Di tengah keheningan Desa Jernih, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, Sabtu 21 September lalu terdengar suara lantang para pemangku adat Suku Anak Dalam (SAD) yang berkumpul di kediaman Jenang Jalaludin. Dalam musyawarah yang penuh makna itu, mereka menyepakati untuk memperkuat penegakan hukum adat, yang dirasakan mulai melemah di tengah perubahan zaman. Di bawah bayangan hutan, para temenggung dan jenang duduk bersama, menggali kembali nilai-nilai lama yang menjadi identitas Suku Anak Dalam.
Musyawarah ini digagas untuk memperkuat tatanan hukum adat yang selama ini menja Sabtu di pegangan hidup warga SAD. Menurut Jenang Jalaludin, banyak anggota masyarakat SAD yang kini mulai mengabaikan nasihat dan arahan dari para pemimpin adat mereka. “Banyak warga kita sekarang yang sudah tidak paham lagi hukum adatnya sendiri,” ujar Jenang, menyesalkan kondisi tersebut. "Masalah adat harus dikembalikan ke adat," tegasnya lagi.
Budi Setiawan, Ketua Yayasan Prakarsa Madani Jambi (YPMJ) yang hadir sebagai fasilitator, membuka musyawarah dengan mengingatkan kembali tutur seloko "Rantau Bejenang Alam Barajo" — pepatah adat yang menegaskan peran jenang sebagai pengatur kehidupan SAD. Menurut Budi, penegakan hukum adat memang sangat penting, terlebih dengan adanya perubahan sosial yang mulai menggoyahkan nilai-nilai tradisi.
Struktur adat Suku Anak Dalam, yang dipimpin oleh Jenang, Temenggung, Depati, Mangku, Menti, hingga Debalang Batin, masih kokoh. Namun, pengaruh dari luar membuat banyak warga SAD mulai terprovokasi dan melupakan aturan adat. Salah satu contoh adalah tindakan pencurian, di mana hukum adat SAD memberikan hukuman bertingkat yang keras, dimulai dari denda kain hingga pengusiran dari kelompok, jika pelaku tidak patuh.
Pencurian, menurut adat SAD, dihukum secara bertingkat: pelanggaran pertama dihukum denda 20 lembar kain, kedua 120 lembar, dan ketiga 160 lembar. Jika barang curian tidak dapat dikembalikan, pelaku diharuskan mengganti dengan uang hasil penjualan. Jika pelanggaran terus dilakukan, jenang dapat memutuskan hukuman yang lebih berat: pengusiran dari kelompok sesuai seloko adat, "Dibuang Jauh Dibunuh Mati, Digantung Tinggi Ditanam Dalam."
Selain penegakan hukum adat, musyawarah ini juga menetapkan sanksi bagi penghulu yang tidak mematuhi aturan adat. Dalam situasi seperti ini, penghulu dapat dipecat dari jabatannya, sementara warga yang melanggar akan dihukum sesuai keputusan Jenang, yang bersifat final dan mengikat.
Pada akhirnya, musyawarah ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara adat dan hukum formal. Meskipun warga SAD adalah bagian dari negara yang diakui dengan kepemilikan NIK dan KK, hukum adat mereka tetap diakui dan dihormati. Kesepakatan dalam musyawarah juga mengarah pada pembentukan Lembaga Adat Khusus SAD Kecamatan Air Hitam, yang diusulkan untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah.
Musyawarah yang berlangsung ini menjadi tonggak penting dalam menjaga warisan hukum adat Suku Anak Dalam. Di tengah arus modernisasi yang semakin kuat, para pemimpin adat berusaha memastikan bahwa adat mereka tetap menjadi landasan yang kokoh bagi kehidupan warganya.(*)
Add new comment