Ketakutan datang bersama fajar, dari cakar sang penguasa rimba yang turun ke ladang manusia.
***
Langit masih pucat di atas Lolo Hilir, sebuah dusun di lereng perbukitan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci. Di ladang Talang Sembilan, tempat warga biasa memulai pagi dengan menyabit rumput dan mengecek batang kopi, ketenangan itu mendadak berubah. Di tanah yang masih basah oleh embun, tampak tapak besar dengan pola khas—cekungan lengkung yang mengerucut ke arah hutan. Jejak "datuk" alias harimau.
Kamis pagi, 24 April 2025, kabar itu berembus cepat. Bukan lewat kentongan atau pengumuman masjid, tapi media sosial. “Peringatan keras kode alam,” tulis akun Facebook Rockmy Sakti. Ia menyertakan foto jejak kaki sang predator dan menyebutkan lokasi: ladang Talang Sembilan, Muaro Lolo. Pukul 07.00 pagi. Warga diminta waspada.
Sontak kecemasan merebak. Bukan karena hoaks atau sensasi digital, tapi karena jejak itu nyata, tertanam di tanah tempat masyarakat menggantungkan hidup. Video berdurasi satu menit lebih empat detik yang diposting akun Muda Mudi Dusunjawa memperlihatkan para petani yang awalnya tengah berkebun, sontak panik dan berlari pulang begitu melihat jejak itu.
Sudah 9.000 kali video itu diputar, 42 kali dibagikan. Jejak itu bukan hanya meninggalkan kekhawatiran, tapi juga menyentuh nadi ekonomi desa. “Kasihan warga, jadi takut ke ladang. Otomatis ekonomi masyarakat setempat macet,” tulis Rockmy Sakti lagi.
Di ladang itu, ketakutan menjadi nyata. Warga tak hanya kehilangan rasa aman, tapi juga kehilangan keberanian untuk menggarap tanah yang sudah mereka kenal puluhan tahun. Dalam satu malam, jarak antara manusia dan hutan kembali jadi persoalan pelik.
Kepala Seksi Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BBTNKS), David, ketika dikonfirmasi mengaku belum menerima laporan resmi. “Ke TNKS belum ada, tapi infonya sudah dilaporkan ke BKSDA Jambi,” katanya singkat.
Pernyataan David itu seperti menggambarkan jeda birokrasi yang terlalu lambat untuk menghadapi kecepatan alam. Harimau tak menunggu laporan resmi. Ia datang karena sesuatu berubah: hutan menyempit, batas-batas wilayah liar kian kabur.
Di Kerinci, perjumpaan manusia dan harimau bukan cerita baru. Tapi setiap tapak yang tertinggal di ladang tetap saja terasa sebagai peringatan keras: tentang ekosistem yang rapuh, tentang desa-desa yang berdiri di batas antara peradaban dan rimba purba.(*)
Add new comment