Laut China Selatan kembali bergolak. Pekan ini, akhir Mei 2025, sebuah kapal induk raksasa Amerika Serikat, USS Nimitz (CVN-68), membelah perairan Laut China Selatan. Dari dek kapal, jet tempur F/A-18 Super Hornet melesat satu per satu. Seolah-olah, mereka mengirimkan pesan kepada dunia. "Amerika kembali ke laut yang disengketakan, dan kali ini—dengan lebih banyak kekuatan".
Tapi, lawan bebuyutannya tak tinggal diam. China langsung menjawab manuver militer AS. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan aksi. Pembom strategis H-6 yang mampu membawa hulu ledak nuklir diterbangkan dan ditempatkan di Pulau Woody, wilayah yang mereka klaim dalam Nine-Dash Line.
Bayangan perang pun menebal. Ini bukan hanya pertarungan atas karang dan pasir. Ini tentang peta dunia.
Laut China Selatan menyimpan lebih dari sekadar gelombang. Sekitar 30% perdagangan dunia—setara $3 triliun per tahun—melewati jalur ini. Lebih dari 80% impor energi China juga bergantung pada perairan ini. Maka ketika Beijing membangun pulau buatan dan landasan militer di sana, itu bukan hanya geopolitik. Itu adalah soal hidup dan mati.
Namun, klaim China atas 80% wilayah laut ini lewat peta nine-dash line bertabrakan dengan hukum laut internasional. Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag tahun 2016 menyatakan klaim itu tidak sah. Tapi Beijing tetap melanjutkan ekspansinya—tanpa peduli.
Amerika Serikat tidak memiliki klaim teritorial di sana. Mereka hanya membawa bendera prinsip: freedom of navigation. Di balik jargon itu, tersimpan realitas strategi yakni, mencegah dominasi China di Asia, menjaga keseimbangan, dan mengamankan sekutu-sekutu seperti Filipina, Vietnam, bahkan Taiwan.
Dari sisi China, semua ini dilihat sebagai pengepungan. Sebuah upaya menghambat kebangkitannya. Dengan kata lain, Laut China Selatan adalah dinding pertama dari “Tembok Besar Maritim” mereka.
Dan ketika USS Nimitz masuk bersama armada tempur lainnya—diikuti oleh latihan perang simultan di utara oleh USS George Washington—Beijing pun menuding balik. “Provokasi. Ancaman kedaulatan,” kata juru bicara PLA.
Data dan Kekuasaan: Siapa Menguasai Apa?
| Elemen Strategis | Kepentingan China | Kepentingan AS |
|---|---|---|
| Minyak dan Gas | Eksplorasi cadangan migas bawah laut | Tidak signifikan langsung, tapi strategis |
| Jalur Pelayaran | Jalur suplai energi vital | 30% perdagangan global melewati jalur ini |
| Dominasi Maritim | Blue-water navy & pengaruh Asia Tenggara | Menahan pengaruh China, menjaga sekutu |
| Wilayah Sengketa | Nine-Dash Line + pulau buatan (Spratly, Paracel) | UNCLOS dan hak navigasi internasional |
Di forum keamanan Shangri-La Dialogue di Singapura, Menhan AS Pete Hegseth menyebut ancaman invasi ke Taiwan sebagai "nyata dan segera." Di saat bersamaan, citra satelit menangkap pembom H-6 di pulau sengketa. Simbol-simbol itu berbicara, bahwa dunia sedang menyusun ulang posisi. Seolah panggung perang dingin kini berpindah dari Eropa Timur ke Asia Tenggara.
Dan rakyat sipil—nelayan Filipina yang ditabrak kapal penjaga pantai China, nelayan Vietnam yang takut ditangkap, pedagang Indonesia yang khawatir ekspor tertahan—semua jadi saksi bisu pertarungan para raksasa ini. Akankah perang dunia ketiga meletus tahun ini?
Add new comment