Jaksa Penuntut Umum akhirnya menuntut pidana mati terhadap terdakwa Helen Dian Krisnawati, sosok yang selama ini disebut-sebut sebagai pengendali jaringan narkoba di Provinsi Jambi. Ia pun dijuluki Ratu narkoba. Tuntutan itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jambi, Kamis 24 Juli 2025.
Helen tertunduk.
Jaksa menegaskan terdakwa bukanlah pengguna, tapi otak pengatur distribusi sabu-sabu dalam skala besar di Jambi.
"Ia bukan kurir, bukan perantara. Ia adalah aktor utama,” tegas JPU.
Helen didakwa melanggar Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 132 UU Narkotika. Selama proses persidangan, jaksa menyebut bahwa tidak ditemukan satu pun alasan yang meringankan.
Lalu bagaimana peran Helen dalam jaringan ini? Siapa yang dia kendalikan? Dari mana logistik barang datang? Bagaimana uangnya diputar?
Nama Helen mulai jadi pembicaraan serius ketika video viral beredar Juli 2023 lalu. Kala itu, puluhan emak-emak di Pulau Pandan, Jambi, menyerbu rumah lapak sabu. Rumah itu belakangan diketahui terafiliasi dengan jaringan yang dikendalikan Helen. Sejak itu, Polda Jambi, Bareskrim Polri, dan Dittipidnarkoba mulai memetakan jejaring yang lebih dalam.
Akhirnya, pada 10 Oktober 2024, Helen ditangkap di sebuah apartemen di Jakarta Barat. Ia tidak sendiri. Ada Diding, saudara kandungnya, dan 5 kaki tangannya. Bareskrim Polri menyebut, Helen bersembunyi dengan sistem ‘kompartemen ketat’, hanya bisa diakses lewat rujukan dalam.
Dari hasil penyidikan, ditemukan transaksi mencurigakan mencapai lebih dari Rp3 miliar dari jaringan ini. Dana itu diduga diputar kembali ke bisnis minuman keras ilegal, pengiriman barang ilegal, bahkan sebagian masuk ke usaha legal seperti laundry dan usaha keluarga di kawasan Pasar.
“Uangnya diputarkan agar jejaknya hilang. Tapi pola itu sudah kami temukan,” ujar Brigjen Pol. Mukti Juharsa dari Bareskrim Polri.
PPATK juga menyebut, jaringan ini terindikasi melakukan transaksi mencurigakan hingga lebih dari Rp1,1 triliun dalam rentang 2010–2014. Jejak pencucian uang dari bandar narkoba terbesar Jambi mulai terpetakan.
Jaringan Helen tak menggunakan sistem distribusi klasik. Ia membangun “basecamp lapak” di beberapa titik, termasuk di Lorong Petaling, Jelutung, dan kawasan Angsoduo. Barang dititipkan pada ‘penjaga lapak’, transaksi dilakukan via telepon, lalu pengambilan melalui sandi.
Dalam seminggu, satu titik bisa mengedarkan 500–1.000 gram sabu. Keuntungan bersih bisa mencapai miliaran rupiah per minggu. Uang yang “kering” kemudian masuk ke rekening milik keluarga dan ‘pihak ketiga’.
Di luar gedung PN Jambi, saat persidangan beberapa waktu lalu, suasana pun memanas. Dua kubu berdiri. Satu membawa spanduk dan mawar putih bertuliskan “Helen Tidak Sendiri, Hukum Adil Jangan Berat Sebelah.” Kubu lain berteriak lantang “Hukuman mati! Sudah banyak yang rusak karena dia!”
Meski sudah dituntut mati, pihak penyidik menyebut proses hukum terhadap Helen belum selesai. Ia kemungkinan besar juga akan dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena dana hasil kejahatannya digunakan untuk aktivitas legal.
“TPPU akan jalan. Ini kejahatan sistemik,” ujar penyidik.
Jaksa sudah menjatuhkan tuntutan. Hakim akan segera memutuskan. Apakah semua jaringan ini benar-benar sudah diputus? Ataukah, Helen hanya satu dari pion yang terlalu kentara?
Add new comment