Kerinci, pada masa lampau pernah menjadi daerah independen, rakyatnya enggan tunduk dan takluk pada kerajaan manapun, termasuk Kerajaan Melayu Jambi. Perlawanan itu, bahkan ditunjukkan secara terbuka dengan menolak membayar pajak. Api perang pun terbakar. Baca selengkapnya jejak kisah Perang Jambi-Kerinci, yang mengungkap ketegangan antara kekuasaan lokal hingga pengaruh Belanda di Jambi.
***
Awal Konflik: Ketegangan di Alam Kerinci
Pada awal abad ke-16, Jambi merupakan pusat kerajaan Melayu yang dipimpin oleh Panembahan Rantau Kapas, dikenal juga sebagai Pangeran Hilang di Aer. Ketika itu, ketegangan mulai mencuat antara Demang—pejabat yang ditugaskan mengumpulkan pajak jajah—dengan penguasa lokal dan tokoh adat di Alam Kerinci. Pajak jajah, sebagai simbol ketundukan kepada kekuasaan yang lebih tinggi, menjadi pemicu konflik ketika tokoh lokal Tiang Bungkuk, menantu dari Depati Muaro Langkap, menolak tunduk (UNJA Conference) (UNDIP E-Journal).
Pecahnya Perang Jambi-Kerinci
Perang ini meletus pada tahun 1524, menandai dimulainya pertempuran berdarah selama tiga tahun antara pasukan Kerajaan Jambi dan masyarakat Kerinci. Konflik ini tidak hanya dipicu oleh penolakan atas pajak, tetapi juga ketidakpuasan mendalam terhadap intervensi kerajaan dalam kehidupan sosial dan politik lokal di Kerinci (UNDIP E-Journal).
Panembahan Rantau Kapas menyadari perlunya bantuan eksternal untuk menyelesaikan konflik ini. Ia mengirim utusan ke Kerajaan Majapahit, memohon bantuan untuk menumpas rakyat Kerinci, yang dicap sebagai pemberontak. Meski Majapahit saat itu sedang dalam masa kemerosotan, mereka tetap menghormati hubungan erat dengan Jambi dan mengirim Raden Jaya beserta panglima-panglima tangguh dari Jawa (Duke University Press) (UNJA Conference).
Talang Jawo dan Pengaruh Majapahit
Di tengah rimbunnya pepohonan dan suara gemuruh Sungai Batanghari, berdirilah Talang Jawo, sebuah kawasan perkebunan yang menjadi saksi bisu pertemuan dua budaya besar: Jawa dan Melayu Jambi. Ketika Orang Kayo Hitam menikahi Putri Pemalang dari Majapahit, sebuah aliansi terbentuk, membawa serta para pengikut setia dari tanah Jawa. Mereka membangun kehidupan baru, menjadikan Talang Jawo sebagai simbol keberanian dan ketahanan di tanah yang belum terjamah (UNDIP E-Journal) (UNJA Conference).
Nama Talang Jawo berasal dari masyarakat asal Jawa yang menetap di sana, menandai jejak pertama orang Jawa di tanah Melayu. Namun, jejak ini tidak bertahan lama. Pada 1858, ketika Belanda menyerbu dan menguasai Jambi, Talang Jawo mengalami transformasi besar. Penduduk aslinya dipaksa pergi, digantikan oleh pekerja dan pedagang yang dibawa Belanda. Nama Talang Jawo kemudian bergeser menjadi Talang Jauh, seiring dengan hilangnya identitas asli komunitas tersebut (UNJA Conference) (Duke University Press).
Pembentukan Pasukan Serdadu di Talang Jawo
Di bawah bimbingan Raden Jaya dan Panglima Raden Serak, Talang Jawo berubah menjadi pusat pelatihan militer. Pasukan serdadu yang terlatih dibentuk, dengan tujuan menyiapkan pasukan untuk memerangi rakyat Kerinci yang menolak membayar pajak dan diintervensi itu. Mereka merekrut para pemuda sakti dan panglima lokal, membentuk satuan tempur yang siap beraksi (Duke University Press) (UNDIP E-Journal).
Pasukan ini tidak hanya dibekali dengan ilmu bela diri, tetapi juga strategi perang yang mumpuni. Talang Jawo menjadi tempat lahirnya generasi pejuang baru, yang dikenal dengan nama Pasukan Tigo Jurai, siap membela kerajaan Melayu Jambi dari serangan mana pun (UNJA Conference) (UNDIP E-Journal).
Raden Jaya: Harapan Baru di Tengah Kekacauan
Raden Jaya, putra dari Orang Kayo Hitam dan keturunan Majapahit itu, didampingi Panglima Raden Serak, segera memobilisasi pasukan yang terdiri dari para pemuda sakti dan panglima lokal yang telah dilatih. Mereka membentuk pasukan elit yang terlatih, yang menjadi tulang punggung perlawanan terhadap pemberontakan rakyat Kerinci (Duke University Press) (UNJA Conference).
Di tengah medan perang yang dipenuhi asap dan suara senjata, Raden Jaya memimpin pasukannya dengan strategi perang yang cerdik. Latihan intensif di Talang Jawo membuat mereka tangguh dan siap menghadapi segala tantangan. Mereka mempelajari kelemahan lawan, memanfaatkan pengetahuan lokal untuk mengatur serangan mendadak yang mengejutkan pihak musuh (UNDIP E-Journal) (UNJA Conference).
Pada penghujung tahun 1526, pasukan Raden Jaya berhasil menangkap Tiang Bungkuk dan mengakhiri perang yang melelahkan dengan rakyat Kerinci. Setelah berhasil menyelesaikan konflik Jambi-Kerinci, Raden Jaya dianugerahi gelar Pangeran Patih Jaya.
Ia diakui sebagai pilar kekuatan Kerajaan Jambi, yang menjaga hubungan diplomatik dengan kerajaan tetangga. Dalam peran barunya, ia tidak hanya membangun kembali keharmonisan, tetapi juga memperkuat pertahanan Jambi dari ancaman eksternal (Duke University Press) (UNJA Conference).
Pangeran Patih Jaya, yang juga dikenal sebagai Pangeran Temenggung Kabul Di Bukit, menjadi legenda di kalangan masyarakat. Kisahnya menginspirasi banyak orang, menunjukkan bahwa semangat juang yang tulus dapat mengatasi segala rintangan (UNDIP E-Journal) (UNJA Conference).
Namun, perjuangan belum usai. Generasi berikutnya harus menghadapi ancaman baru: kolonialisme Belanda. Warisan Raden Jaya dan pasukan serdadunya menjadi fondasi bagi perlawanan selanjutnya di bawah pimpinan Sultan Thaha Syaifuddin (UNJA Conference) (UNDIP E-Journal).
Perlawanan Melawan Penjajah
Saat Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Jambi, semangat perlawanan yang ditanamkan oleh Pangeran Patih Jaya terus berkobar. Sultan Thaha dan pasukannya melanjutkan perjuangan dengan taktik gerilya yang membuat Belanda kewalahan.
Pasukan Tigo Jurai memainkan peran penting dalam mempertahankan Jambi dari penjajah Belanda. Di bawah komando Sultan Thaha Syaifuddin, mereka melancarkan serangan gerilya yang menggetarkan jantung musuh. Meski kalah dalam persenjataan, semangat juang mereka tak pernah padam (Duke University Press) (UNDIP E-Journal).
Sultan Thaha, dengan keberanian yang tak tertandingi, memimpin pasukannya dalam perjuangan panjang melawan kolonialisme. Meskipun akhirnya Jambi jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1904, perjuangan Sultan Thaha dan pasukannya menjadi simbol perlawanan dan inspirasi bagi generasi berikutnya (UNDIP E-Journal) (UNJA Conference).
Perang Jambi-Kerinci dan perjuangan melawan kolonialisme Belanda adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Jambi. Kisah ini mengajarkan kita tentang arti keberanian dan pengorbanan dalam mempertahankan kedaulatan dan identitas. Jejak para pejuang ini akan terus dikenang sebagai inspirasi bagi generasi mendatang, membentuk identitas dan kebanggaan tanah Jambi (UNDIP E-Journal) (UNJA Conference).(*)
*Bagi pembaca budiman yang ingin turut berkontribusi dan berpartisipasi dalam merayakan semangat kepahlawanan ini (menyambut HUT RI 79), kami mengundang Anda untuk mengirimkan artikel mengenai pahlawan-pahlawan Jambi atau topik terkait lainnya. Silakan kirimkan tulisan Anda melalui kontak WA: 082378882986 (Admin Jambi Satu).
Comments
S7 siap bergabung agar benar2 menyala, bung Cecep.
Pertempuran Kerinci ini sangat dikenal dgn taktik tipu muslihat yaitu pura2 mau berunding untuk berdamai lalu Nek Tiang Bungkuk ditangkap pada saat menghadiri acara itu. GM Kerinci harap ingat peristiwa ini disamping masalah pajak yg lebih penting krn raja Jambi kala itu ingin memberlakukan Adat Melayu Jambi (Telitai) di Bhumi Cakti Alam Kincai ?
Add new comment