Video pendek soal “pembebasan” seorang pemuda yang disebut kecanduan gim dan sempat dikurung, merambat cepat di media sosial dan sampai ke ponsel Hasan Basri Agus (HBA). Anggota DPR RI Komisi VIII dari Dapil Jambi itu mengaku tergerak sekaligus waswas.
“Yang saya kuatirkan, apa masih ada di Jambi. Dulu ada program pelepasan yang dipasung periode 2010–2015,” kata HBA kepada Jambi Link/Jambi Satu, Minggu (10/8).
Video yang dimaksud bisa dilihat di sini: https://vt.tiktok.com/ZSHsaVPLN5JGh-SaHvu/
HBA bukan orang asing bagi isu ini. Saat menjabat Gubernur Jambi (2010–2015), ia mendorong gerakan bebas pasung sebagai bagian dari agenda Jambi Emas. Seruan agar tak ada lagi warga dipasung diarahkan ke layanan rumah sakit jiwa.
Sebagai gubernur kala itu, HBA turun langsung ke rumah-rumah warga, mengajak agar keluarga membawa anggota yang mengalami gangguan jiwa ke fasilitas kesehatan, bukan memasung di rumah.
Kini, sebagai legislator, HBA menilai fenomena “drama penyelamatan” di media sosial rawan menyederhanakan masalah.
“Kemanusiaannya menyentuh, tapi penyelesaiannya harus standar, asesmen tenaga profesional, rujukan medis, bukan kurungan,” ujarnya.
Secara kebijakan, klasifikasi “gaming disorder” (gangguan bermain gim) memang sudah diakui Organisasi Kesehatan Dunia dalam ICD-11. Dengan kriteria jelas seperti kehilangan kontrol, prioritas berlebih pada gim, dan terus berlanjut meski berdampak negatif. Artinya, penanganan mesti berbasis evaluasi klinis, bukan stigma.
HBA menambahkan, momentum viral seharusnya dipakai untuk mengecek ulang praktik-praktik lama di lapangan.
“Kalau masih ada kasus pasung di Jambi, hentikan. Itu tugas pemerintah daerah, nakes, dan tokoh masyarakat untuk memastikan warganya dirawat secara manusiawi,” ujarnya.

Program Bebas Pasung di Provinsi Jambi Era Gubernur Hasan Basri Agus (2010–2015)
Pada masa kepemimpinan Gubernur Hasan Basri Agus (HBA) tahun 2010–2015, Pemerintah Provinsi Jambi mencanangkan program “Jambi Bebas Pasung” sebagai bagian dari visi Jambi EMAS 2015. Dengan target menghapus praktik pasung terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di seluruh Indonesia.
Di tingkat daerah, komitmen Jambi diwujudkan melalui Peraturan Gubernur Jambi Nomor 48 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Korban Pasung Psikotik, yang menjadi landasan hukum pelaksanaan program bebas pasung di provinsi ini.
Pergub ini mengatur langkah penanganan menyeluruh mulai dari pendataan, pembebasan, perawatan di rumah sakit, hingga reintegrasi ODGJ pasca-pasung ke masyarakat.
HBA menegaskan bahwa ia “tidak ingin lagi ada masyarakat di Jambi yang kena pasung”. Ia terus menerus mengimbau keluarga yang memiliki anggota ODGJ agar segera melapor dan membawa mereka ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk mendapat perawatan.
Program Jambi Bebas Pasung mulai berjalan sejak sekitar tahun 2011 (tiga tahun pertama program telah berjalan hingga awal 2014). Upaya ini menjadi prioritas Pemprov Jambi di sektor kesehatan dan sosial selama era HBA, dengan harapan Provinsi Jambi bebas dari pasung paling lambat tahun 2014–2015.
Program bebas pasung di Jambi melibatkan kerja sama lintas sektor. Dinas Kesehatan Provinsi Jambi berperan melalui RSJ Daerah Provinsi Jambi sebagai garda terdepan penanganan medis ODGJ korban pasung. Tim RSJ dibentuk untuk melakukan penjangkauan (jemput pasien) ke lapangan, memberikan perawatan intensif di rumah sakit, kemudian mengantar kembali pasien ke keluarga setelah kondisi stabil, serta melakukan pemantauan lanjutan (monitoring).
Konsep pelayanan ini dikenal dengan nama Program “Jerawat Papa” (Jemput, Rawat, Antar, Pantau). Di RSJ tersedia layanan psikiatri, psikolog klinis, dan terapi rehabilitasi (meski jumlah tenaga spesialis kesehatan jiwa masih terbatas).
HBA menggerakkan Dinas Sosial Provinsi Jambi yang berperan dalam aspek rehabilitasi sosial dan reintegrasi. Setelah pasien ODGJ selesai menjalani perawatan medis, Dinsos memastikan mereka mendapatkan pembinaan lanjutan, misalnya merujuk ke panti rehabilitasi sosial atau pendampingan di komunitas.
Dinsos juga membantu pengawasan agar mantan pasien pasung tidak kembali dipasung (re-pasung) oleh keluarganya. Di lapangan, Dinsos dan Dinkes kerap membentuk tim terpadu untuk penjangkauan kasus, melibatkan petugas kesehatan jiwa Puskesmas, pekerja sosial, serta aparat pemerintah kabupaten/kota.
Kolaborasi ini mencakup deteksi dan penemuan kasus ODGJ dipasung, evakuasi dengan ambulans ke RSJ, pendampingan keluarga, hingga penyediaan obat rutin melalui puskesmas setempat setelah pasien dipulangkan.
Dari program yang dicanangkan HBA itu, berbagai pihak non-pemerintah turut terlibat. Tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat dilibatkan untuk meyakinkan keluarga agar mau melepaskan pasung dan mendukung pengobatan.
Tim Penggerak PKK dan kader kesehatan desa juga berkontribusi dalam edukasi dan pelaporan temuan ODGJ dipasung.
Di era HBA, Pemprov Jambi memanfaatkan petugas Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (SP3) yang ditempatkan di desa-desa (dalam program SAMISAKE) untuk turut mengidentifikasi warga yang dipasung. Misalnya, pada akhir 2013 SP3 menemukan satu desa di Kabupaten Tanjab Barat dengan 3 orang ODGJ dipasung. Informasi ini ditindaklanjuti dengan penjemputan pasien oleh tim RSJ.
Peran LSM dan organisasi kemanusiaan juga terbuka, misalnya organisasi advokasi kesehatan jiwa atau komunitas peduli ODGJ yang membantu sosialisasi anti-stigma dan pendampingan keluarga. Meskipun tidak disebutkan spesifik nama LSM lokal di Jambi, kebijakan Pemprov mengakui pentingnya kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam upaya promotif-preventif kesehatan jiwa di komunitas.
Pelaksanaan Program
Program Jambi Bebas Pasung berjalan aktif sepanjang 2011–2015. Pemprov Jambi melalui RSJ Provinsi melakukan pendataan kasus pasung di seluruh kabupaten/kota dan secara bertahap menjemput serta merawat para korban pasung tersebut. Tabel berikut menunjukkan perkembangan jumlah ODGJ korban pasung yang dibebaskan tiap tahun selama era HBA:
| Tahun | Jumlah Korban Pasung Dibebaskan |
|---|---|
| 2011 | 19 orang |
| 2012 | 62 orang |
| 2013 | 115 orang |
| 2014 | 85 orang |
| 2015 | 41 orang (s.d. Sept 2015) |
Dari awal program hingga September 2015, total 321 ODGJ yang dipasung telah berhasil dibebaskan di Provinsi Jambi. Para pasien ini umumnya dijemput dari rumah oleh tim RSJ dengan ambulans (bekerja sama dengan dinas kabupaten setempat), kemudian dibawa ke RSJ Jambi untuk pengobatan dan pemulihan.
Setelah kondisi stabil, pasien dipulangkan ke keluarganya dengan surat pernyataan keluarga untuk tidak memasung kembali, serta rujukan untuk kontrol rutin di puskesmas atau RSJ.
Program ini menjangkau 11 kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Data Pemprov mencatat hingga akhir 2014 sudah teridentifikasi dan dijemput kasus pasung di seluruh kabupaten/kota dengan total 264 pasien yang dibebaskan.
Wilayah dengan temuan kasus pasung tertinggi adalah Kabupaten Kerinci, disusul oleh daerah lainnya. Tingginya angka di Kerinci diduga karena kondisi geografis pegunungan yang terpencil dan keterbatasan akses layanan kesehatan jiwa, dan faktor genetik. Sehingga praktik pasung sebelumnya banyak terjadi.
Contohnya, pada tahun 2013 sendiri RSJ membebaskan 115 orang (angka tertinggi dalam setahun), banyak di antaranya berasal dari Kerinci dan kabupaten terpencil lain. Berkat program ini, jumlah kasus pasung baru cenderung menurun menjelang 2015, seiring semakin sedikitnya penderita yang belum tertangani dan meningkatnya kesadaran masyarakat.
Dari sisi anggaran, Pemprov Jambi mengalokasikan dana melalui APBD (pos Dinas Kesehatan/RSJ dan Dinas Sosial) untuk operasional penjemputan pasien, biaya perawatan ODGJ tidak mampu, dan program sosialisasi. Besaran alokasi khusus tidak disebut eksplisit dalam sumber, namun komitmen ini termasuk dalam prioritas peningkatan kualitas kesehatan dan kesejahteraan sosial era HBA.
Setiap tahun, RSJ Provinsi Jambi juga meningkatkan kapasitas layanan – antara 2010 hingga 2015, jumlah tempat tidur RSJ ditambah (dari 270 tempat tidur pada 2012 menjadi 389 pada 2015) untuk mengakomodasi meningkatnya pasien rawat inap ODGJ.
Evaluasi kinerja program menunjukkan hasil cukup signifikan, ratusan orang yang sebelumnya dikurung atau dipasung kini mendapatkan perawatan layak. Indikator keberhasilan lainnya adalah peningkatan cakupan layanan kesehatan jiwa, RSJ Jambi melaporkan kunjungan rawat jalan kesehatan jiwa naik 19,85% dan rawat inap naik 61,97% pada 2014 dibanding sebelumnya.
Artinya, semakin banyak ODGJ yang diobati secara medis, bukan lagi dipasung di rumah. Program ini juga berkontribusi menurunkan angka pasung di Jambi secara drastis. Meskipun demikian, pemerintah menyadari perlunya menjaga kesinambungan, pasung bisa kembali terjadi jika keluarga tidak dibina.
Oleh sebab itu, data re-pasung (ODGJ yang kembali dipasung setelah dibebaskan) turut dipantau. Salah satu evaluasi internal RSJ menemukan bahwa masih ada keluarga yang mengulang pemasungan setelah pasien dipulangkan, khususnya bila pasien putus obat atau kambuh, dan keluarga merasa kewalahan.
Untuk menekan hal ini, tim RSJ memperkuat edukasi keluarga dan koordinasi dengan perangkat desa agar segera melapor jika ada tanda pasien kambuh.
Program pelepasan pasung era HBA telah mengubah paradigma penanganan ODGJ di Jambi, dari yang semula tersembunyi dan dipasung diam-diam, menjadi terbuka untuk diobati secara medis dan didampingi sosialnya.
Tantangan seperti stigma, geografi, dan sumber daya mulai teratasi bertahap melalui inovasi lokal (misal melibatkan SP3 desa, posyandu jiwa, dll). Sayangnya, program ini tak terdengar pasca HBA.
Pengalaman di era HBA itu dapat memberikan pelajaran tentang pentingnya kebijakan daerah yang proaktif, kolaborasi multi-pihak, serta pemahaman bahwa kesehatan jiwa adalah bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan masyarakat. Kita berharap praktik pasung yang tidak manusiawi bisa benar-benar dihapuskan.(*)
Add new comment