Keputusan mengejutkan untuk menunjuk Cik Marleni, adik kandung Ketua DPD I Partai Golkar Jambi Haji Cek Endra, sebagai Pimpinan DPRD Kabupaten Sarolangun telah memicu badai kontroversi di dalam tubuh Partai Golkar. Penunjukan ini dianggap sebagai bentuk nepotisme yang terang-terangan, menimbulkan amarah dan kekecewaan di kalangan kader yang melihat keputusan ini sebagai penghinaan terhadap prinsip demokrasi internal partai.
Raja Indra, Wakil Ketua Perdagangan DPD I Partai Golkar dan mantan Ketua AMPG DPD II Golkar Sarolangun, dengan tegas menolak penunjukan ini. Ia tidak segan menyebut keputusan tersebut sebagai "pukulan telak" terhadap integritas dan disiplin yang seharusnya menjadi fondasi Golkar. "Penunjukan Cik Marleni adalah tamparan keras bagi setiap kader yang percaya pada meritokrasi dan keadilan. Ini adalah bentuk nyata nepotisme yang mencederai nilai-nilai partai," sergahnya dengan penuh kemarahan.
Raja Indra mengingatkan bahwa Cik Marleni sebelumnya adalah anggota DPRD dari Partai Hanura, fakta yang menurutnya membuat penunjukan ini semakin tidak masuk akal. "Kita sedang berbicara tentang seseorang yang baru saja pindah partai dan langsung mendapatkan posisi puncak, mengabaikan pengorbanan dan kerja keras kader yang telah setia pada Golkar selama bertahun-tahun," tegasnya. Menurut Indra, Tabroni, yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu dan mendapatkan dukungan mutlak dari Pengurus Kecamatan (PK), seharusnya menjadi pilihan utama. "Tabroni adalah pilihan rakyat, sementara Cik Marleni adalah pilihan nepotisme," ujarnya dengan nada tajam.
Proses penunjukan ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas pimpinan Golkar di Jambi, tetapi juga menciptakan keretakan yang mendalam di dalam partai. "Keputusan ini bukan hanya salah secara moral, tetapi juga berbahaya secara politik. Ini bisa memecah belah partai dan menghancurkan kepercayaan di antara kader serta simpatisan di Sarolangun," kata Indra dengan penuh kekhawatiran.
Lebih lanjut, Raja Indra memperingatkan bahwa penunjukan ini adalah langkah yang sangat berisiko, yang bisa berdampak luas hingga ke tingkat nasional. "Haji Cek Endra sedang bermain dengan api. Jika kita terus membiarkan praktik nepotisme ini, kita akan membakar kepercayaan publik yang sudah mulai rapuh. Golkar bisa kehilangan dukungan tidak hanya di Sarolangun, tetapi di seluruh Indonesia," ujarnya dengan tajam. Ia menyebut bahwa keputusan ini tidak hanya merusak citra partai, tetapi juga menciptakan preseden buruk yang bisa membahayakan masa depan Golkar.
Raja Indra mendesak Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, untuk segera mengambil tindakan tegas. Ia meminta agar keputusan ini segera dibatalkan demi menyelamatkan kehormatan dan masa depan partai. "Jika Bahlil tidak turun tangan dan mengoreksi kesalahan ini, kita bisa kehilangan lebih dari sekadar kursi DPRD. Kita bisa kehilangan dukungan rakyat dan menghadapi krisis yang lebih besar pada Pilkada mendatang," ujarnya memperingatkan.
Menurut Indra, penunjukan Cik Marleni dan penempatan putranya Gerry sebagai calon Wakil Bupati telah menciptakan gelombang kekecewaan yang luar biasa, tidak hanya di kalangan kader Golkar tetapi juga di masyarakat luas. "Ini adalah bentuk dinasti politik yang paling vulgar. Rakyat tidak bodoh. Mereka melihat ini sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan keluarga dengan mengorbankan prinsip demokrasi dan meritokrasi," tegasnya.
Keputusan ini, menurut Indra, adalah sebuah perjudian politik yang bisa berakhir dengan kehancuran. "Kita tidak bisa membiarkan Partai Golkar dijadikan alat untuk ambisi segelintir orang. Ini adalah momen kritis bagi partai kita. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita mungkin tidak akan pernah pulih dari kerusakan yang telah dilakukan," pungkasnya dengan penuh ketegasan.
Dalam suasana yang semakin memanas ini, Partai Golkar dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan prinsip-prinsip yang menjadikan partai ini besar atau menyerah pada godaan nepotisme yang bisa menghancurkan segalanya. Pilihan ada di tangan pimpinan partai, dan keputusan mereka akan menentukan apakah Golkar masih layak disebut sebagai partai yang menjunjung tinggi demokrasi.(*)
Add new comment