Suara dari Balai Rajo
Langit Dusun Sentano memerah di ujung senja, menyembunyikan kisah duka yang akan mengguncang hutan yang tenang itu. Desa Balai Rajo, di Kecamatan VII Koto Ilir, Kabupaten Tebo, mendadak ramai dengan langkah-langkah tergesa, tatapan penuh cemas, dan desas-desus yang menggema di antara pepohonan.
Di ujung kampung, di bawah pohon besar yang menaungi mereka sejak lahir, sekelompok anak Suku Anak Dalam (SAD) sedang duduk berkumpul. Senyum mereka merekah, mengiringi gurauan polos khas anak-anak hutan. Di tengah obrolan, salah satu dari mereka, Bujang, mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. “Ini sarang lebah,” katanya bangga. Mata teman-temannya berbinar.
“Aku juga dapat kroto tadi,” sahut Leman, menunjukkan telur semut yang ia kumpulkan di dalam daun pisang. Tanpa pikir panjang, mereka berbagi dan mulai memakan hasil pencarian mereka di hutan siang itu. Tawa mereka terus menggema, tak menyadari bahwa malam yang akan datang membawa tragedi yang tak terelakkan.
Jeritan Malam
Di tengah malam, jeritan memecah keheningan. Suara lirih Leman terdengar dari salah satu gubuk kecil, memanggil ibunya. “Perutku sakit...” Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkan orang-orang di sekitar. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, sementara Bujang dan adiknya, Kendi, sudah tak sadarkan diri.
Orang-orang SAD berkerumun. Mereka mencoba memberikan ramuan hutan, berharap itu cukup untuk menyelamatkan anak-anak mereka. Tapi tubuh kecil Bujang dan Kendi tak lagi merespon. Suasana berubah menjadi histeris. Salah seorang dari mereka, Aman Lintah, bergegas ke Balai Desa untuk meminta bantuan.
“Anak-anak kami keracunan, tolong kami!” pintanya pada bidan Dwinta di klinik kecil di kilometer 26. Tanpa pikir panjang, bidan itu segera menyiapkan infus dan membawa obat seadanya. Namun, keterbatasan alat membuat usaha penyelamatan terasa seperti perjuangan melawan waktu.
Dalam Pelukan Malam
Berita tentang keracunan massal ini menyebar cepat. Kasat Reskrim Polres Tebo, AKP Yoga Dharma Susanto, menerima laporan sekira pukul 16.00 WIB. “Kabarnya ada tiga anak keracunan, dua di antaranya meninggal dunia,” ujarnya singkat. Namun penyebab pastinya masih menjadi teka-teki.
Beberapa mengatakan mereka memakan telur semut yang tercemar, sementara yang lain berspekulasi bahwa sarang lebah yang mereka makan mengandung zat berbahaya. Untuk memastikan, Tim Inafis Polres Tebo segera dikerahkan ke lokasi kejadian. Namun akses jalan yang sulit dan jauh dari pusat kota Muara Tebo menjadi tantangan besar.
Di waktu yang sama, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tebo, dr. Riana Elizabeth, mendapat laporan yang lebih mencekam. “Jumlah korban meningkat. Tiga meninggal dunia, dan 27 orang lainnya dalam kondisi kritis,” ujarnya kepada media.
Tim evakuasi bergegas menuju lokasi. Kendaraan dobel gardan menjadi satu-satunya cara untuk menembus jalan tanah berlumpur dan medan hutan yang berat. Malam semakin larut, dan rasa cemas menyelimuti seluruh tim.
Hutan yang Terluka
Hutan Sentano, yang selama ini menjadi rumah bagi Suku Anak Dalam, berubah menjadi saksi bisu tragedi. Masyarakat SAD yang terbiasa hidup melangun dan meramu hasil hutan kini dihadapkan pada kenyataan pahit: sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup mereka perlahan berubah menjadi ancaman.
“Hutan kami tak lagi sama,” ujar Aman Lintah dengan suara berat. “Pohon-pohon besar hilang, sungai mulai kering, dan binatang semakin sulit ditemukan.” Sumber pangan mereka terusik oleh masuknya perkebunan kelapa sawit dan perburuan liar.
Beberapa SAD kini memilih bertani karet di pinggir hutan, tapi tak semua mampu beradaptasi. Sebagian besar masih bergantung pada hutan, meski risikonya semakin besar. Tragedi keracunan ini seperti peringatan keras bahwa mereka tak lagi bisa sepenuhnya mempercayai hutan yang dulu ramah.
Luka yang Tak Terlihat
Ketika tim evakuasi akhirnya tiba, pemandangan memilukan menyambut mereka. Anak-anak dan orang dewasa terkulai lemah di gubuk-gubuk kecil. Ketiga jenazah anak yang meninggal dunia telah dibaringkan di satu sisi, sementara 27 korban lainnya dikerumuni oleh keluarga mereka.
“Kami tak tahu harus bagaimana,” ujar seorang ibu sambil memeluk anaknya yang masih gemetar. Tim medis segera memberikan pertolongan pertama, tapi lokasi yang terpencil membuat upaya penyelamatan terasa terlalu lambat.
Di kejauhan, suara sirine kendaraan polisi dan ambulans memecah kesunyian. Tim Inafis mulai melakukan investigasi. Mereka memeriksa sisa-sisa makanan, mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu.
Kehilangan yang Mengingatkan
Tiga anak telah pergi, meninggalkan luka mendalam bagi komunitas SAD di Dusun Sentano. Tragedi ini menjadi peringatan bagi semua pihak tentang betapa rapuhnya keseimbangan hidup di hutan. Perubahan yang terjadi bukan hanya merampas mata pencaharian mereka, tetapi juga membawa ancaman yang tak terduga.
Di sisi lain, tragedi ini menyentuh hati banyak pihak di luar komunitas SAD. Bantuan mulai mengalir, dan perhatian terhadap nasib Orang Rimba semakin besar. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah mereka bisa kembali hidup damai di hutan yang telah berubah?
Hutan Sentano, dengan segala keindahannya, kini menyimpan cerita duka yang tak akan mudah dilupakan. Dan bagi masyarakat SAD, hari itu bukan sekadar kehilangan anak-anak mereka, tapi juga bagian dari identitas mereka sebagai penjaga hutan yang setia.(*)
Add new comment