Kericuhan Warga vs Proyek PLTA Kerinci Kembali Meledak, Warga Tuntut Rp 300 Juta per KK

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Premium
IST

Proyek PLTA Kerinci kembali ricuh. Ratusan warga Desa Pulau Pandan dan Karang Pandan bentrok dengan aparat, menolak kompensasi Rp 5 juta per KK dari pihak PLTA. Mereka menuntut Rp 300 juta per KK akibat hilangnya mata pencaharian dan dampak lingkungan. Polisi menembakkan gas air mata untuk bubarkan massa.

***

Kericuhan pecah di lokasi proyek PLTA Kerinci, Jambi, pada Kamis siang (21/8/2025). Ratusan warga dari Desa Pulau Pandan dan Karang Pandan berdemo di PLTA. Sejak pagi demo awalnya tertib. Namun menjelang siang situasi memanas. Akhirnya berujung bentrokan.

Massa nekat menerobos masuk ke area pembangunan bendungan PLTA. Mereka melempari alat berat ekskavator. Mengusir pekerja yang tengah mengeruk aliran sungai. Aksi spontan itu dipicu frustrasi warga terhadap proyek PLTA yang dianggap merusak lingkungan serta mengancam mata pencaharian penduduk.

Kericuhan memuncak ketika aparat keamanan berupaya membendung massa. Sempat terjadi dorong-dorongan antara warga dan polisi yang berjaga ketat di sekitar jembatan menuju lokasi proyek. Situasi makin kacau hingga akhirnya polisi terpaksa melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan massa.

Dalam tayangan video amatir, tampak pria dan wanita berlarian menjauhi kepulan gas air mata yang ditembakkan petugas. Tidak ada laporan korban jiwa dalam insiden ini. Namun beberapa orang mengalami sesak napas akibat gas air mata. Sore harinya, aparat bersama pemerintah desa dan manajemen PLTA masih berjaga di lokasi untuk memantau situasi hingga kondusif kembali.

Tuntutan Warga

Unjuk rasa itu merupakan buntut panjang konflik antara warga dan pihak pengelola PLTA. Masalahnya ihwal kompensasi lahan serta dampak proyek. Warga menegaskan menolak tawaran kompensasi yang hanya Rp 5 juta per Kepala Keluarga (KK) dari pihak PLTA.

Dari total lebih 900 KK di dua desa terdampak, versi warga sekitar 500 KK lebih menyatakan tidak bersedia menerima tawaran Rp 5 juta tersebut. Data pemerintah daerah mencatat sedikitnya 275 KK yang masih menolak kompensasi, sekitar 31% dari total warga terdampak.

Warga menuntut ganti rugi yang jauh lebih besar, yakni Rp300 juta per KK, agar sebanding dengan kerugian yang mereka alami. Mediasi yang digelar sebelumnya buntu. Pihak perusahaan bersikukuh di angka Rp 5 juta. Sementara warga bertahan meminta Rp 300 juta.

Para pengunjuk rasa membawa aspirasi bahwa isu ini bukan sekadar soal nominal uang. Melainkan tentang kelangsungan hidup mereka. Pak Dandi, tokoh masyarakat Desa Pulau Pandan, menyebut warga sudah puluhan tahun menggantungkan nafkah dari menangkap ikan di sungai.

“Ini bukan sekadar soal uang, tapi menyangkut mata pencaharian masyarakat yang sudah berpuluh tahun bergantung dari mencari ikan di sungai... Kalau sungai lama ditutup dan jalur sungai diubah, ikan tidak bisa masuk dari danau. Itu artinya, mata pencaharian warga hilang,” tegas Dandi, dikutip dari metrojambi.com.

Penutupan aliran sungai akibat proyek dituding membuat ikan dari Danau Kerinci tak lagi masuk ke sungai, memukul sumber penghasilan nelayan tangkapan dan petani setempat. Warga khawatir pembangunan bendungan PLTA telah mengeringkan sebagian sungai dan merusak ekosistem yang menjadi tumpuan mereka.

Pihak keamanan dan pemerintah daerah merespons cepat kericuhan ini. Polisi menambah personel di lapangan untuk mengamankan aset proyek vital tersebut. Bupati Kerinci Monadi mengimbau warga di sekitar PLTA agar menahan diri dan menjaga ketertiban pasca kericuhan.

Ia mengingatkan bahwa PLTA Kerinci Merangin Hidro merupakan proyek strategis nasional untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatra. Sehingga butuh dukungan bersama. Monadi menjelaskan perusahaan sebenarnya telah menggelontorkan kompensasi Rp 5 juta per KK. Namun sebagian warga menuntut hingga Rp 300 juta yang menurutnya “tidak berdasar” karena banyak warga tak memiliki bukti alas hak atas tanah tersebut.

“Sebagian sudah menerima kompensasi Rp5 juta, namun masih ada oknum yang meminta ganti rugi mencapai Rp300 juta,” ujar Bupati Monadi, seraya meminta masyarakat melihat masalah ini dengan bijak dan tidak mudah terprovokasi.

Pihak kepolisian daerah (Polda Jambi) juga mengimbau dialog lanjutan dan siap memfasilitasi keamanan jika ada pertemuan antara warga dan perusahaan pascakerusuhan ini.

Awal Proyek PLTA Kerinci dan Penolakan Warga

PLTA Kerinci Merangin Hidro adalah megaproyek pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 350 Megawatt (MW) yang terletak di wilayah Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Proyek strategis ini digarap PT Kerinci Merangin Hidro (KMH), bagian dari kelompok usaha Kalla Group milik mantan Wapres Jusuf Kalla.

Pembangkit listrik itu memanfaatkan aliran Sungai Batang Merangin dan Danau Kerinci, dengan bendungan dan terowongan panjang yang dibangun untuk mengoptimalkan debit air. Secara resmi, proyek PLTA ini sudah dicanangkan sejak 28 Maret 2012 dengan harapan menyumbang listrik bagi Sumatra.

Namun, rencana sempat tersendat cukup lama. Proyek pernah terbengkalai lebih dari 15 tahun karena perubahan desain. Awalnya dirancang 150 MW, kemudian direvisi setelah survei PLN menunjukkan potensi 350 MW.

Pembangunan baru dilanjutkan kembali sekitar tahun 2019, menandai babak baru pengerjaan infrastruktur terowongan, akses jalan, dan persiapan tapak bendungan. Target operasional pun ditetapkan tahun 2025, dengan empat unit turbin type Francis vertikal (@87,5 MW) yang diharapkan mengaliri listrik bagi Jambi dan kawasan Sumatra lainnya.

Sejak awal konstruksi, proyek PLTA Kerinci menghadapi penolakan dari sebagian warga. Konflik mulai muncul seputar perebutan lahan di area proyek, terutama lahan adat (tanah ulayat) yang diklaim masyarakat. Pada Juli 2021, misalnya, ratusan warga adat dari Lembaga Depati Rencong Telang di Desa Pulau Sangkar “menyerbu” lokasi proyek karena menuding lahan ulayat mereka diserobot pembangunan PLTA.

Mereka melakukan aksi adat memukul gong di lokasi sebagai simbol peringatan, menegaskan bahwa tanah yang diklaim pihak lain (adat Muara Langkap Tamiai) sebenarnya milik adat Rencong Telang.

"Kami mempertahankan hak tanah ulayat yang diklaim Depati Muara Langkap,” tegas seorang pemangku adat, yang menolak penguasaan lahan proyek tanpa persetujuan komunitas mereka.

Perselisihan antar dua kelompok adat ini mewarnai tahap awal pembangunan PLTA di Kerinci. Dari pihak perusahaan, Humas PT KMH sempat membantah melakukan penyerobotan lahan warga dan meminta bukti atas klaim tanah ulayat tersebut.

Tak hanya soal tanah ulayat, warga desa sekitar proyek pun mempermasalahkan pembebasan lahan pribadi dan fasilitas umum. Di awal 2021, sempat terjadi aksi warga memagari jalan akses menuju lokasi PLTA karena ganti rugi lahan untuk jalan tersebut belum dibayarkan oleh pihak perusahaan (kasus ini terjadi sekitar Juni 2021).

Kemudian pada Agustus 2024, ratusan warga Pulau Pandan menggelar aksi blokade di pintu air Danau Kerinci. Titik awal aliran sungai ke PLTA. Demonstran, didominasi kaum ibu, menutup akses masuk proyek dan berorasi menuntut aktivitas pengerukan sungai dihentikan.

Mereka geram karena kompensasi atas lahan dan sumber daya air yang terdampak proyek tak kunjung diselesaikan.

“Kami menghentikan aktivitas proyek PLTA di pintu air karena kompensasi ganti rugi lahan belum diselesaikan pihak PLTA,” ujar seorang warga dalam aksi ketika itu. Aksi Agustus 2024 tersebut berlangsung damai namun tegas, warga bersikukuh proyek tidak boleh lanjut sebelum hak-hak mereka dipenuhi. Pihak perusahaan akhirnya bernegosiasi di lapangan bersama perwakilan masyarakat saat itu, meski belum menghasilkan solusi tuntas.

Ganti Rugi Tak Sepadan dan Dampak Lingkungan

Permasalahan utama yang menjadi akar tuntutan warga adalah besaran kompensasi dan dampak lingkungan dari proyek PLTA Kerinci. Pihak PT KMH menawarkan kompensasi senilai Rp 5 juta per KK bagi warga terdampak di Desa Pulau Pandan dan Karang Pandan.

Uang kompensasi ini terkait pemanfaatan pintu air Danau Kerinci dan perubahan aliran Sungai Batang Merangin yang melewati wilayah desa mereka menuju PLTA. Namun, bagi banyak warga, nominal Rp5 juta dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang diderita.

Warga menuntut “ganti untung” sebesar Rp300 juta per KK, mengacu pada hilangnya lahan garapan, penurunan pendapatan, dan gangguan jangka panjang yang mereka rasakan. Perbedaan angka yang ekstrem ini menjadi titik deadlock dalam negosiasi.

Pihak perusahaan melalui Humas PLTA menyatakan nilai Rp300 juta per KK jelas terlalu besar dan di luar kewajaran. Apalagi, menurut pihak perusahaan dan Pemda, banyak warga tidak memiliki sertifikat resmi atas lahan yang diklaim, sehingga tuntutan ganti rugi ratusan juta dianggap tidak memiliki dasar hukum kuat. Meski begitu, dari sisi warga, kompensasi diukur bukan dari status tanah semata melainkan dari dampak ekonomi-sosial yang nyata mereka rasakan.

Data terbaru menunjukkan telah terjadi perpecahan sikap di tengah warga. Sebagian akhirnya menerima tawaran Rp 5 juta demi alasan pragmatis, sementara ratusan KK lainnya tetap bertahan menolak. Menurut catatan Tim Terpadu Penanganan Konflik Kerinci, hingga Agustus 2025 sekitar 69% (643 KK) warga terdampak sudah mengambil kompensasi Rp 5 juta, sedangkan 31% (275 KK) sisanya belum bersedia menerima.

Artinya, ratusan keluarga masih berharap ada peninjauan ulang dan penambahan nilai ganti rugi. Keadaan ini juga memicu gesekan sosial di dua desa, antara kubu warga yang pro menerima tawaran perusahaan dan kubu yang kontra.

Nanang Sudayana, Ketua BPD Pulau Pandan, mengungkapkan bahwa masyarakat sebenarnya mendukung pembangunan asalkan hak-hak mereka diakomodasi.

Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan sampai pembangunan itu mengorbankan kami... Kami bukan penghalang, kami hanya ingin menuntut hak kami, yakni sumber mata pencaharian kami yang turun-temurun,” ujarnya menggambarkan keresahan warga.

Nanang menambahkan, sejak proyek PLTA berjalan, pendapatan warga merosot karena sungai yang dulu menghidupi nelayan dan petani kini terganggu. Irigasi sawah tidak lancar, banyak tanaman mengering, dan hasil panen turun drastis.

Nelayan tradisional pun kehilangan banyak tangkapan ikan karena alur sungai berubah dan sebagian debit air dibendung untuk kepentingan PLTA.

“Masyarakat hanya bisa bersuara, jangan sampai masyarakat bertindak. Kami juga tidak mau ada gesekan dengan perusahaan,” kata Nanang, berharap pemerintah dan pemilik proyek mau turun langsung berdialog mencari solusi.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network