Kebijakan Wali Kota Jambi tentang penerapan sistem pembayaran parkir nontunai berbasis QRIS disorot. Kritik muncul dari sejumlah kalangan, termasuk praktisi hukum, yang mempertanyakan legalitas dan landasan regulasi dari kebijakan digitalisasi retribusi tersebut.
Namun, Pemerintah Kota Jambi tak tinggal diam. Melalui Juru Bicara Pemkot, Abu Bakar, klarifikasi resmi disampaikan kepada publik. Intinya, kebijakan ini diklaim bukan tanpa dasar hukum, dan justru menjadi bagian dari reformasi pelayanan publik.
Menurut Abu Bakar, kebijakan parkir digital sudah memiliki landasan hukum yang sah, yaitu Peraturan Wali Kota Jambi Nomor 32 Tahun 2018, tepatnya pasal 2 ayat (1) Bab II tentang Pemungutan Retribusi.
"Pemungutan, pembayaran dan penyetoran retribusi pada Dinas Perhubungan dapat dilaksanakan secara tunai maupun non tunai dalam bentuk SKRD, struk, atau dokumen lain yang dipersamakan."
Pasal 2 ayat (3): "Pemungutan secara non tunai dilakukan menggunakan sarana digital."
Dari pasal ini, menurut Abu Bakar, penggunaan QRIS sebagai alat bayar digital menjadi sah dan legal karena selaras dengan instrumen yang diakui Bank Indonesia.
“Ini bukan kebijakan yang dibuat tanpa dasar. Semua jelas aturannya,” tegas Abu Bakar.

Abu Bakar menegaskan bahwa kebijakan ini tidak diterapkan secara mendadak, melainkan melalui tahapan bertahap dan masa transisi.
Langkah yang sudah dilakukan meliputi pelatihan juru parkir. Distribusi QR Code resmi, ID card, dan rompi identitas. Pembukaan rekening khusus retribusi parkir. Sosialisasi kepada masyarakat.
“Kami paham belum semua masyarakat siap masuk ke ekosistem digital. Tapi perubahan tidak bisa ditolak. Maka kami lakukan bertahap dan terus mengevaluasi di lapangan,” ujar Abu Bakar, yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Kominfo Kota Jambi.
Pemkot Jambi menyebut bahwa sistem QRIS untuk parkir membawa sejumlah manfaat strategis. Antaralain menghindari praktik pungutan liar (pungli), memastikan retribusi langsung masuk kas daerah secara real-time, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, mendukung program nasional Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD).
Abu Bakar menyampaikan pemerintah tak menutup ruang kritik. Ia menegaskan kebijakan publik tidak bersifat mutlak.
“Jika prosesnya berjalan baik, tentu kita lanjutkan. Tapi bila memang perlu penyesuaian, akan kita evaluasi. Pemerintah hadir bukan untuk memaksa, tapi mengarahkan transisi,” tuturnya.
Ia juga mengapresiasi pihak-pihak yang memberikan masukan.
“Kami percaya semua kritik dan koreksi muncul dari semangat yang sama, yakni membangun Kota Jambi agar lebih baik. Dalam semangat Kota Jambi Bahagia, mari kita kawal kebijakan ini bersama,” tutupnya.
Sebelumnya, Firmansyah, SH., MH, praktisi hukum publik asal Jambi yang kini berdomisili di Jakarta menyampaikan kritik membangun ihwal bayar parkir digital. Menurutnya, kebijakan Wali Kota ini, jangan terlalu terburu-buru diterapkan. Sebelum dieksekusi, ide dan gagasan pemerintah itu mesti dibarengi dulu dengan kesiapan regulasi. Libatkan DPRD Kota Jambi. Jangan tinggalkan mereka.
“Gagasannya baik, digitalisasi pelayanan publik memang penting. Tapi tidak bisa berjalan tanpa dasar hukum. Regulasi itu fondasi. Tanpa itu, pelaksanaan di lapangan rawan pelanggaran dan penyimpangan,” ujarnya.
Menurut Firmansyah, saat ini, kebijakan parkir di Kota Jambi masih mengacu pada Perda No. 3 Tahun 2010 dan Perwali No. 32 Tahun 2018.
Dua regulasi ini, kata Firmansyah, belum menyentuh aspek-aspek penting sistem parkir digital. Seperti mekanisme pembayaran via QR Code. Status hukum juru parkir (jukir) digital. Perlindungan konsumen dan sanksi pelanggaran. Pengelolaan dana dan akuntabilitas.
Firmansyah menilai, ketidakhadiran aturan teknis yang mengatur operasional parkir digital bisa membuka ruang Pungutan liar oleh jukir yang belum dibekali QR resmi, Penagihan tanpa karcis di tepi jalan umum dan Pengelolaan dana parkir yang tidak transparan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, pemungutan parkir tanpa dasar hukum bisa dikategorikan sebagai pemerasan.
Firmansyah menekankan prinsip retribusi.
“Pemerintah hanya boleh menarik biaya atas jasa yang memang disediakan,” ujarnya.
Jika tidak ada lahan parkir resmi, Warga hanya parkir di tepi jalan tanpa fasilitas, Tidak ada karcis atau bukti resmi, maka penarikan retribusi bisa dianggap tidak sah, dan bertentangan dengan hukum keuangan negara.
Penting dibedakan Retribusi, yakni dari pengguna parkir di lahan milik pemerintah. Pajak yakni dari pengusaha parkir swasta (mal, ruko, dsb).
“Sayangnya, dalam praktik di lapangan, dua hal ini sering dicampur. Warga dikenakan tarif tanpa jelas apakah itu pajak atau retribusi,” kritik Firmansyah.
Firmansyah apresiasi gagasan Wali Kota Jambi. Menurutnya, digitalisasi adalah kemajuan. Tapi jika tanpa peta hukum, maka arah langkahnya berisiko membingungkan. Atau lebih buruk, menabrak prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
“Wali Kota tidak bisa menyamakan pemerintah dengan perusahaan swasta. Setiap kebijakan publik wajib memiliki dasar hukum, melalui proses partisipatif dan regulatif,” tegas Firmansyah.(*)
Add new comment