Rumah itu berdiri tenang di RT 26, Griya Golf Garden, Telanaipura, Kota Jambi. Di balik temboknya, seorang polisi yang dikenal pendiam dan berdedikasi, Aipda Hendra Marta Utama, terbujur kaku di lantai ruang tamu. Tak ada jejak perlawanan. Tak ada laporan suara gaduh. Hanya bau busuk yang menyelinap keluar dua hari kemudian. Bau busuk itulah yang memberi isyarat bahwa kejahatan telah terjadi.
Hari itu, Hendra kedatangan seorang teman dekat, Nopri Ardi. Informasi dari kepolisian menyebutkan, Nopri adalah sosok yang dikenal aktif di organisasi masyarakat. Mereka lantas duduk berbincang di ruang tamu. Sampai pembicaraan berbelok tajam ke masalah utang Rp150 ribu.
“Bayar dulu utang itu,” begitu kira-kira nada korban, yang memantik murka pelaku.
Nopri, menurut pengakuannya ke polisi, mendorong Hendra hingga kepalanya membentur keras. Lalu, entah di detik ke berapa dari emosi itu, ia mengambil barbel dua kilogram dan menghantamkannya ke kepala Hendra. Bukan sekali, tapi dua kali.
Setelah itu?
Ia pergi. Meninggalkan tubuh dingin sahabatnya. Membiarkan rumah terbuka, seolah tak ada apa-apa yang terjadi.
Dua hari berlalu. Tepatnya Selasa, 20 Mei 2025, sekitar pukul 13.00 WIB, seorang kurir ekspedisi datang mengantar paket ke rumah Hendra. Tapi, yang menyambut bukan manusia. Melainkan bau yang menyayat napas.
Pintu rumah terbuka. Kurir mengintip, dan tubuh itu terlihat—terlentang, membiru, membusuk. Si kurir bergegas melapor ke warga sekitar. Ketua RT dipanggil. Warga mulai berkumpul. Polisi turun. Garis kuning dipasang. Dan dari titik inilah, sains mengambil alih peran.
Tim gabungan dari Polda Jambi dan Polresta Jambi melakukan empat kali olah TKP. Kenapa empat? Karena TKP ini tak cuma menyimpan jasad, tapi menyimpan narasi. Dan tiap narasi harus dibuka, dibaca, dan dibuktikan.
Dari TKP, penyidik membaca ulang kronologi yang ditulis oleh tempat kejadian itu sendiri. Ini bukan perkara firasat, ini perkara evidence. Dan di sinilah pendekatan scientific crime investigation memainkan peran paling vital.
Tim menyisir letak tubuh korban, posisi barbel, tetesan darah dan arah percikannya, celah pintu, bekas telapak kaki, hingga waktu pembusukan jenazah berdasarkan suhu dan kondisi tubuh. Ilmu forensik mulai bicara. Dengan pendekatan balistik luka tumpul dan simulasi pembusukan tubuh, penyidik memperkirakan kematian terjadi dua hari sebelum ditemukan, tepatnya pada Minggu, 18 Mei 2025. Waktu itu cocok dengan sosok terakhir yang datang ke rumah korban, Nopri Ardi.
Metode scientific crime investigation adalah cara penyidik berpijak pada data, bukan dugaan. Maka, rekonstruksi digital dan prarekonstruksi fisik dilakukan secara sistematis. Mulai dari mencocokkan pola hantaman barbel besi seberat 2 kilogram. Benturan awal dari dorongan mengarah ke trauma tumpul di bagian belakang kepala.
Hantaman kedua dan ketiga menghasilkan retakan yang lebih dalam di tengkorak, membenarkan pengakuan tersangka bahwa ia memukul korban dua kali setelah mendorong.
Sains menjembatani pengakuan dan fakta. Dan dari situ, kebohongan menjadi sulit bersembunyi.
Nah...
Berbekal data identifikasi itu, polisi bergerak cepat. Malam itu juga, mereka bergerak mencari pelaku. Dan polisi berhasil memonitor pelaku di suatu tempat.
Pukul 04.00 WIB, 21 Mei, tim Reskrim Polresta Jambi mengetuk pintu sebuah rumah di Jambi Paradise, Muaro Jambi. Di dalamnya, Nopri tertidur bersama keluarganya. Ia tak melawan. Ia dibawa dalam diam, seperti cara dia meninggalkan korban.
Di ruang interogasi, ia tak menyangkal. Mengaku penuh. Tapi, kebenaran sebenarnya sudah diucapkan oleh TKP terlebih dahulu.
Beberapa hari kemudian, di rumah yang sama, dilakukan prarekonstruksi. Nopri memperagakan setiap gerakan, mulai dari dorongan, benturan kepala, pengambilan barbel, dan pukulan.
Yang menyaksikan diam. Tapi tak ada yang sanggup menghapus suara dalam kepala, begitu murahnya nyawa saat harga diri di atas akal sehat.
Hendra tinggal sendiri. Keluarganya bermukim di Mayang. Warga terakhir melihatnya Sabtu sore, sedang mencuci motor. Setelah itu, ia menghilang dari kehidupan. Dan dalam rumah itulah, ia berpindah dari manusia menjadi korban.
“Kami tidak menyangka. Polisi. Tapi bisa tewas oleh teman sendiri. Karena utang,” kata seorang warga, setengah tak percaya.
Tersangka bukan preman. Bukan penjahat kambuhan. Ia adalah sosok publik: anggota ormas, LSM, dan media lokal. Tapi status sosial tak bisa menahan kekerasan saat nurani dikalahkan oleh emosi.
Dan sekarang, ia duduk sebagai tersangka pembunuhan berencana.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jambi, Kombes Pol Manang Soebeti, membenarkan bahwa pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka. Kasat Reskrim Polresta Jambi, Kompol Hendra Wijaya Manurung, menyatakan bahwa motif pembunuhan diduga karena pelaku emosi saat ditagih utang sebesar Rp150.000 oleh korban. Pelaku telah mengakui perbuatannya setelah dilakukan rekonstruksi ulang di rumah korban.(*)
Add new comment