Oleh:
Muawwin MM
Saya tidak kenal satu pun dari 13 ASN Pemprov Jambi yang mendadak dinonjobkan itu. Tidak juga kenal Kepala BKD-nya. Apalagi staf yang katanya memalsukan surat pengunduran diri.
Tapi saya yakin satu hal, tidak mungkin Gubernur tahu satu per satu isi surat itu. Atau mengetik sendiri SK nonjob-nya.
Dalam sistem pemerintahan yang besar dan berjenjang, banyak yang bisa terjadi “di bawah radar”. Apalagi kalau niatnya memang untuk “merapikan” birokrasi. Apakah niat itu baik? Bisa jadi. Apakah caranya benar? Itu yang sekarang jadi soal.
Saya mencoba menempatkan diri di posisi Gubernur Al Haris. Seorang kepala daerah yang sedang mengelola ratusan jabatan struktural, ribuan ASN, dan puluhan OPD. Rasanya sulit membayangkan beliau sempat duduk satu per satu untuk membaca “surat pengunduran diri” dari ASN eselon III atau IV. Apalagi jika surat itu ternyata, menurut pengakuan mereka, tidak pernah ditulis.
Lucunya, alasan yang tercantum dalam surat itu malah jadi bumerang. “Mundur karena ingin merawat orang tua.” Padahal, kata si ASN, orang tuanya sudah lama wafat. Tragis. Sekaligus satir. Bukankah mestinya alasan dibuat lebih masuk akal? Atau minimal tidak menyentuh ranah personal sedalam itu?
Tapi, benarkah itu salah Gubernur?
Kita boleh skeptis. Boleh curiga bahwa semua ini sudah “didesain”. Tapi boleh juga percaya, ini hanya kelebihan semangat dari staf birokrasi. Semangat mengganti. Semangat menata. Yang sayangnya, menabrak pagar prosedur.
Kepala BKD sudah angkat suara, akan dibentuk timsus. Itu reaktif, iya. Tapi juga sinyal bahwa ada ruang koreksi. Bahwa sistem masih bisa diperiksa balik. Ini penting. Tidak semua daerah punya keberanian mengakui potensi kekeliruan di lingkupnya sendiri.
Tentu publik boleh bertanya, kenapa Gubernur tidak langsung mencopot pejabat yang memalsukan surat itu? Jawabannya barangkali, karena belum tahu siapa yang memalsukan. Apakah benar-benar ada pemalsuan? Jangan-jangan cuma rumor dan omong kosong?
Yang menarik justru sikap para ASN itu. Awalnya mereka “terima”, bahkan ikut rapat pembahasan nasib pasca-nonjob. Lalu berubah sikap. Melapor polisi. Didampingi pengacara. Apakah karena baru sadar ini salah? Atau karena mulai ada pihak luar yang membisiki?
Politik bisa masuk dari mana saja.
Gubernur Al Haris bukan tokoh baru. Ia kenyang kritik, kenyang pujian. Tapi satu yang masih konsisten, ia tidak banyak bicara, lebih suka menyelesaikan masalah tanpa gaduh.
Maka dalam kasus ini, barangkali memang tidak perlu banyak klarifikasi. Cukup satu langkah penting, pastikan siapa yang menulis surat itu. Pastikan pula apakah memang ada surat itu. Jangan biarkan birokrasi kita berjalan atas dasar rumor yang tidak pernah ada. Dan juga jangan buru-buru menghakimi kepala daerahnya.
Karena pemimpin tidak selalu tahu isi semua lemari. Tapi pemimpin yang baik, tahu kapan harus membuka lemari yang terkunci. Dan membersihkannya sendiri.(*)
*Penulis adalah mahasiswa S3 UIN STS Jambi, anggota TAG Jambi
Comments
ASN yang dinonjobkan itu…
ASN yang dinonjobkan itu tidak "laki" sikapnya, mereka itu bermain politik, mendukung salah satu kandidat pilkada yang kalah.
Giliran kandidatnya kalah, diminta mundur tidak mau, dinonjobkan ngambek, dikipasi dikit, ngelunjak. Ya maklum, tidak "laki".
Apa pernah pembaca bayangkan, seperti apa perilaku mereka kalau kandidat yang diusung yang menang?
Sudahlah, ASN itu aturannya netral dan memang idealnya netral dan profesional. Kalau toh mereka yang dinonjob ini punya kompetensi, profesional, tak perlu tidak netral.
Begitupun Gubernur dan pimpinan birokrasi di dalamnya, perlu lebih bijak. Jangan segalanya dipolitikkan.
Add new comment