Fenomena "Blending" Batubara di Jambi, Hingga Keuntungan Trader dan Nestapa Pemilik IUP (2)

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Berita
IST

Jambi Link akan mengulas kilas balik problematika batubara di Jambi, secara berseri, untuk memberikan informasi utuh kepada publik. Kami bekerja untuk publik, untuk republik. kali ini, kami akan menyoroti fenomena industri batubara di Jambi, terkait praktik "blending", keuntungan besar bagi trader hingga kerugian yang dialami pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP).

***

Sumber Jambi Link dari kalangan pengusaha batubara mengungkapkan, fenomena pencampuran batubara kalori tinggi (GAR tinggi) dengan batubara kalori rendah marak terjadi. Di mana-mana, praktik ini sudah lazim terjadi.

Menurutnya, ini tidak salah. Tergantung pembeli dan kebutuhan. Acapkali, trader alias pembeli memang mencari batu hasil blanding. Praktik blanding ini, kata dia, biasanya menggunakan 70 persen batubara gar rendah yang dicampur dengan 30 persen batubara gar tinggi.

"Praktik ini sudah lazim. Makanya, Batubara Gar rendah tetap dicari orang. Di Jambi, rata-rata batubaranya gar rendah," ujarnya.

Yang jadi masalah, jika pembeli telah menetapkan spek batubara, misalnya PLTU. Batubara hasil blanding yang tidak sesuai spek, tentu bisa menjadi celah kerugian negara alias korupsi.

Karena itu, ia menyebut bisnis batubara hingga sekarang masing menguntungkan. Masih menjadi primadona. Uang yang berputar di bisnis ini hitungannya puluhan hingga ratusan miliar.

"Keuntungan dari bisnis ini miliaran. Banyak orang mendadak kaya dari bisnis ini. Tapi, banyak juga yang jatuh bangkrut dari bisnis ini. Karena di sini, mafianya banyak juga,"jelasnya.

Ihwal potensi bisnisnya, wabil khusus di Jambi, ia menjelaskan para trader dan pengelola angkutan lebih banyak memperoleh keuntungan. Sedangkan bagi pemilik IUP justru menjadi mimpi buruk.

"Untuk kondisi di Jambi, yang mulut tambang jauh dari pelabuhan, faktanya selama ini yang kaya adalah para trader dan pemain DO angkutan. Mereka bisa mendapatkan upah Rp180 ribu per ton untuk pengangkutan dari Mandiangin ke Talang Duku," ungkapnya.

Biasanya, kata dia, trader dan jasa pengangkut didominasi pengusaha yang memiliki beking kuat.

Bahkan, karena menggiurkannya bisnis jasa angkutan ini, banyak oknum pejabat yang ikut cawe-cawe terjun ke bisnis ini. Sumber itu menjelaskan, saat jalur darat di buka beberapa waktu lalu, ada oknum pejabat yang ikut bermain di angkutan batubara. Sekitar 300 unit kendaraan miliknya turut beroperasi dalam pengangkutan batubara.

"Pejabat itu punya orang yang dipercaya untuk mengelola. Ada yang bertanggung jawab atas mobilisasi ke Talang Duku, sementara ada yang mengurus pengangkutan ke Pelabuhan Integra di Tungkal," ujarnya.

Ia juga menyoroti posisi trader yang mendominasi keuntungan tanpa menanggung risiko besar.

"Trader ini hanya membeli batubara saat ada stok, menyewa transportasi, dan tidak menanggung beban operasional besar. Sementara pemilik IUP, yang harus mematuhi target Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), justru menjadi kambing hitam saat target tidak tercapai," tambahnya.

Bagaimana dengan mobilisasi di sungai?

"Sama saja. yang mengeruk untung besar tetap pada trader dan jasa angkut kapal. Mereka yang bermain di ranah ini tidak punya resiko,"katanya.

Pemilik IUP mengaku terus merugi dalam tiga tahun terakhir. Salah satu pengusaha menyebut telah kehilangan hingga Rp20 miliar akibat biaya operasional yang tinggi dan ketidakpastian regulasi.

"Harga batubara kalori rendah jatuh di pasaran, kami hanya bisa menjual Rp450 ribu per ton. Dari harga itu, sebagian besar habis untuk transportasi dan operasional. Keuntungan untuk kami paling tinggi hanya Rp50 ribu per ton," ujarnya.

Situasi ini diperparah dengan ancaman sanksi dari pemerintah jika target RKAB tidak tercapai.

"Kami yang mengajukan kemampuan produksi sekian ton per bulan, tapi dengan kondisi sekarang, sulit mencapainya. Ironisnya, kami yang disanksi, bukan trader atau pengelola angkutan. Kalau mereka gak punya resiko," jelasnya.

Penerapan regulasi yang sering berubah-ubah menjadi tantangan lain bagi pemilik IUP. Mereka harus terus menyewa alat berat dan membayar biaya operasional meski kebijakan pemerintah kerap tidak konsisten.

"Regulasi yang tidak jelas membuat kami sulit mengambil keputusan strategis. Sewa alat terus berjalan, sementara harga jual batubara kalori rendah tidak cukup untuk menutup biaya," kata pengusaha tersebut.

Fenomena ini menambah kompleksitas polemik batubara di Jambi. Selain persoalan kemacetan dan kerusakan infrastruktur, kini muncul isu ketimpangan dalam pembagian keuntungan.(Bersambung)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network