SAROLANGUN – Proyek irigasi senilai Rp 18,5 miliar yang baru saja digulirkan Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VI Jambi di Kecamatan Cermin Nan Gedang, Kabupaten Sarolangun, kembali menyulut kritik tajam dari warga. Pasalnya, proyek yang dibungkus dalam jargon “ketahanan sumber daya air” itu dibangun di wilayah yang, menurut warga justru nyaris tak memiliki potensi lahan sawah aktif.
Proyek dengan nama resmi Pembangunan Jaringan Irigasi D.I. Batang Asai itu menelan HPS hingga Rp 18.499.999.663,93 hanya untuk membangun 0,2 kilometer jaringan irigasi dengan outcome satu hektare lahan pertanian.
“Saya warga sini, sejak kecil tinggal di Sungai Keramat. Jujur kami bingung. Potensi sawah minim, mau dialiri air ke mana? ” ujar Sahroni, warga Sarolangun.
Kritik tak berhenti sampai di situ. Beberapa warga lainnya meminta jangan sampai proyek ini hanya menjadi ‘ajang belanja anggaran’, bukan solusi untuk pertanian rakyat.
“Kalau betul ada Rp 18 miliar yang turun ke sini, kami ingin lihat realisasinya. Jangan sampai proyek ini hanya menorehkan jejak cor beton dan plang nama, tapi tak menyentuh perut petani,” kata Marwan, warga lainnya.
Fakta Teknis Proyek:
- Lokasi: Desa Sungai Keramat & Teluk Tigo, Cermin Nan Gedang
- Nilai HPS: Rp 18,5 Miliar
- Output Fisik: 0,2 Km jaringan
- Outcome: 1 Ha lahan terairi
- Waktu Pelaksanaan: 240 hari kalender
- Kontrak: Tahun tunggal (SYC)
- Sumber Dana: APBN 2025 – Kementerian PUPR
- Pelaksana: SNVT PJPA Sumatera VI Provinsi Jambi
Satu tokoh Sarolangun yang pernah menjabat sebagai pejabat teknis bidang infrastruktur menyebut proyek ini tak layak dibangun di wilayah yang minim potensi sawahnya.
“Secara teknis, ini tidak rasional. Bangun saluran irigasi, padahal potensi sawah kecil. Kalau proyek tetap dipaksakan, ini perlu dipertanyakan kebermanfaatannya,” tegasnya.
Proyek irigasi ini bahkan mengulang pola yang sama seperti proyek tanggul Rp 57 miliar di lokasi yang sama, yang juga hanya menghasilkan 0,12 km saluran dan outcome 1 hektare sawah. Ironisnya, proyek itu juga disertai konsultan pengawas senilai Rp 3 miliar yang berasal dari luar daerah.
“Ada Rp 57 miliar untuk 120 meter saluran. Sekarang Rp 18,5 miliar untuk 200 meter. Ini apa bedanya?,” kritik Dr Dedek Kusnadi, tokoh Sarolangun yang juga akademisi di UIN STS Jambi.
Dr Dedek mempertanyakan untuk siapa air dari saluran irigasi ini? Mengapa proyek ditempatkan di wilayah minim sawah?
"Apakah ini proyek strategis atau apa?,"tanyanya.
Jika pemerintah pusat serius ingin memperkuat ketahanan pangan dan air, maka perencanaan proyek harus berbasis potensi nyata, bukan sekadar berbasis pagu anggaran. Bila tidak, maka rakyat hanya akan jadi penonton dari drama besar yang dibayar dengan uang negara.(*)
Add new comment