Di tengah hutan lebat dan kebun kelapa sawit yang membentang luas, konflik antara manusia dan gajah liar masih terus berlanjut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Beberapa waktu lalu, seorang warga Desa Suban, Kecamatan Batang Asam, merekam momen ketika sekelompok gajah liar merusak kebun kelapa sawit miliknya. Video itu dengan cepat menyebar, menambah kecemasan warga setempat.
Abu Syauqi, Kepala Resort BKSDA Kuala Tungkal, Jambi, saat dikonfirmasi pada Rabu (26/6/2024), membenarkan adanya laporan dari masyarakat terkait keberadaan gajah di wilayah Desa Suban. “Pada Senin (24/6/2024), kami menerima laporan dari masyarakat mengenai keberadaan gajah di Desa Suban, Kecamatan Batang Asam,” kata Abu. “Selasa (25/6/2024), Kepala BKSDA langsung menurunkan tim untuk melakukan verifikasi dan upaya penanganan. Tim kami segera meluncur ke lokasi.”
Menurut Abu, gajah-gajah yang kini berada di Kecamatan Batang Asam kemungkinan besar adalah gajah yang sebelumnya berada di Kecamatan Renah Mendalu. “Ini masih terkait dengan gajah yang sebelumnya ada di Renah Mendalu. Mereka bergerak ke atas dan sekarang berada di wilayah perbatasan,” jelasnya.
Saat ini, jumlah pasti gajah yang berkeliaran masih belum diketahui. Tim BKSDA yang sedang berada di lapangan belum bisa dihubungi karena terkendala jaringan komunikasi. “Kami mencoba menghubungi tim, tapi tidak masuk, mungkin karena sinyal yang buruk di sana,” ujar Abu.
Meski begitu, Abu memastikan bahwa gajah yang diduga merusak kebun warga tersebut adalah gajah liar. “Kami memiliki gajah jinak di Pusat Informasi Gajah (PIG) di Desa Suo-Suo, Tebo. Mereka tidak dilepas bebas. Jadi, kami bisa pastikan bahwa gajah yang merusak kebun itu adalah gajah liar,” tegasnya.
BKSDA telah memasang GPS pada beberapa gajah liar untuk mendeteksi keberadaan mereka dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat. “Pemasangan GPS ini untuk mendeteksi keberadaan gajah liar dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat agar mereka bisa lebih waspada,” jelas Abu.
Konflik antara manusia dan gajah liar ini bukanlah hal baru di Tanjung Jabung Barat. Dengan semakin sempitnya habitat alami gajah akibat ekspansi perkebunan dan pemukiman, interaksi yang tidak diinginkan ini semakin sering terjadi. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gajah liar tidak hanya menimbulkan kerugian materiil bagi petani, tetapi juga menimbulkan ancaman bagi keselamatan mereka.
Para petani kelapa sawit di Desa Suban kini hidup dalam kecemasan. Kebun yang mereka andalkan sebagai sumber penghidupan kerap menjadi sasaran gajah liar yang mencari makanan. “Setiap malam, kami waswas kalau-kalau gajah datang dan merusak kebun kami lagi,” kata salah seorang warga. “Kami berharap ada solusi cepat dari pemerintah dan BKSDA.”
BKSDA sendiri terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi konflik ini. Selain pemasangan GPS, mereka juga melakukan patroli rutin dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang cara menghadapi gajah liar. Namun, tantangan di lapangan tidaklah mudah. Jaringan komunikasi yang buruk dan medan yang sulit sering kali menghambat upaya penanganan yang cepat dan efektif.
“Kami terus berusaha melakukan yang terbaik untuk menangani masalah ini. Namun, dukungan dari semua pihak, termasuk masyarakat, sangat diperlukan,” kata Abu. “Kerja sama dan komunikasi yang baik antara BKSDA, pemerintah daerah, dan masyarakat adalah kunci untuk mengatasi konflik ini.”
Dengan upaya bersama, diharapkan konflik antara manusia dan gajah liar di Tanjung Jabung Barat bisa segera teratasi, sehingga masyarakat bisa hidup tenang dan gajah liar bisa tetap hidup di habitat alaminya tanpa gangguan.(*)
Add new comment