Sabtu malam tadi 3 Mei 2025, waktu seperti berhenti sejenak di Swiss-Belhotel Kota Jambi. Tak ada musik meriah. Atau sorotan kamera yang gaduh. Yang ada hanya kesunyian yang terjaga, diisi barisan tokoh-tokoh tua dan muda yang duduk tenang, menyimpan kenangan.
Di tengah ruangan, sebuah panggung kecil berdiri. Di atasnya, sebuah buku dibedah. Tapi sesungguhnya, yang dibedah malam itu bukan sekadar buku — melainkan warisan batin Jambi dalam diri H. Abdurrahman Sayoeti, mantan Gubernur Jambi.
Buku biografi "H. Abdurrahman Sayoeti: Sang Tokoh Pembaharuan Jambi" bukan sekadar catatan perjalanan seorang mantan Gubernur Jambi dua periode. Ia adalah cermin panjang, tempat para pemimpin hari ini bercermin: siapa yang mendidik mereka, dari mana nilai mereka tumbuh, dan ke mana mereka melangkah.
Hasan Basri Agus (HBA) adalah satu dari sedikit orang yang mengenal HAS bukan dari pidato atau arsip surat keputusan. Tapi, HBA mengenal HAS dari kedekatan harian yang panjang, intens, dan mendalam. HBA pernah menjadi ajudan pribadi HAS. Ia melihat langsung bagaimana HAS memimpin dengan sikap, bukan seruan.
“Saya tahu betul siapa beliau. Saya mendampingi beliau bertahun-tahun. Cara berpikir saya, cara saya menyikapi jabatan, bawahan, sampai publik—semuanya dipengaruhi oleh didikan beliau,” ucap HBA dengan suara yang sarat rasa hormat.
HBA tak hanya mencatat jejak HAS, tapi menjadi bagian dari jejak itu. Dan kelak, seperti takdir yang disambung nilai, HBA pun mengikuti jejak gurunya menjadi Bupati Sarolangun, lalu menjabat Gubernur Jambi periode 2010–2015.
Di samping HBA, berdiri seorang pemimpin muda yang kini menakhodai Jambi: Al Haris, mantan Bupati Merangin dua periode, kini Gubernur Jambi. Tapi Haris tak berdiri di sana sendirian. Ia berdiri dengan bayang nilai yang panjang: HAS → HBA → Haris.
Al Haris secara terbuka menyebut HBA sebagai ayah angkat sekaligus pembimbing utamanya dalam politik dan kepemimpinan. Ia tak hanya dibesarkan secara politik oleh HBA, tapi juga secara emosional dan moral—sebagai anak idiologis yang dipilih, dibina, dan diwarisi nilai.
“Saya menyambut baik buku ini. Ayahanda HBA banyak sekali bercerita tentang kepemimpinan Pak HAS. Dan dari sanalah saya banyak belajar,” ujar Al Haris.

Karena itu, HAS secara tak langsung telah melahirkan dua pemimpin besar di Jambi: HBA dan Al Haris. Keduanya pernah menjadi bupati, lalu menjadi gubernur, dengan satu benang merah: didikan nilai, keteladanan birokrasi, dan gaya kepemimpinan yang berakar dari figur HAS.
Acara ini diselenggarakan pada bulan Mei, bukan tanpa alasan. Bulan ini adalah bulan kelahiran sekaligus bulan wafatnya HAS. Seperti siklus waktu yang sempurna, HAS memulai dan mengakhiri perjalanan duniawinya dalam bulan yang sama.
“Kami sengaja memilih bulan ini sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan. Bukan sekadar bedah buku, tapi momen untuk mengenang nilai yang beliau wariskan,” kata HBA.
Kini, dua puluh lima tahun sejak ia meninggalkan kursi Gubernur, nama HAS tetap hidup. Bukan lewat patung atau prasasti, tapi melalui nilai yang hidup di dada dua pemimpin besar yang pernah dididiknya langsung maupun tak langsung. Dalam HBA, kita melihat bagaimana didikan itu dijaga. Dalam Al Haris, kita melihat bagaimana warisan itu dilanjutkan.
“HAS memimpin tanpa ingin dilihat. Ia membentuk tanpa harus disebut. Tapi justru karena itu, ia tak pernah benar-benar pergi.”
Nina Nurrahmah dan Hernawati W. Retno Wiratih, dua perempuan penulis yang menuliskan kisah hidup HAS, tidak sekadar menulis sejarah. Mereka merajut kembali cerita yang tercecer di laci birokrasi dan ruang kerja Gubernuran, menjadi narasi kepemimpinan yang utuh dan humanis.
Fachrudin Razi, sang adik, berdiri di tengah ruangan, membuka kalimatnya pelan.
“Kakak kami orang yang sangat disiplin, kepada kami, kepada dirinya sendiri.”
Tak ada air mata. Hanya keteguhan dalam suara, seolah ingin mengatakan: HAS bukan untuk ditangisi, tapi untuk dihidupkan kembali dalam semangat mereka yang memimpin hari ini.
Di era ketika kepemimpinan mudah dibentuk oleh sensasi, HBA dan Al Haris seperti berdiri di barisan lawan arus: mengangkat tokoh yang tak pernah memoles diri, tapi justru berhasil membentuk wajah Jambi dengan cara-cara yang hening namun berdampak.
HAS mungkin telah pergi secara fisik. Tapi cara berpikirnya, kesederhanaannya, keteguhannya dalam birokrasi, dan dedikasinya pada pembangunan daerah—semua itu masih hidup hari ini, dalam keputusan-keputusan penting yang dibuat HBA di Senayan, dan Al Haris di rumah dinas Gubernur Jambi.
HAS tidak mewariskan istana, tapi nilai. Tidak meninggalkan kekuasaan, tapi keteladanan. Dan itu, jauh lebih abadi dari nama pada gedung atau jalan.(*)
Comments
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Add new comment