Jambi Punya Segalanya, Kecuali Cerita yang Tembus Dunia

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Opini
IST

Oleh:

Muawwin MM

Kadang-kadang saya bertanya sendiri, apa yang salah dari pariwisata Jambi?

Kita punya danau di atas gunung. Kita punya taman nasional sampai empat. Kita punya candi Buddha yang luasnya melebihi Borobudur. Bahkan kita punya jejak fosil ratusan juta tahun yang sekarang sedang diperjuangkan jadi warisan dunia UNESCO.

Tapi mengapa yang ramai tetap saja Jogja, Bali, Labuan Bajo, atau Belitung?

Mengapa Geopark Merangin yang begitu megah, airnya jernih, batunya purba, hutannya lebat, tidak masuk radar wisatawan mancanegara? Bahkan, tahun lalu saja, tidak satu pun turis asing tercatat datang ke sana. Nol.

Saya menggaruk kepala. Bukan karena ketombe. Tapi karena hati saya gatal melihat kenyataan.

Lalu saya keliling, bertanya sana-sini. Saya buka data BPS, saya baca laporan Disbudpar, saya perhatikan Instagram-Instagram pariwisata daerah. Saya ikut diskusi, saya dengar keluh-kesah pelaku usaha wisata. Saya tanya, kenapa sepi?

Jawabannya hampir selalu sama, promosi kita lemah. Cerita kita tidak sampai. Narasi kita tidak viral.

Padahal, sekarang ini dunia sudah berubah. Yang dibeli wisatawan bukan cuma tiket dan kamar hotel, tapi pengalaman dan cerita. Yang dijual bukan hanya tempat, tapi emosi.

Coba lihat Banyuwangi. Dulu siapa yang tahu? Sekarang dipenuhi wisatawan lokal dan asing. Karena Bupatinya menjual narasi, membangun festival, bikin digitalisasi promosi, dan yang paling penting, dia bikin warganya bangga.

Lihat Thailand. Mereka tidak menunggu orang datang. Mereka yang datang ke Instagram kita, ke YouTube kita, ke TikTok kita. Influencer dari Eropa diajak datang ke Chiang Mai, difasilitasi, lalu bercerita ke jutaan follower-nya. Dalam sekejap, Chiang Mai jadi destinasi mimpi bagi backpacker dunia.

Lihat Sumatera Barat. Kita sama-sama punya danau, gunung, budaya. Tapi kenapa orang lebih hafal “Rendang Padang” ketimbang “Batik Jambi”? Karena branding mereka kuat. Promosi mereka berani. Dan mereka tahu, pariwisata itu soal cerita, bukan sekadar brosur dan spanduk.

Jambi hari ini sedang berbenah. Saya tahu. Gubernur Al Haris sudah bicara tentang digitalisasi. Sudah mulai dirintis pemasaran online, pelatihan konten kreatif, festival pun tetap berjalan. Tapi saya harus jujur, itu belum cukup.

Kita belum hadir di percakapan nasional. Apalagi global. Kita belum punya kampanye yang mengguncang media sosial. Kita belum punya portal pariwisata yang lengkap, gampang diakses, dan tampilannya menggoda. Kita belum punya slogan yang membekas di kepala.

Apa slogan pariwisata Jambi sekarang? Saya pun harus merenung dulu mengingatnya. Bandingkan dengan “Jogja Istimewa”, “Pesona Indonesia”, atau “Amazing Thailand”.

Maka kalau boleh usul, ayo kita mulai dari yang paling sederhana, bercerita.

Ajak anak muda Jambi bikin konten. Latih mereka menulis tentang desanya, danau di kampungnya, tradisi keluarganya. Bantu mereka bikin video sinematik tentang Geopark, atau Candi Muaro Jambi saat pagi berkabut. Undang vlogger nasional, biayai open trip, tapi minta mereka jujur dan otentik dalam berkisah.

Tugas kita bukan menjual tempat. Tapi membangkitkan rasa ingin tahu. Bikin orang penasaran. Bikin orang bilang: “Gila, ini di Jambi?”

Kalau itu berhasil, barulah kita benahi akses, bangun infrastruktur, siapkan SDM. Karena orang akan datang. Percayalah, cerita yang baik akan membuat orang rela terbang jauh, naik mobil berjam-jam, bahkan mendaki gunung dengan napas tersengal.

Saya percaya, Jambi tidak kekurangan keindahan. Kita hanya kekurangan cara menyampaikannya.

Dan tugas itu, adalah tugas kita bersama.(*)

*Penulis adalah jurnalis tinggal di Jambi

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network