BATANG HARI – Alam yang dulu hijau dan penuh kehidupan kini terkubur di bawah deru mesin tambang di Koto Boyo, Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi. Luka besar menganga di tanah yang dulunya subur. Lubang-lubang bekas tambang batubara ditinggalkan begitu saja, membentuk danau luas yang penuh racun logam berat. Tak ada reklamasi, tak ada upaya pemulihan. Hutan hancur, tanah kehilangan kesuburan, dan pemerintah terkesan tutup mata atas kejahatan lingkungan yang terjadi di depan mata.
Investigasi Perkumpulan Hijau mengungkap fakta mengerikan: ratusan hektar lahan di Koto Boyo telah berubah menjadi kawah-kawah berisi air hijau pekat dan kehitaman, penuh kontaminasi yang berbahaya bagi manusia dan ekosistem.
"Air di sini berbau belerang menyengat dan sangat asam, hampir setara dengan air aki!" – Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau.
Sebuah kejahatan lingkungan yang lebih besar terselubung di balik eksploitasi tambang di Koto Boyo. Perusahaan perkebunan sawit PT Sawit Desa Makmur (SDM), yang mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) pada tahun 1997 dengan luas lahan 14.225 hektar, tidak pernah menanam sawit!
Alih-alih dimanfaatkan untuk perkebunan, HGU sawit ini justru dikavling-kavling menjadi tambang batubara oleh berbagai perusahaan! Bahkan, tambang ini dikuasai oleh keluarga Senangsyah, yang memiliki banyak perusahaan batubara di dalamnya.
📌 Daftar perusahaan tambang yang beroperasi di lahan HGU PT SDM:
🔹 PT TBT – 3.220 hektar
🔹 PT BMS – 1.380 hektar
🔹 PT KMW – 2.000 hektar
🔹 PT DKC – 1.472 hektar
📌 Tambang di bawah kendali Rizal Senangsyah:
🔹 PT BHS – 1.946 hektar
🔹 PT BBMM – 198,70 hektar
🔹 PT KAI – 199,10 hektar
🔹 PT ASSBB – 1.945 hektar
🔹 PT BHI – 2.000 hektar
Yang lebih mencurigakan, PT SDM tidak pernah menanam sawit, tetapi izin HGU-nya tetap bertahan. Diduga, ada permainan di balik layar untuk mempertahankan izin ini sambil mengeruk keuntungan dari tambang batubara.
"Ini skandal besar! Izin HGU sawit seharusnya dicabut, bukan malah dijadikan ladang batubara! Ini jelas pelanggaran serius!" – Feri Irawan.

Kasus ini sebenarnya bukan rahasia lagi di pemerintahan. Sebab, mantan Gubernur Jambi, Fachrori Umar, pernah menyurati pemerintah pusat untuk segera mencabut izin HGU PT SDM.
Namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut yang jelas. Alih-alih dicabut, tambang batubara di kawasan HGU ini justru semakin merajalela dan semakin brutal dalam eksploitasi lingkungan.
"Kami minta Komisi III dan Komisi XII DPR RI, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, serta Presiden Prabowo untuk turun langsung ke lokasi dan mengusut kejahatan lingkungan ini! Ini bukan hanya pelanggaran administratif, ini kejahatan lingkungan yang terjadi secara terang-terangan!" tegas Feri.
Menurutnya, jika pemerintah tetap membiarkan kejahatan ini terjadi, maka akan menjadi preseden buruk bagi daerah lain. HGU sawit bisa kapan saja berubah menjadi tambang, tanpa ada konsekuensi hukum yang jelas.
Celah Korupsi di Balik Alih Fungsi HGU Sawit Jadi Tambang Batubara?
Kasus ini juga memunculkan dugaan kuat adanya permainan antara oknum pejabat, pengusaha, dan perusahaan tambang. Beberapa pertanyaan besar yang perlu diungkap, antaralain bagaimana bisa HGU sawit tiba-tiba berubah menjadi izin tambang batubara? Apakah ada suap atau permainan dalam penerbitan izin tambang di lahan HGU? Siapa pejabat yang berperan dalam memberikan izin operasi tambang di kawasan ini? Ke mana perginya dana reklamasi dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan?
Menurut Feri, penegak hukum harus segera bertindak untuk mengusut kasus ini, karena jelas ada pelanggaran hukum yang sangat serius.
"Pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo, harus turun tangan dan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perusakan lingkungan ini," katanya.
Tambang di Koto Boyo Pernah di Police Line Mabes Polri
Ternyata, di masa lalu, salah satu lokasi tambang di Koto Boyo pernah dipolice line langsung oleh Mabes Polri. Kejadian ini terkait dengan perselisihan pengelolaan tambang dan dugaan penyalahgunaan investasi dalam bisnis batubara.
Seorang sumber yang mengetahui detail kasus ini mengungkap bahwa konflik tersebut melibatkan pemilik konsesi berinisial R dan seorang investor berinisial N. N diduga telah menggelontorkan investasi besar, namun terjadi konflik kepentingan yang berujung pada laporan hukum ke Mabes Polri.
"Kasus ini sudah terjadi beberapa tahun lalu. Laporan diajukan ke Mabes Polri, dan lokasi tambang pernah dipolice line. Waktu itu masalahnya terkait investasi dan pengelolaan tambang," ujar sumber tersebut.
Kejadian ini mengindikasikan adanya pola sistemik dalam pengelolaan tambang di Jambi, di mana pemilik konsesi awalnya bekerja sama dengan investor, tetapi ketika produksi mulai berjalan, konflik terkait hak pengelolaan dan pembagian keuntungan pun muncul.
Biasanya, kasus semacam ini bisa diselesaikan melalui jalur hukum perdata. Namun, karena kasus ini sampai ditangani Mabes Polri, berarti ada indikasi pelanggaran hukum yang lebih serius.
"Jika hanya konflik bisnis biasa, seharusnya kasus ini diselesaikan di ranah perdata. Tapi kalau sampai masuk ke Mabes Polri dan dipolice line, berarti ada yang lebih besar di baliknya. Kemungkinan ada permainan dokumen, izin, dan kejahatan investasi," ujarnya.(*)
Add new comment