Direktur yang Dipanggil dari Meja Operasi

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Logika Pemerintahan
IST

Oleh:

Muawwin MM

Saya tidak kenal dekat dengan dr. Herlambang.

Hanya tahu dari media, dari teman-teman sejawatnya, dan dari perawat-perawat yang pernah bekerja bersamanya. Saya tahu beliau bukan sembarang dokter. Ia adalah satu dari sedikit dokter kandungan di Jambi yang punya keahlian khusus, konsultan fetomaternal. Orang yang dipanggil ketika kehamilan sedang dalam situasi darurat. Yang datang saat dua nyawa, ibu dan bayi, dipertaruhkan di meja operasi.

Itu bukan jenis dokter yang bisa digantikan Google.

Ketika seseorang seperti beliau diminta menjadi Direktur RSUD Raden Mattaher Jambi, tugasnya berubah. Dari menyelamatkan satu-dua nyawa… menjadi menyelamatkan sistem.

Dan sistem itu, kita tahu, jauh lebih kompleks.

Sejak awal, penunjukan beliau sebagai direktur sempat memicu diskusi. Bukan soal kapasitas medis. Tapi soal status. Ia masih berstatus dosen tetap PNS di Universitas Jambi. Polemik pun membumbung. Banyak yang tanya, apakah bisa merangkap?

Pertanyaan itu ternyata lebih sulit dijawab daripada operasi caesar.

Beberapa bulan berlalu. Isu itu belum tuntas, tapi perhatian publik mulai bergeser. Kini giliran layanan RSUD yang disorot.

Saya mendengar sendiri dari teman saya yang membawa ayahnya ke IGD. AC-nya rusak. Antrean mengular. Perawat kelelahan. Darah tidak tersedia. Obat sempat kosong. Bahkan sempat viral, anestesi jenis fentanyl tidak tersedia karena kendala pasokan.

Lalu muncul demo dari pegawai kontrak. Ada yang merasa tak terdata dalam sistem nasional. Herlambang menjelaskan, itu di luar kewenangan rumah sakit. Urusan pusat. Tapi tetap saja, di mata publik, itu urusan rumah sakit juga.

Kemudian muncul konflik kebijakan dengan Dinas Kesehatan. Surat tentang SKTM dicabut, lalu dikoreksi. Layanan sedikit tersendat. Isu kian hangat. Sampai-sampai, dalam Pilkada kemarin, rumah sakit ini tidak lagi direkomendasikan sebagai lokasi pemeriksaan kesehatan calon kepala daerah.

Lalu muncul lagi soal tunggakan listrik. Rp 370 juta. PLN mengancam putus sambungan. Vendor obat ogah kirim karena belum dibayar. Pegawai kontrak berdemonstrasi. Padahal ini rumah sakit rujukan.

Dan terakhir, dr. Herlambang tak hadir di paripurna DPRD saat RSUD dibahas. Ia tak datang saat namanya disebut-sebut di forum rakyat. Apakah ia lupa bahwa jabatan direktur bukan hanya soal tandatangan berkas? Tapi soal mendengar keluhan pasien, menyentuh denyut nadi rumah sakit, dan mengendalikan krisis tanpa menyalahkan keadaan?

Tapi, kalau kita hanya melihat sorotan negatif, kita bisa jadi tidak adil. Karena ada juga kemajuan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa dokter spesialis mulai didorong hadir penuh waktu. Pelayanan mulai ditata ulang. Digitalisasi antrean mulai dilakukan. Bahkan RSUD tetap menjadi rujukan regional untuk kasus-kasus darurat ibu dan anak.

Saya sendiri mencatat, ini satu-satunya rumah sakit di Jambi yang punya konsultan fetomaternal. Artinya, kalau seorang ibu hamil dengan risiko tinggi datang malam-malam ke rumah sakit mana pun di Jambi, kemungkinan besar ia akan dirujuk ke RSUD ini. Ke tim yang dibentuk dan dikelola oleh dr. Herlambang.

Tapi publik tidak hanya menilai dari tindakan medis. Mereka menilai dari kesigapan pelayanan. Dari keramahan loket. Dari sabar tidaknya perawat. Dan dari bersih atau tidaknya toilet rumah sakit.

Karena itu, jabatan Direktur RSUD Raden Mattaher bukan jabatan biasa. Ia adalah wajah pelayanan publik. Ia adalah pangkal kredibilitas sistem kesehatan daerah.

Dan, mari kita bicara terus terang. Kinerja buruk di RSUD, cepat atau lambat, akan menyentuh citra Gubernur. Akan menempel pada wajah Pemprov. Karena di benak publik, rumah sakit milik daerah adalah wajah pemerintah daerah.

Bukan hanya wajah direktur. Karena itu, jangan beri beban tambahan kepada Gubernur Jambi.

Beliau sudah cukup sibuk dengan agenda besar, infrastruktur, ketahanan pangan, dan berbagai tekanan nasional. Beliau tidak bisa terus-menerus menambal citra yang bocor dari pelayanan RSUD. Rumah sakit sebesar ini harus bisa menjadi sumber kepercayaan, bukan sumber koreksi setiap minggu.

Saya juga memahami posisi dr. Herlambang. Ia seorang akademisi. Seorang dokter spesialis. Seorang klinisi. Yang mungkin selama ini lebih banyak memimpin tim di ruang bersalin daripada di ruang anggaran. Lebih akrab dengan istilah APGAR score ketimbang angka BLUD.

Dan sekarang, ia harus mengurus ribuan pegawai, vendor obat, tagihan listrik, hingga keluhan di media sosial.

Itu bukan pekerjaan ringan.

Apakah ia gagal?

Saya tidak tahu.

Tapi saya tahu, rumah sakit ini sedang dalam masa transisi besar. Dan transisi, seperti kita tahu, selalu penuh gesekan.

Apakah ia harus diganti?

Saya juga tidak ingin menjawab.

Karena saya percaya, setiap jabatan ada masanya. Dan setiap orang, punya jalan terhormatnya sendiri.

Saya hanya berharap, siapapun nanti yang memimpin RSUD ini, entah tetap dr. Herlambang atau orang baru, jangan lupa satu hal.

Datanglah sesekali ke ruang tunggu IGD. Duduklah di sana. Dengarkan suara pelan dari ibu-ibu yang membawa anaknya tengah malam. Amati wajah panik dari keluarga pasien. Dan rasakan betapa berartinya 10 menit bagi orang yang sedang menunggu hidup atau mati.

Karena rumah sakit, pada akhirnya, bukan cuma tempat kerja. Tapi tempat orang berharap.

Dan hanya orang yang mengerti harapan… yang bisa memimpin rumah sakit dengan hati.(*)

*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili institusi manapun.

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network

 

Terkait

Baca lainnya

Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar