Proyek Pembangunan Jalan Lingkungan Paket II di Kabupaten Bungo tampaknya menyimpan lebih dari sekadar jalan tak beraspal. Dalam laporan resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Tahun 2025, proyek senilai Rp 1,34 miliar itu disebut tak selesai, jaminan pelaksanaan tak dicairkan, dan denda keterlambatan tak ditagih.
Proyek yang berlokasi di Desa Sungai Lilin dan Jalan Payo Gedang itu seharusnya menyambungkan akses warga dengan aspal yang rapi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kontraktor tak mampu menyelesaikan pekerjaan, dan daerah menderita kerugian hingga Rp 474 juta.
BPK mencatat dua pelanggaran. Jaminan pelaksanaan senilai Rp 403 juta tidak pernah masuk kas daerah, dan denda keterlambatan sebesar Rp 70 juta tak pernah ditagih. Sementara pembayaran proyek sudah mencapai 43%.
Lebih mengejutkan, BPK menyebut tak ada dokumen pemutusan kontrak secara resmi. Padahal ini adalah syarat mutlak untuk mencairkan jaminan pelaksanaan.
Seiring dengan audit BPK yang menyita perhatian publik, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) turun tangan. CV Grand Indo Mandiri, kontraktor pelaksana proyek, dijatuhi sanksi daftar hitam. Berlaku selama setahun penuh: 24 Juli 2025 hingga 23 Juli 2026.
Alasan sanksinya tak main-main. “Penyedia tidak melaksanakan kontrak, tidak menyelesaikan pekerjaan, dan kontrak diputus secara sepihak oleh PPK akibat kesalahan penyedia.”
Regulasinya jelas merujuk pada Peraturan LKPP No. 4 Tahun 2021.
Namun Dinas PUPR Bungo punya narasi berbeda.
Kabid Bina Marga Dwi Herwindo Sudarmanto menyebut kontrak sudah diputus dan jaminan sudah ditagih. Bahkan, katanya, surat pemutusan kontrak sudah ditandatangani oleh PPK dan pihak penyedia, saat BPK masih melakukan audit.
Ia juga menjelaskan bahwa penyedia telah diberi dua kali kesempatan. 50 hari pertama, dan tambahan waktu atas dasar progres pekerjaan dan keberadaan alat berat di lokasi.
“Peralatan seperti finisher dan TR sudah ada. Tapi memang aspalnya belum tersedia,” kata Dwi.
Ia juga menyinggung bahwa keterlambatan proyek terjadi karena penyedia kesulitan dana, dan sempat beredar kabar soal ‘dana dari oknum’ yang tak kunjung cair.
“Kalau soal dana dari pihak luar, kami tidak menelusuri sampai ke sana,” katanya.
Namun fakta dokumen berkata lain. BPK secara resmi menyatakan tidak menemukan dokumen pemutusan kontrak dalam hasil audit. Tanpa itu, jaminan pelaksanaan tak bisa dicairkan, dan denda tak dapat dikenakan. Dalam pengadaan, inilah titik krusial, prosedur, bukan perkataan.
Inilah benturan besar antara klaim PUPR dan hasil audit negara.
Menanggapi polemik ini, LPI Tipikor bersuara keras. Jubirnya, Aidil Fitri, menyebut kasus ini sudah terang benderang.
“Ada temuan BPK. Ada sanksi blacklist. Tidak ada dokumen putus kontrak. Jaminan tak cair. Denda tak ditagih. Ini sudah masuk potensi pidana,” ujarnya.
Ia mendesak Kejati Jambi segera turun.
Aidil juga mengkritik pengawasan PUPR yang dinilai terlalu longgar. “Kalau pengawas bekerja maksimal, tak mungkin kontraktor diberi dua kali kesempatan dan tetap gagal beli aspal,” ucapnya.(*)
Add new comment