Bayar parkir pakai QRIS. Gagasan ini muncul dari Wali Kota Jambi. Cerdas. Ngikut trend dan zaman. Sudah eranya.
Tapi….
Langkah ini bisa berbahaya dan bermasalah hukum. Pandangan ini disampaikan Firmansyah, SH., MH, praktisi hukum publik asal Jambi yang kini berdomisili di Jakarta. Menurutnya, kebijakan Wali Kota ini, jangan terlalu terburu-buru diterapkan. Sebelum dieksekusi, ide dan gagasan pemerintah itu mesti dibarengi dulu dengan kesiapan regulasi. Libatkan DPRD Kota Jambi. Jangan tinggalkan mereka.
“Gagasannya baik, digitalisasi pelayanan publik memang penting. Tapi tidak bisa berjalan tanpa dasar hukum. Regulasi itu fondasi. Tanpa itu, pelaksanaan di lapangan rawan pelanggaran dan penyimpangan,” ujarnya.
Menurut Firmansyah, saat ini, kebijakan parkir di Kota Jambi masih mengacu pada Perda No. 3 Tahun 2010 dan Perwali No. 32 Tahun 2018.
Dua regulasi ini, kata Firmansyah, belum menyentuh aspek-aspek penting sistem parkir digital. Seperti mekanisme pembayaran via QR Code. Status hukum juru parkir (jukir) digital. Perlindungan konsumen dan sanksi pelanggaran. Pengelolaan dana dan akuntabilitas.
Firmansyah menilai, ketidakhadiran aturan teknis yang mengatur operasional parkir digital bisa membuka ruang Pungutan liar oleh jukir yang belum dibekali QR resmi, Penagihan tanpa karcis di tepi jalan umum dan Pengelolaan dana parkir yang tidak transparan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, pemungutan parkir tanpa dasar hukum bisa dikategorikan sebagai pemerasan.
Firmansyah menekankan prinsip retribusi.
“Pemerintah hanya boleh menarik biaya atas jasa yang memang disediakan,” ujarnya.
Jika tidak ada lahan parkir resmi, Warga hanya parkir di tepi jalan tanpa fasilitas, Tidak ada karcis atau bukti resmi, maka penarikan retribusi bisa dianggap tidak sah, dan bertentangan dengan hukum keuangan negara.
Penting dibedakan Retribusi, yakni dari pengguna parkir di lahan milik pemerintah. Pajak yakni dari pengusaha parkir swasta (mal, ruko, dsb).
“Sayangnya, dalam praktik di lapangan, dua hal ini sering dicampur. Warga dikenakan tarif tanpa jelas apakah itu pajak atau retribusi,” kritik Firmansyah.
Firmansyah apresiasi gagasan Wali Kota Jambi. Menurutnya, digitalisasi adalah kemajuan. Tapi jika tanpa peta hukum, maka arah langkahnya berisiko membingungkan. Atau lebih buruk, menabrak prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
“Wali Kota tidak bisa menyamakan pemerintah dengan perusahaan swasta. Setiap kebijakan publik wajib memiliki dasar hukum, melalui proses partisipatif dan regulatif,” tegas Firmansyah.
QRIS bukan masalah. Smart City bukan masalah. Yang jadi masalah adalah jika semangat modernisasi melangkahi prinsip-prinsip hukum yang menjadi fondasi pemerintahan.
“Kalau ingin membangun kota yang bahagia, maka mulai dulu dengan membangun aturan yang adil, jelas, dan berpihak pada publik,” pungkas Firmansyah.
Sebelumnya, masalah pungutan parkir ini sempat disorot Dirkrimum Polda Jambi. Melalui akun TikTok pribadinya, Dirkrimum Manang Soebakti mempertanya akan sistem pungutan parkir yang merajalela tak terkontrol di Kota Jambi.
Selain itu, masalah parkir ini juga tengah disorot Kejari Kota Jambi. Bahkan, jaksa sudah mulai menggarap kasus retribusi dan parkir di pasar Angso duo kota Jambi.(*)
Add new comment