Proyek pembangunan jaringan irigasi di Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, senilai hampir Rp 18,5 miliar sedang menuju fase penunjukan pemenang tender.
Tapi sampai hari ini, belum ada satu pun perusahaan yang dinyatakan menang. Pasalnya, nyaris seluruh peserta tumbang di fase evaluasi teknis. Bukan karena harganya tak masuk akal—justru sebaliknya. Banyak perusahaan menawarkan harga sangat rendah, tapi gugur karena persoalan dokumen alat dan administratif.
Fakta Proyek & Skema Tender
Elemen | Rincian |
---|---|
Nama Proyek | Pembangunan Jaringan Irigasi D.I. Batang Asai |
Nilai HPS | Rp 18.499.999.663,93 |
Instansi | SNVT PJPA Sumatera VI (BWSS VI) – Kementerian PUPR |
Lokasi | Kab. Sarolangun, Provinsi Jambi |
Sistem Tender | Harga Terendah – Sistem Gugur |
SBU Disyaratkan | SI001 (KBLI 2015) / BS004 (KBLI 2020) |
Proyek ini disebut sebagai infrastruktur strategis untuk pengendalian air dan pertanian di kawasan rentan banjir-kekeringan. Alih-alih jadi solusi air, justru tender menyisakan kekacauan dokumen dan tanya besar soal siapa sebenarnya yang disiapkan menang.
Dalam sistem tender “Harga Terendah – Sistem Gugur,” logikanya sederhana, yakni siapa yang memenuhi syarat dan menawarkan harga termurah, harusnya menang.
Tapi, di tender ini, yang terjadi justru sebaliknya.
Beberapa peserta dengan penawaran jauh di bawah HPS (Rp 14 – 15 miliar) malah gugur karena hal-hal administratif. Mulai dari perbedaan satuan kW dan HP, data alat berat tidak cocok antara dokumen dan SIMPK, klarifikasi teknis tidak dijawab tepat waktu hingga BPKB ganda atau dokumen alat diduga fiktif.
Ketika publik berharap proyek irigasi senilai Rp 18,5 miliar di Sarolangun ini akan diperebutkan penyedia terbaik, yang terjadi justru sebaliknya. Deretan perusahaan tumbang satu per satu. Bukan karena harga mahal, tapi karena masalah dokumen yang nyaris absurd.
Lebih dari 100 perusahaan mendaftar. Tapi, satu demi satu, mereka jatuh di arena administratif. Dari BPKB ganda, kolom kosong, hingga tafsir teknis peralatan yang berlapis interpretasi.
PT. INANTA BHAKTI UTAMA – Diduga Duplikasi Alat, Bungkam Saat Klarifikasi
Perusahaan ini menawar di kisaran Rp 15,19 miliar—cukup kompetitif. Tapi, saat masuk fase verifikasi peralatan, mereka menyertakan dua alat dengan nomor BPKB yang identik. Concrete Pump ID 00065633 dan Truck Mixer ID 00063344, keduanya diduga memakai BPKB yang sama.
Pokja langsung mengirim klarifikasi tertulis tertanggal 20 Mei 2025. Namun... tak ada jawaban. Tak ada penjelasan. Sehingga Pokja menyimpulkan, alat tak sah, klarifikasi bungkam. PT Inanta resmi digugurkan.
PT. KARTIKA TEGUH KARYA – Over Kapasitas, Harga Terlalu Rendah?
Perusahaan ini menawarkan harga Rp 14,42 miliar, hampir 4 miliar di bawah HPS. Seharusnya jadi pemenang?
Tapi tidak.
Masalah datang dari satu data, yakni Truck Mixer milik mereka terdaftar memiliki 300 HP (Horse Power).
Setelah dikonversi ke satuan kW: menjadi 223,71 kW, dan itu melebihi spesifikasi teknis SDPK.
Artinya?
Gugur karena alat terlalu kuat. Iya, terlalu kuat.
PT. WAY KAWAT ABADI – Tafsir Payload vs JBI, dan Anda Bisa Gugur
Dengan harga Rp 14,79 miliar, Way Kawat Abadi masuk dalam klaster harga kompetitif. Tapi, Pokja menilai alat mereka tidak memenuhi standar.
Masalahnya?
Perbedaan tafsir soal satuan berat alat. SIMPK menyebut JBI (Jumlah Berat di Izinkan), sementara dokumen peserta mencantumkan Payload.
Perbedaan sudut pandang ini cukup untuk... membatalkan peluang menang.
PT. PULU GANDING SEJAHTERA – Mesin Tidak Cocok Antara Dokumen & SIMPK
Pulu Ganding dinyatakan gugur karena perbedaan kapasitas engine antara yang tercatat di SIMPK dengan yang ditulis di dokumen fisik Concrete Batching Plant mereka.
Tidak sinkron?
Akhirnya gugur.
PT. RAH RAH RED WANA BHAKTI – Kolom Kosong, Peluang Hilang
Rah Rah Red juga masuk daftar gugur. Masalahnya bahkan lebih mendasar. Kolom Horse Power dan Ton dalam dokumen alat mereka dibiarkan kosong. Ini, bagi Pokja adalah satu kelalaian yang tak bisa ditolerir. Konsekuensinya jelas, hangus dari kompetisi.
Dengan total 108 peserta, sebagian besar digugurkan karena masalah teknis-detail seperti spesifikasi alat tak cocok dengan SDPK, format satuan tidak standar, klarifikasi tak dijawab tepat waktu, dokumen alat diragukan keasliannya.
Semua ini, bisa dibaca dalam dua cara. Pengawasan Pokja makin ketat, dengan integrasi ke sistem SIMPK dan lintas validasi tender.
Atau... standar seleksi makin sempit, menyisakan ruang untuk eliminasi sistematis.
Tender ini kini memasuki fase akhir, yakni penunjukan penyedia barang/jasa.
Dengan kondisi yang ada, siapa yang bisa menang?
Atau... apakah semua peserta akan gugur dan tender dinyatakan gagal?(*)
Add new comment