SAROLANGUN – Pada hari yang mendung di bulan Juli 2024, kawasan Bukit Cino di Kabupaten Sarolangun kembali menjadi sorotan. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di wilayah Pelawan itu menyimpan kisah yang tak sedap dipandang mata. Tumpukan sampah berserakan, seolah menantang perhatian dari mereka yang bertanggung jawab.
PJ Bupati Sarolangun, Bachril Bakri, memutuskan untuk turun langsung ke lapangan. Hari itu, matahari belum sepenuhnya terbit ketika rombongan kecilnya tiba di TPA. Bau menyengat dan pemandangan sampah yang menggunung menyambut mereka. Sementara sebagian besar orang mungkin akan berpaling, Bachril memilih untuk berjalan di antara tumpukan sampah, melihat dengan mata kepalanya sendiri masalah yang selama ini hanya didengar dari laporan.
"Iya, kemarin kita melihat langsung ke lokasi. Banyak sampah tidak dirapikan, diletakkan dan berserakan," kata Bachril Bakri setelah kunjungannya pada Rabu, 3 Juli 2024. Suaranya tegas, mencerminkan ketidakpuasan yang jelas terhadap kondisi yang dilihatnya.
Dia segera meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sarolangun untuk bertindak. Arahan itu jelas: seluruh sampah harus dirapikan dan dimasukkan ke tempat pembuangan yang semestinya. Namun, realitas di lapangan tampaknya lebih kompleks daripada yang terlihat pada pandangan pertama.
Keesokan harinya, di kantor Dinas Lingkungan Hidup yang sibuk, Kepala Dinas Kurniawan memberikan penjelasannya. Di tengah-tengah tumpukan dokumen dan telepon yang terus berdering, ia mencoba menjawab keresahan publik dan pertanyaan wartawan.
"Sampah di TPA semua berada di dalam lokasi Sanitary Landfill. Setiap hari dirapikan, tidak ada yang berserakan. Pengelolaan sampah di TPA hanya ditumpuk di dalam Sanitary Landfill, tidak ada treatment lain," kata Kurniawan, Kamis, 4 Juli 2024.
Nada suaranya berusaha menenangkan, namun ada kekhawatiran tersirat. Pengelolaan sampah di Sarolangun memang bukan tugas yang mudah. TPA Bukit Cino tidak hanya menampung sampah dari satu dua desa, melainkan dari berbagai wilayah yang terus berkembang. Pertumbuhan penduduk dan peningkatan konsumsi hanya menambah beban pada sistem pengelolaan sampah yang sudah terengah-engah.
Kurniawan juga menjelaskan bahwa pengolahan sampah sebagian sudah dilakukan di TPA lama. Di sana, mereka telah membuat dan menyiapkan TPS 3R (Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip Reuse, Reduce, dan Recycle). Ini adalah upaya untuk mengurangi penumpukan sampah di TPA Tembok Cino.
"Itu upaya pengurangan penumpukan sampah di TPA Tembok Cino," tutupnya dengan keyakinan.
Namun, di balik layar upaya tersebut, realitasnya mungkin tidak secerah yang diharapkan. Meski ada upaya untuk merapikan dan mengolah sampah, pertanyaan besar tetap menggantung: seberapa efektif semua itu? Dan lebih penting lagi, apakah ada solusi jangka panjang yang dapat menyelesaikan masalah ini dari akarnya?
Kisah TPA Bukit Cino adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak daerah di Indonesia. Peningkatan jumlah sampah, kurangnya fasilitas pengelolaan yang memadai, serta masalah teknis dan manajerial sering kali menjadi penghalang utama.
Tetapi, di balik tumpukan sampah itu, ada harapan yang digantungkan pada bahu mereka yang berwenang. Harapan bahwa dengan tindakan yang tepat, masalah ini bisa diselesaikan, atau setidaknya dikelola dengan lebih baik.
Hari itu, ketika matahari mulai tenggelam, Bachril Bakri kembali ke kantornya dengan tekad yang lebih kuat. Ia tahu, ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga tentang komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi warganya. Di lain sisi, Kurniawan dan timnya di DLH terus bekerja, mencari cara terbaik untuk mengelola sampah yang seolah tak pernah berhenti datang.
Ini adalah cerita tentang tanggung jawab, tentang harapan yang tak pernah pudar meski sering diuji oleh kenyataan. TPA Bukit Cino mungkin hanya satu dari sekian banyak, tetapi upaya untuk memperbaikinya adalah langkah kecil menuju perubahan besar.(*)
Add new comment