Kita Punya Sawit, Mereka yang Kaya

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Logika Pemerintahan
IST

Oleh:

MUAWWIN MM

Sungai Batanghari tak pernah menyombongkan diri. Ia mengalir, sabar, membawa apa pun yang dilemparkan ke tubuhnya. Karet, sawit, bahkan sisa-sisa peluang yang gagal dimanfaatkan.

Saya lahir di Jambi. Menyaksikan sendiri betapa setiap kali harga karet jatuh, suara petani ikut tenggelam. Betapa jalan rusak jadi takdir. Betapa truk batubara lebih berkuasa daripada anak sekolah. Tapi saya juga menyaksikan satu hal yang tak banyak disadari orang, bahwa perubahan itu sedang terjadi. Perlahan. Diam-diam. Dan mungkin, ini yang jarang kita akui, tanpa pesta.

Di Jambi, “hilirisasi” bukan lagi sekadar wacana. Ia mulai berwujud. Dalam bentuk Perda Nomor 3 Tahun 2023. Dalam bentuk kolaborasi kelapa antara Pemprov, Danantara, dan swasta. Bahkan dalam target investasi Rp 9,86 triliun yang sedang diikhtiarkan.

Semua itu lahir bukan dari seminar. Tapi dari ruang-ruang sunyi birokrasi yang bekerja. Bukan untuk headline. Tapi untuk fondasi.

Saya bukan juru kampanye siapa-siapa. Tapi saya tahu membedakan mana arah, mana langkah. Dan hari ini, arah Jambi sudah benar. Tak mau lagi hanya menjual mentah. Tak mau lagi membiarkan nilai tambah dibawa keluar.

Apa yang dilakukan Gubernur Al Haris hari ini mungkin tak menarik bagi generasi TikTok. Tak ada joget. Tak ada viral. Tapi coba perhatikan, kawasan industri yang terintegrasi dengan pipa gas, pelabuhan, dan jaringan listrik. Perizinan yang disederhanakan. Insentif yang difokuskan pada investor yang menyerap tenaga kerja lokal. Dan, yang paling penting, mulainya narasi besar tentang “kemandirian ekonomi berkeadilan.”

Itu semua bukan hasil dari obrolan warung kopi. Tapi dari perencanaan jangka panjang, seperti dalam RPIP 2020–2040. Sebuah dokumen yang mungkin tak populer, tapi menyimpan cetak biru masa depan Jambi.

Dan yang lebih menarik lagi, hari ini, 30 Juli 2025, upaya itu kembali dikuatkan. Pemerintah Provinsi, lewat forum mingguan Rabuan Series Tenaga Ahli Gubernur, menggelar diskusi panel khusus bertema “Penyediaan Infrastruktur Hilirisasi Komoditas Jambi.”

Narasumbernya bukan orang luar. Tapi orang dalam sistem. Ketua TAG Ir. Syahrasaddin, akademisi Unja Dr. M. Ridwansyah, dan Dr. Eng. Bayu Indrawan, pendiri STEM Indonesia. Saya kira, ini bukan sekadar diskusi. Tapi cara untuk terus menjaga nyala hilirisasi itu tetap hidup, tetap aktual.

Coba tengok. Jambi punya lebih dari 1 juta hektare sawit. 611 ribu hektare karet. Produksi 4 juta butir kelapa. 60 ton patin per hari. Tapi, 80 persen CPO masih dijual mentah. Hanya 21 persen karet diserap pasar domestik. Petani kita tetap bergulat dengan harga dan nasib. Dan jalan? Tetap rusak oleh batubara dan sawit yang kelebihan muatan.

Itulah ironi Jambi. Kaya, tapi tak kuasa. Makmur, tapi hanya di grafik. Dan justru karena itu, hilirisasi menjadi jalan satu-satunya. Bukan pilihan politik. Tapi pilihan sejarah.

Dan dalam ironi itu, Pemerintah Provinsi, dalam diam, memulai langkah paling penting. Yakni membalik logika eksploitasi menjadi logika nilai tambah. Dari jual mentah ke produk turunan. Dari komoditas ke inovasi. Dari ekspor bahan baku ke ekspor produk akhir.

Contohnya?

Hilirisasi kelapa menjadi VCO, santan kemasan, dan produk pangan ekspor. Pinang Betara menjadi permen dan bahan kosmetik. Ini bisa dilakukan. Ini sedang diupayakan.

Kita punya kawasan Industri Kemingking seluas 2.150 hektar. Saat ini sudah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional. Pusatnya ada di Muaro Jambi. Dekat ke bandara. Dilewati pipa gas. Dapat suplai listrik 24 jam. Dan... bisa menyerap 147.000 tenaga kerja.

Angka itu besar. Terlalu besar untuk kita percaya mentah-mentah. Tapi setidaknya, angka itu lahir dari sebuah visi. Dari keinginan untuk mengakhiri kutukan sumber daya. Dan ya, saya tahu, belum sempurna. Karena semuanya masih berproses. Belum kelihatan. Tapi ini bukan panggung sulap. Ini dapur panjang.

Yang membuat saya percaya, justru karena langkahnya tidak instan. Karena yang instan seringnya cuma kopi dan harapan palsu.

Tapi jangan dulu puas.

Karena jalan khusus angkutan batubara masih jadi misteri. Karena pelabuhan Ujung Jabung belum secepat rencana. Karena pelaku UMKM belum semua paham hilirisasi. Karena petani masih bingung mengolah sawit jadi produk sendiri.

Pemerintah harus memastikan bahwa hilirisasi bukan hanya milik investor. Tapi juga milik rakyat. Bahwa AMDAL ditegakkan, bukan dijadikan formalitas. Bahwa konflik agraria tidak diatasi dengan pembungkaman. Bahwa hilirisasi tak boleh menyingkirkan yang kecil.

Jika semua itu diperhatikan, maka hilirisasi akan menjadi bukan sekadar strategi, tapi peradaban baru.

Saya tidak sedang menulis pujian. Tapi saya mencatat arah.

Dan arah itu, sejauh ini, dibangun oleh seorang gubernur yang, mungkin tanpa disadari publik, sudah menyalakan mesin hilirisasi di Jambi. Tak hanya di ruang birokrasi, tapi juga di forum terbuka yang mempertemukan teknokrat, akademisi, dan rakyat.

Apakah cukup?

Belum.

Tapi sudah benar. Sudah tepat. Tinggal bagaimana langkahnya diperluas, diratakan, dan dibawa ke rakyat.

Kalau bukan kita yang menjadikan Jambi mandiri, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan?

*Anggota TAG Provinsi Jambi

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network

 

Baca lainnya

Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar