Bawaslu RI mendeteksi indikasi pelanggaran netralitas oleh sejumlah kepala desa menjelang Pilkada Serentak 2024. Rahmat Bagja ungkap adanya tren pelanggaran serupa dengan Pilkada 2020.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) mulai mencium adanya indikasi pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh sejumlah kepala desa (kades). Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menemukan tanda-tanda yang mengkhawatirkan terkait tren pelanggaran yang mirip dengan Pilkada Serentak 2020.
Pada Pilkada 2020 lalu, salah satu tren pelanggaran yang signifikan adalah keterlibatan kepala desa yang memihak salah satu pasangan calon (paslon) serta praktik politik uang. Bagja menjelaskan bahwa situasi serupa mulai terlihat kembali pada Pilkada 2024, meskipun hingga saat ini, calon resmi belum ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Tren pada Pemilu 2020 adalah kepala desa yang melakukan tindakan menguntungkan satu pasangan calon. Sekarang, indikasi seperti itu sudah mulai terlihat lagi," ungkap Rahmat Bagja, Jumat (13/9/2024).
Namun, Bagja menambahkan bahwa dugaan pelanggaran ini belum dapat dikenakan sanksi pidana, karena unsur pidana belum terpenuhi. Hal ini disebabkan oleh belum adanya calon kepala daerah resmi yang ditetapkan oleh KPU. Meski demikian, Bawaslu tetap waspada dan melakukan langkah antisipatif dengan berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
"Kami sedang berkoordinasi, karena untuk menyelidiki tindak pidana, unsur-unsurnya harus jelas. Saat ini, sulit karena belum ada calon kepala daerah yang ditetapkan. Unsur pelanggarannya belum terpenuhi," jelas Bagja.
Selain dugaan pelanggaran oleh kepala desa, Bawaslu juga mencatat adanya tren aparatur sipil negara (ASN) yang memberikan dukungan politik melalui media sosial. Rahmat Bagja mengingatkan bahwa ASN wajib menjaga netralitas dan menyarankan bagi mereka yang ingin mencalonkan diri dalam Pilkada agar menunggu penetapan calon resmi oleh KPU sebelum mengajukan cuti atau berhenti dari jabatan mereka.
"Kepada bapak ibu yang masih ASN dan ingin mencalonkan diri, tolong ditahan dulu. Setelah penetapan calon, baru bisa mengajukan cuti atau berhenti," tegasnya.
Pada Pilkada Serentak 2020, Bawaslu mencatat 5.334 temuan dan aduan terkait pelanggaran pemilihan. Dari jumlah tersebut, 1.532 merupakan pelanggaran administrasi, 292 pelanggaran kode etik, 182 tindak pidana pemilihan, dan 1.570 pelanggaran hukum lainnya terkait pemilihan. Sebanyak 1.828 laporan lainnya tidak dikategorikan sebagai pelanggaran.
Bawaslu menekankan pentingnya menjaga netralitas aparatur negara, kepala desa, dan pejabat publik lainnya demi terciptanya Pilkada yang adil dan bebas dari intervensi politik.(*)
Add new comment