Langit sore di Jambi pada hari itu terasa lebih kelam dari biasanya. Di sebuah rumah sakit, seorang pria muda bernama Afif Tramubia (22), warga Sungai Duren, Kecamatan Jaluko, Kabupaten Muaro Jambi, terbaring dengan luka yang mengubah hidupnya selamanya. Kaki kanannya, yang dulu kuat melangkah, kini telah hilang, menyisakan rasa sakit yang tak hanya fisik, tetapi juga mental. Namun, lebih dari sekadar kehilangan kaki, Afif juga harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya adalah tersangka utama dalam sebuah kasus pembunuhan yang mengguncang Jambi.
Risdianto, seorang driver Maxim berusia 47 tahun, tak pernah menyangka bahwa pekerjaannya malam itu akan menjadi yang terakhir. Warga Kelurahan Payo Lebar, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi, itu ditemukan tak bernyawa di kawasan Jalan Ness, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Tubuhnya yang tak lagi bernyawa menjadi saksi bisu dari kekejaman yang dilakukan oleh Afif Tramubia dan Agam Santoso, dua nama yang kini dikenal luas sebagai pelaku pembunuhan tersebut.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jambi, Kombes Pol Andri Ananta Yudhistira, menjelaskan bahwa hingga saat ini, Afif belum dilimpahkan ke Kejaksaan. Alasannya bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena kondisi fisiknya yang belum memungkinkan. "Jadi kita bantarkan, bukan penahanan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, ketika kondisinya sudah bisa kita limpahkan dan diterima oleh Jaksa, maka segera kita limpahkan atau tahap II," ungkap Kombes Andri dengan nada serius.
Afif saat ini masih menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Bhayangkara setelah kaki kanannya harus diamputasi hingga sebatas lutut. Keputusan untuk mengamputasi kaki Afif bukanlah tanpa alasan. Ketika polisi datang untuk menangkapnya, Afif melakukan perlawanan yang membahayakan petugas. Dalam situasi tersebut, polisi terpaksa mengambil tindakan tegas, yang akhirnya berujung pada keputusan medis untuk mengamputasi kakinya.
Sementara itu, tersangka lainnya, Agam Santoso (19), yang juga terlibat dalam pembunuhan ini, sudah lebih dulu dilimpahkan ke Jaksa. Nasibnya kini berada di tangan hukum, menunggu keadilan yang tak bisa dihindari.
Kisah ini bukan hanya tentang sebuah tindakan kriminal, tetapi juga tentang bagaimana keputusan yang diambil dalam sekejap bisa mengubah hidup seseorang selamanya. Afif, yang mungkin dulu hanya seorang pemuda biasa dari Sungai Duren, kini harus menghadapi hukuman atas tindakan yang ia lakukan. Setiap detik yang ia habiskan di rumah sakit, setiap rasa sakit yang ia rasakan, mungkin tidak sebanding dengan rasa bersalah yang menghantuinya.
Tragedi ini juga menjadi pengingat bagi banyak orang di Jambi, bahwa di balik setiap layanan transportasi yang kita anggap biasa, ada manusia dengan kisah hidupnya sendiri. Risdianto, yang mungkin hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke rumah, harus kehilangan nyawanya karena keserakahan dan kekerasan. Kehidupan yang hilang ini meninggalkan luka yang mendalam, bukan hanya bagi keluarga Risdianto, tetapi juga bagi seluruh komunitas yang merasa kehilangan seorang anggota yang berharga.
Saat ini, masyarakat Jambi menunggu dengan penuh harap bahwa keadilan akan ditegakkan. Kasus ini, dengan segala kompleksitas dan emosinya, menjadi sebuah cerita yang tidak akan mudah dilupakan. Di balik setiap keputusan, ada konsekuensi yang harus ditanggung, dan bagi Afif Tramubia, konsekuensi itu kini menjadi nyata, baik secara fisik maupun hukum.
Malam kembali menyelimuti Jambi, namun bayang-bayang dari peristiwa ini terus membayangi setiap sudut kota. Kisah Afif dan Risdianto menjadi pengingat bahwa kekerasan hanya akan membawa kehancuran, dan bahwa keadilan, meskipun terlambat, akan selalu datang untuk menuntaskan apa yang telah dimulai.(*)
Add new comment