OPD Harus Lincah

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Logika Pemerintahan
IST

Saya ingin mengajak Anda ke satu ruangan yang tak banyak kamera menyala. Tapi justru dari sanalah akan dimulai nasib lima tahun ke depan.

Di podium Paripurna DPRD Provinsi Jambi, Gubernur Al Haris berdiri. Tak berteriak. Tak berdebat. Ia hanya membacakan. Tapi kalimat-kalimatnya mengandung pesan yang, bagi saya, lebih keras dari bunyi palu sidang.

“RPJMD ini bukan sekadar dokumen. Ini kompas. Ini kontrak. Ini tanggung jawab,” tegas Gubernur Al Haris.

Lima tahun ke depan, katanya, bukan untuk sekadar menjelaskan program. Tapi untuk mengeksekusinya. Untuk menciptakan efek nyata di dusun-dusun. Untuk memastikan anak SMA miskin bisa kuliah. Untuk menjamin nelayan punya jaminan kecelakaan kerja. Untuk membuat satu desa punya satu hafiz.

Dan tugas itu, semua itu, tidak dikerjakan oleh dirinya sendiri. Tapi oleh para OPD.

OPD itu tulang punggung. Ia bisa kuat menopang visi pemimpin. Tapi juga bisa bungkuk dan tersesat.

Di sinilah seluruh kekuatan RPJMD 2025–2029 akan diuji. Visi “Jambi Mantap Berdaya Saing dan Berkelanjutan 2029” bukan mantra yang sakti. Ia hanya jadi retorika, kalau tak dibarengi birokrasi yang lincah.

Dan Gubernur Al Haris tahu itu.

Makanya, dalam forum paripurna, ia tak hanya memaparkan isi RPJMD. Ia juga melempar bola panas kepada seluruh OPD. Bola itu bernama “Pro Jambi”. Terdiri dari lima pilar besar. Cerdas, Sehat, Tangguh, Responsif, Agamis. Bola itu tak boleh didiamkan. Harus ditendang ke lapangan. Harus dimainkan dengan taktik. Harus sampai ke gawang, bukan hanya diputar-putar di tengah.

Tapi tak semua tepuk tangan di paripurna hari itu tulus.

DPRD Provinsi Jambi, yang menjadi tuan rumah dalam rapat itu, memberikan respons yang... bagaimana ya menyebutnya? Elegan, tapi tajam. Kalem, tapi menggedor.

Mereka tak menolak RPJMD. Tak juga menyetujuinya mentah-mentah.

Yang mereka lakukan adalah memberikan “catatan-catatan”. Kalau dalam pertandingan, ini bukan kartu merah. Tapi peringatan keras wasit.

Catatannya mulai dari hal-hal mendasar, data RPJMD yang tak mutakhir. Masih banyak tabel dan indikator yang berhenti di tahun 2021 atau 2022. Bahkan data jumlah pengunjung perpustakaan masih pakai angka tahun 2020. Di zaman digital seperti sekarang, ini tentu membuat wajah pemerintah terlihat kurang siap.

Dewan juga mempertanyakan indikator kinerja. Target-target besar seperti pengurangan kemiskinan, kenaikan IPM, hingga penurunan emisi karbon dinilai tidak dijelaskan dengan metodologi yang jelas. Bagaimana cara mencapainya? Berapa anggaran per tahun? Siapa OPD penanggung jawab? Tidak semua itu tertulis detail.

Satu hal lagi yang disorot dewan adalah ketidakhadiran isu lingkungan hidup secara utuh. Padahal, kebakaran lahan, krisis air bersih, dan degradasi sungai adalah wajah nyata dari Jambi hari ini.

Saya tak menyalahkan DPRD.

Saya justru bersyukur.

Karena di tengah politik yang makin banyak basa-basi, mereka masih mau memberi kritik teknokratik. Kritik yang menyasar isi dokumen. Bukan sekadar “siapa di baliknya”.

Dan cara Gubernur Al Haris merespons juga, bagi saya, elegan.

Tidak defensif. Tidak menyerang balik.

Ia bilang begini. “Masukan DPRD sangat penting untuk menyempurnakan RPJMD ini. Karena ini adalah milik kita bersama.”

Kalimat itu sederhana, tapi dalam.

Itu bukan kalimat basa-basi. Tapi sinyal bahwa eksekutif siap menampung koreksi. Bahwa RPJMD tak disusun dengan ego, tapi dengan semangat kolaborasi.

Dan di situlah seharusnya semua pemerintahan bekerja.

Tapi kembali ke OPD.

Saya khawatir, kalau semua kritik dewan dan visi gubernur hanya berhenti di dokumen, maka lima tahun ke depan akan jadi “re-run” dari lima tahun sebelumnya.

Kita akan mendengar pidato-pidato hebat. Akan melihat brosur-brosur program. Akan membaca berita tentang bantuan, pelatihan, pembangunan.

Tapi anak-anak miskin masih belum bisa kuliah. Nelayan masih tak punya jaminan kerja. Dan satu desa belum tentu punya satu hafiz.

Maka....seperti kata gubernur...

OPD harus lompat.

Lompat, artinya berani keluar dari kebiasaan.

Dinas Pendidikan misalnya, tak cukup hanya menggandeng universitas lokal. Harus berani bikin short course kepala sekolah ke luar negeri, atau program magang anak SMK ke Jepang seperti yang dilakukan Jawa Tengah.

Dinas Kesehatan tak bisa lagi sekadar membangun puskesmas. Harus punya sistem early warning system untuk stunting dan gizi buruk, berbasis data realtime. Dinas Perhubungan tak cukup memantau lalu lintas. Harus mulai bicara kendaraan listrik, digitalisasi trayek, dan integrasi antar moda.

Semua itu tak butuh uang besar. Tapi butuh ide besar. Dan kemauan besar.

Saya tahu, kapasitas fiskal Jambi tak tinggi. Bahkan diprediksi APBD 2026 akan menurun drastis akibat perubahan skema DAK dan transfer pusat. Nilainya, konon turun sampai Rp 1 triliun.

Tapi justru di situlah OPD diuji.

Kalau dengan anggaran besar bisa bikin program besar, itu biasa. Tapi kalau dengan anggaran kecil bisa mengeksekusi perubahan besar, itu luar biasa.

OPD bukan lagi administrator. Tapi harus menjadi eksekutor. Harus berpikir seperti CEO. Harus punya tim, punya rencana, dan yang paling penting, punya keberanian.

Kita semua... tentu tak ingin RPJMD 2025–2029 ini jadi dokumen yang hanya dibaca saat sidang paripurna. Lalu ditinggalkan di lemari setelah itu.

Kita semua ingin melihatnya hidup. Bernyawa. Menjadi napas semua OPD.

Dan saya yakin, Gubernur Al Haris juga ingin itu.

Karena ketika ia mengatakan bahwa “RPJMD adalah peta jalan kita menuju Jambi yang mantap, berdaya saing, dan berkelanjutan”, saya tahu itu bukan sekadar kalimat indah. Tapi harapan.

Harapan yang sederhana. Bahwa rakyat harus merasakan perubahan. Bukan hanya membaca narasi perubahan.

Tentu saya tak menutup mata. Dokumen setebal itu tak turun dari langit. Ia lahir dari peluh dan lembur. Dari coretan dan debat. Di baliknya, ada tim teknis yang tak tampil di podium, tapi sibuk mencocokkan angka dan narasi di balik layar.

Adalah Bappeda Provinsi Jambi, yang dikomandoi Agus Sunaryo, yang bekerja nyaris tanpa jeda. Saya melihat langsung bagaimana mereka memoles draf demi draf, menyisir tabel yang belum klop, mengurusi undangan Musrenbang sampai larut. Sebagian mungkin keliru, sebagian pasti belum sempurna. Tapi saya percaya, dan ini penting, niat baik mereka tulus. Ingin menghadirkan RPJMD yang bukan hanya “komplit”, tapi juga “mengikat”.

Itulah sebabnya, saat kritik datang dari DPRD, saya berharap bukan dianggap cela. Tapi cambuk untuk lebih rapi. Karena dari semua kerja-kerja birokrasi yang membosankan, menyusun RPJMD adalah kerja yang paling politis sekaligus teknokratik. Dan tim Bappeda sudah melakukannya dengan segala keterbatasan. Mereka pantas diberi ruang untuk memperbaiki. Bukan untuk dicaci. Karena RPJMD yang baik, bukan soal siapa yang benar, tapi siapa yang mau mendengar dan menyesuaikan.

Tapi tentu tidak semua yang dibaca DPRD bisa diloloskan dengan senyum. Salah satu kritik paling keras datang dari urusan klasik, jalan rusak. DPRD menyoroti banyak ruas jalan provinsi yang belum tersentuh, atau dikerjakan setengah hati. Bukan hanya soal jumlah kilometer yang diperbaiki, tapi kualitas dan pemerataan antarwilayah. Beberapa anggota dewan menyebut jalan sebagai "urat nadi pembangunan yang masih tersumbat". Mereka mempertanyakan ke mana prioritasnya? Di mana sebarannya? Mengapa ada jalan yang tiap tahun ditambal, tapi tak pernah tuntas?

Saya bisa membayangkan betapa panasnya telinga Dinas PUPR. Tapi saya juga tahu, mereka bukan tak bekerja. Justru sebaliknya. Dinas PUPR adalah salah satu OPD yang paling berkeringat di lapangan. Dari pagi ke malam, mereka mengejar waktu, mencocokkan data, memvalidasi ruas, berhadapan dengan cuaca, vendor, hingga laporan masyarakat. Contoh saja masalah Multiyears. Mereka bukan tidak berbuat. Tapi dalam RPJMD baru ini, tantangannya bukan hanya bekerja lebih keras, tapi bekerja lebih adil dan terencana. Karena infrastruktur bukan sekadar aspal. Tapi simbol kehadiran negara di setiap tikungan.

Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan satu kalimat.

“Jangan hanya kerjakan apa yang tertulis di RPJMD. Wujudkan apa yang belum sempat ditulis karena terlalu besar untuk dibayangkan.”

Mari kita mulai.

Lima tahun itu tak lama.

Dan sejarah hanya mencatat mereka yang berani melompat.

Sebagai pengingat terakhir, izinkan saya mengutip kalimat Bung Karno.

“Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”

RPJMD adalah langitnya.

Eksekusi adalah bintangnya.(*)

*MUAWWIN MM, Penulis adalah anggota TAG Jambi

Comments

Permalink

Paaaak, pandailah kau berteori, coba buat ukuran mana program yang menunjang visi misimu itu secara terbuka, berani ndak? Buat bobotnya, yang tidak sesuai visa misi jangan dijalankan, jangan didanai, tetapi terbuka ya. Sekarang aku tanya ke kau, dimana bisa download rancangan RPJMDmu itu? Baru sampai tahap ini saja jelas di awal kalimat itu, tidak ada atau sepi sorotan kamera, artinya apa? Cenderung manipulatif

Janji padek

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network

 

Terkait

Baca lainnya

Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar