Baku Hantam Berdarah di Balik Fee Holding

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Kriminal
IST

Matahari baru saja menampakkan diri di langit Desa Bukit Peranginan, Kecamatan Mandiangin, Sarolangun, Kamis, 17 Oktober 2024. Pagi itu, langit tampak cerah, dan embusan angin membawa aroma segar dedaunan. Namun, di sebuah pos simpang PT JTSP, suasana berbeda mulai membayangi. Dua pria, yang sebelumnya bersahabat, berdiri berhadapan dalam ketegangan yang tak terelakkan.

IS, dengan wajah yang sudah memerah oleh amarah, berdiri tegap di depan J. "Kau tahu kan, aku hanya minta fee itu. Kau harus bantu menyampaikannya!" suaranya bergetar, jelas memendam kekecewaan.

J, lelaki berusia 36 tahun yang dikenal tenang, menggeleng perlahan. “Aku sudah bilang, tak ada jalur untuk itu. Bukan urusanku,” jawabnya datar, tak ingin memperkeruh suasana. Namun, bagai menyiramkan bensin ke api yang mulai menyala, jawaban itu justru memicu amarah IS lebih jauh.

Tanpa berpikir panjang, IS mengayunkan tangannya, memukul pipi J dengan keras. Pukulan itu membawa getaran yang dalam, tak hanya pada tubuh J, tetapi juga pada suasana di sekitar mereka. Warga yang berada di sekitar simpang itu mulai memperhatikan, namun tak ada yang berani melangkah maju.

J yang sebelumnya tenang, kini mulai kehilangan kendali. Rasa sakit di pipinya membakar harga dirinya. Ia berbalik menuju mobilnya, mengambil sebilah parang yang selalu ia simpan di sana. Tanpa berkata apa-apa lagi, J berlari ke arah IS, dengan senjata tajam di tangannya, siap untuk menuntaskan kemarahannya.

Darah yang Tumpah

IS mencoba melarikan diri, namun di tanah berkerikil dan licin, langkah kakinya goyah. J dengan cepat mendekat, dan dalam satu ayunan tegas, parang itu mengenai punggung IS. Jeritan kesakitan pecah di udara yang sebelumnya hening.

Seperti adegan yang terlambat, warga sekitar baru tersadar dari keterkejutan mereka. Beberapa orang berlari, mencoba melerai. Namun, segalanya sudah terlambat. Darah mulai membasahi pakaian IS yang kini terjatuh di tanah, sementara tangan kirinya juga terkena sabetan senjata tajam.

J yang semula terbakar emosi, tiba-tiba tersadar. Parang yang masih berlumuran darah di tangannya terasa berat, bukan hanya karena benda itu sendiri, tetapi karena kesadaran yang menghantam dirinya. Ia menatap tubuh IS yang tergeletak di tanah, diiringi oleh pandangan takut dan cemas dari warga yang kini mengerumuni mereka.

“Apa yang sudah kulakukan?” gumam J, pelan, hampir tak terdengar. Tubuhnya gemetar, tidak karena kelelahan, tetapi karena rasa bersalah yang mulai menjalari dirinya.

Penyerahan Diri

Setelah beberapa warga berhasil membawa IS ke rumah sakit terdekat di Durian Luncuk untuk mendapatkan pertolongan medis, J merasa tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menyerahkan diri. Ia tahu, apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Perbuatannya telah mencoreng tidak hanya dirinya, tetapi juga desa yang selama ini menghormatinya sebagai pribadi yang pendiam dan taat aturan.

Dengan langkah yang berat, J berjalan menuju Polsek Mandiangin. Kepalanya tertunduk, tangan yang masih memegang parang kini terasa seolah menjadi bukti kutukan yang tak terhapuskan. Ketika ia tiba di kantor polisi, Kapolsek AKP Wahyu Seno Jatmiko menyambutnya dengan tatapan tegas namun penuh pengertian.

“Aku menyerahkan diri,” kata J lirih, menyerahkan parang yang digunakan untuk menyerang IS. Kapolsek menerima senjata itu, lalu memerintahkan anak buahnya untuk membawa J ke ruang tahanan. J tak melawan. Ia tahu, ini adalah akhir dari segalanya.

Motif di Balik Amarah

Dalam interogasi, J menceritakan semuanya. Cekcok yang terjadi antara dirinya dan IS berawal dari masalah yang tampak sepele, namun menjadi bara yang tak terkendali. IS meminta fee holding dari PT DKK, namun J menolak untuk menyampaikan permintaan itu karena tak ada jalur resmi. Penolakan itulah yang membuat IS marah besar, memicu perkelahian yang berujung tragis.

"Saya tidak ada maksud menolak hanya karena saya tak bisa. Saya bukan orang yang punya akses ke sana," kata J, menunduk dengan nada penuh penyesalan. "Tapi dia memukul saya, dan saya tak bisa menahan diri."

Kapolsek menggeleng pelan. Kasus seperti ini bukan hal baru di wilayah mereka, namun jarang ada yang berakhir dengan kekerasan separah ini. Masalah fee holding seringkali memicu ketegangan di antara warga yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan besar.

“Sekarang, kau harus bertanggung jawab atas apa yang kau lakukan,” kata Kapolsek tegas, meski di balik sikap tegas itu tersimpan rasa iba. J, yang sebelumnya adalah warga biasa, kini menghadapi ancaman lima tahun penjara atas pelanggaran Pasal 351 KUHP.

Penantian

Di dalam sel tahanan, J merenung. Setiap detik terasa seperti penantian yang tak kunjung berakhir. Di luar sana, kabar tentang dirinya menyebar cepat. Beberapa orang memahaminya, beberapa mengutuknya. Namun, yang paling menyakitkan bagi J adalah kenyataan bahwa ia telah melukai temannya sendiri, seorang yang dulunya ia hormati.

Sementara itu, di rumah sakit, IS tengah menjalani perawatan intensif. Luka di punggung dan tangannya memerlukan waktu untuk sembuh, namun luka di hatinya akan memakan waktu lebih lama lagi. Di sudut kamar rumah sakit, IS memikirkan kembali pertengkaran yang hampir mengakhiri hidupnya. Ia tahu, keserakahannya atas fee itu telah memicu bencana yang seharusnya bisa dihindari.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network