Di Bukit Bulan, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, jalan utama yang menghubungkan enam desa menjadi saksi bisu sebuah ironi: tanah yang subur di sekitarnya tak mampu menutupi getirnya lumpur yang menghambat roda kehidupan warganya. Lubang-lubang menganga di permukaan jalan seolah menjadi pengingat bagaimana pembangunan kadang abai pada mereka yang berada di tepian peta.
Hujan deras yang mengguyur beberapa hari terakhir memaksa jalan penghubung Desa Lubuk Bedorong, Temalang, Meribung, Napal Melintang, Mersip, dan Berkun menyerah pada takdirnya—menjadi lintasan licin yang lebih mirip kubangan daripada akses vital. Truk pengangkut sembako kerap tergelincir, motor-motor warga tertatih-tatih mencari pijakan di antara lumpur.
“Jalan ini urat nadi kami,” kata Al Quroi, seorang warga Desa Lubuk Bedorong, sambil menunjuk kendaraan roda dua yang terjebak lumpur. “Setiap hari kami melintasinya untuk membawa hasil panen atau mengambil sembako dari pasar. Sekarang, setiap perjalanan menjadi pertaruhan.”
Cerita kerusakan jalan ini bukanlah kabar baru. Jalan yang masuk dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten Sarolangun itu seakan terlupakan. Pengaspalan atau pengecoran beton tak pernah menjadi bagian dari sejarahnya. Selama bertahun-tahun, warga hanya bisa bergantung pada kondisi alam dan perbaikan seadanya.
Namun, kerusakan kali ini terasa lebih parah. Lubang besar menghiasi hampir setiap meter, lumpur menjadi rintangan berat, dan licinnya permukaan jalan kerap membahayakan pengendara. Mereka yang tetap nekat melintas tahu risiko yang dihadapi, tetapi kebutuhan hidup memaksa mereka untuk terus melangkah.
“Kalau begini terus, bagaimana ekonomi kami bisa jalan?” ujar Al Quroi dengan nada getir. Pasokan bahan pokok dari Pasar Sarolangun menjadi mahal karena biaya transportasi melonjak. Hasil tani warga juga sulit dipasarkan. Sebuah dilema yang menggantungkan solusi pada perbaikan jalan.
Perjalanan melintasi jalan ini kini seperti medan laga. Truk yang biasa membawa sembako terlihat terhenti di tengah jalan, rodanya terperosok lumpur. Anak-anak sekolah yang biasanya bersepeda kini harus berjalan kaki, sepatu mereka berlumpur hingga ke betis. Di beberapa titik, warga bekerja bersama-sama mendorong kendaraan yang terjebak.
Namun, kondisi ini tak hanya melumpuhkan mobilitas. Ia juga merenggut asa. Banyak warga merasa pemerintah seakan memalingkan muka dari kebutuhan mereka. “Apa kami harus terus begini? Paling tidak kirimkan alat berat untuk membuat jalan ini layak dilalui,” pinta Al Quroi.
Kerusakan jalan di Bukit Bulan tak ubahnya sebuah simbol—tentang mereka yang terpinggirkan, baik secara geografis maupun dalam prioritas pembangunan. Jalan yang mestinya menjadi penghubung justru menjadi penghalang. Ironi ini menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Kabupaten Sarolangun.
Di tengah lumpur, harapan tetap menyala. Warga berharap perbaikan segera datang, meski hanya sementara. Sebab bagi mereka, jalan ini bukan sekadar akses; ia adalah urat nadi yang mengalirkan kehidupan ke desa-desa kecil di Bukit Bulan.
“Ini bukan soal kami saja,” kata Al Quroi. “Ini soal bagaimana pemerintah melihat kami sebagai bagian dari mereka.”
Harapan itu kini bergantung pada kepedulian pemerintah. Sebab di antara kubangan lumpur yang menghambat roda kendaraan, ada kehidupan yang terus berjalan, meski dengan tertatih-tatih. (*)
Add new comment