Di auditorium Swisbell Hotel, Gubernur Jambi Al Haris berdiri di tengah para taipan sawit dan pengelola perkebunan. Di sana, ia hadir dengan suara lantang untuk menyampaikan sebuah pesan penting : Jambi akan memotong rantai distribusi komoditasnya sendiri.
Kehadirannya dalam Pelantikan Pengurus GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Cabang Jambi 2025–2030, Kamis (8/5/2025), bukan sekadar seremonial. Ia membawa berita besar: pemerintah provinsi telah melobi Kementerian Perhubungan untuk mengaktifkan dan mengakselerasi pelabuhan lokal, sebagai jalur utama ekspor CPO dan batubara dari Jambi.
“Kemarin saya sudah audiensi langsung dengan Menteri Perhubungan. Kita ingin pelabuhan lokal kita—Muara Sabak dan Ujung Jabung—berfungsi maksimal, agar CPO kita tidak lagi harus berputar jauh lewat Dumai,” tegas Al Haris.
Applaus membumbung tinggi di ruangan itu. Pidato Al Haris yang berapi-api dan penu percaya diri itu disambut anggukan kepala para pengusaha. Mereka tentu setuju dengan ide Al Haris, karena mereka sudah lama mengeluhkan mahalnya ongkos logistik.
Pelabuhan Muara Sabak kini telah beroperasi untuk pengapalan CPO, dan lelang percepatan pembangunan Pelabuhan Ujung Jabung segera dijalankan atas instruksi pusat. Ini tentang reposisi kedaulatan ekonomi daerah. CPO Jambi harus keluar dari tanahnya sendiri, bukan melalui pintu orang lain.
Dalam forum itu, Al Haris juga menyampaikan apresiasi tinggi kepada sektor sawit, yang menurutnya, bukan hanya penggerak ekonomi, tapi juga kontributor strategis pencapaian SDGs nasional.
“Data dari IPB menyebutkan bahwa sawit Jambi menjadi yang terbaik secara nasional dalam hal pembangunan berkelanjutan. Ini capaian yang membanggakan,” katanya, sembari menyebut bahwa riset internal Pemprov menunjukkan kesimpulan yang serupa.
Pernyataan ini seperti konfirmasi resmi bahwa sawit tak lagi sekadar industri kontroversial, melainkan instrumen pembangunan yang jika dikelola benar, bisa menjawab banyak persoalan dari ekonomi hingga ketahanan pangan.
Namun Al Haris tak menutup mata terhadap tantangan internal. Dari 185 perusahaan sawit anggota GAPKI Jambi, hanya 37 yang aktif, sebuah fakta yang menurutnya mencerminkan rendahnya soliditas asosiasi.
“Saya minta Dinas Perkebunan mengumpulkan semua perusahaan sawit. Kita harus bangun kekompakan, karena ini bukan zaman pertanian konvensional. Kita sudah masuk ke era pertanian modern,” tandasnya.
Al Haris juga membawa pesan yang lebih dalam: konvergensi sektor. Ia menyebut bahwa program tumpang sari seperti padi gogo di lahan sawit bukan hanya eksperimen, tapi bagian dari strategi nasional untuk mengurangi ketergantungan pangan impor.
Kolaborasi erat antara GAPKI dan pemerintah daerah menjadi kunci. Dalam visinya, perkebunan bukan lagi unit produksi tunggal, tapi ruang hidup terintegrasi yang mendukung ekonomi, pangan, dan ekologi sekaligus.
“Sawit bukan musuh lingkungan. Yang perlu kita lawan adalah cara kelola yang eksploitatif. Karena dengan cara yang benar, sawit bisa jadi penyelamat—bukan penghancur,” ujar Al Haris menutup pidato yang memadukan strategi logistik, kebijakan pangan, dan diplomasi ekonomi dalam satu tarikan napas.(*)
Add new comment