Proyek pembangunan jalan rigid beton sepanjang 10,9 km di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim), Jambi, yang dibiayai melalui program CSR (TJSL) PT PetroChina Jabung Ltd, kini menjadi sorotan. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Tahun 2025 menyebut proyek ini bermasalah dari sisi kualitas konstruksi dan pengelolaan anggaran.
Proyek ini dikerjakan Dinas PUPR Tanjabtim melalui skema swakelola, bukan lewat kontraktor pihak ketiga. Dana berasal dari PetroChina. Tapi, dikelola langsung dinas tanpa melalui kas daerah. Artinya, proyek tidak tercatat dalam APBD maupun laporan keuangan resmi pemerintah daerah.
Dua ruas terakhir rampung Oktober 2024 dan diserahterimakan ke Pemkab. Total panjang jalan rigid beton tahun 2024, 6 km. Semuanya menggunakan beton mutu K-300 dengan lebar 5 meter dan bahu jalan 1 meter.
Audit fisik oleh BPK dilakukan April 2025. Sebanyak 66 sampel beton diuji di laboratorium. Hasilnya, tidak satu pun mencapai standar mutu minimum (fc’ 25 MPa).
- Di ruas Pandan Lagan – Pandan Jaya: hanya 2 sampel > 20 MPa, sisanya di bawah.
- Di ruas Simpang Blok D – Batas Mendahara: mayoritas hanya 15–20 MPa, bahkan ada yang < 15 MPa.
Selain itu, BPK menemukan kekurangan volume timbunan tanah bahu jalan sekitar 2.055 m³, dari seharusnya 8.825 m³. Uji CBR tanah bahu juga hanya 7%, padahal minimum 10%. Bahu jalan disebut “mudah tergerus” dan tak sanggup menahan beban.
Yang lebih mengkhawatirkan, dana CSR PetroChina tidak tercatat dalam APBD maupun Laporan Realisasi Anggaran. Dinas PUPR justru membuka rekening sendiri atas nama “Dana CSR Kegiatan Jalan” tanpa izin Bupati atau BUD.
Menurut BPK, hal ini melanggar PP No. 12 Tahun 2019:
- Pasal 120: semua penerimaan dan pengeluaran harus melalui RKUD.
- Pasal 123: penerimaan tak boleh langsung dibelanjakan.
- Pasal 128: pembukaan rekening harus atas izin Bupati.
- Pasal 141: pengeluaran harus didukung bukti sah.
Fakta lainnya, pertanggungjawaban proyek minim dokumen valid. Banyak bukti hanya berupa kwitansi kosong, rekap tanpa tanda tangan, atau surat jalan tanpa harga.
BPK menyimpulkan transaksi CSR tidak dapat diyakini keabsahannya. Dana ditarik tunai, dikelola langsung, tanpa pengawasan anggaran resmi.
Dinas PUPR berdalih proyek ini bukan hibah uang, melainkan "hibah natura" sesuai pedoman CSR SKK Migas. Mereka menganggap karena bukan hibah resmi, maka tidak perlu dimasukkan ke APBD.
Namun BPK menolak dalih itu. “Kalau memang skema hibah barang, seharusnya output jalan rigid 6 km dicatat sebagai aset daerah,” tegas BPK.
Kenyataannya, pencatatan aset pun tidak lengkap dan tanpa mekanisme anggaran yang sah. Model pengelolaan ini menciptakan ruang gelap keuangan publik.
Meski dana berasal dari CSR, bukan APBD, BPK tetap menilai ada kerugian potensial. Misalnya kekurangan volume timbunan tanah setara ~Rp308 juta jika dikalikan harga Rp150.000/m³.
“Pekerjaan yang tidak memenuhi spesifikasi dapat dikategorikan sebagai kerugian,” tulis BPK dalam laporan yang telah diserahkan ke Bupati Tanjabtim.
Kualitas jalan di bawah standar memperbesar risiko kerusakan dini, mengharuskan Pemkab mengeluarkan biaya perbaikan tambahan lebih cepat dari seharusnya.
BPK juga menemukan pola serupa di unit lain. Dana CSR PetroChina untuk BPBD, Damkar, dan satu SD negeri juga tidak dicatat dalam laporan keuangan daerah.
Pola off-budget ini dinilai sudah sistemik di Tanjabtim, bukan hanya di Dinas PUPR.
Masyarakat mungkin berpikir. “Kalau dananya CSR, apa salahnya?” Tapi BPK RI mengingatkan, begitu infrastruktur dibangun dan dimanfaatkan oleh Pemkab, maka proses dan hasilnya tetap harus akuntabel.
Uang boleh dari luar, tapi tanah, tenaga ASN, dan pemanfaatannya adalah milik rakyat. Maka pertanggungjawabannya juga milik publik.
BPK telah merekomendasikan kepada Bupati Tanjabtim untuk menertibkan pengelolaan dana CSR ke depan. Sementara itu, kualitas jalan ini akan menjadi ujian, apakah proyek yang digagas dengan semangat baik, benar-benar memberi manfaat atau justru menyisakan masalah.(*)
Add new comment