Bukan untuk mendengar paparan. Niatnya ingin ini jadi sebuah ‘akad’. Akad bersama.
Akad bahwa program ini adalah milik orang Jambi. Uangnya harus berputar di Jambi. Setiap piring nasi yang disajikan untuk anak-anak kita, harus menjadi rupiah yang masuk ke kantong petani, peternak, dan nelayan Jambi.
Ini bukan lagi soal menurunkan angka stunting. Ini soal membangun harga diri ekonomi daerah. Kita diberi kail, bukan ikan. Mari kita gunakan kail ini untuk memancing di kolam kita sendiri. Bukan malah membeli ikan dari kolam tetangga.(*)
MUAWWIN MM (TAG)
Add new comment