Seharusnya, pertanian adalah urusan tanah, petani, dan musim. Tapi di Kabupaten Muaro Jambi, pertanian juga menyimpan satu lapisan lain, yakni anggaran yang dipecah halus seperti mulsa plastik di ladang basah. Tahun 2025 ini, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Muaro Jambi menggelontorkan lebih dari Rp1,1 miliar untuk berbagai pengadaan barang pertanian.
Namun yang menarik bukan sekadar besarnya anggaran. Yang lebih menarik—dan layak dicermati—adalah bagaimana anggaran itu dibagi, disusun, dan dimenangkan.
Menurut dokumen yang dihimpun, seluruh proyek pengadaan tersebut dilakukan tanpa proses tender terbuka. Tak satu pun dari paket itu diumumkan dalam sistem seleksi terbuka. Tidak ada persaingan terbuka antarpenyedia barang. Tidak ada kesempatan luas bagi pelaku usaha lain. Semuanya dilakukan lewat pengadaan langsung—alias penunjukan langsung.
Ini bukan pelanggaran hukum. Tapi jika kita baca saksama, praktik ini menyisakan tanda tanya besar: apakah pengadaan langsung itu dilakukan demi efisiensi, atau demi hal lain?
Total paket pengadaan mencapai Rp1.197.000.000, terdiri dari berbagai item:
- Benih padi
- Pupuk NPK
- Pestisida (Fungisida, Sidabas, Rodentisida)
- Alat tanam jagung besar dan kecil
- Power thresher
- Mulsa plastik
- Pupuk organik cair (POC) berbagai merek
Tapi tak satu pun melebihi Rp200 juta, yakni batas atas nominal untuk pengadaan langsung sesuai Perpres No. 12 Tahun 2021. Sebaliknya, seluruh proyek itu dipecah menjadi paket-paket kecil, masing-masing berdiri sendiri tapi—ironisnya—berdekatan dalam jenis pekerjaan, waktu pelaksanaan, dan satuan kerja pelaksana.
Contohnya:
- Pengadaan Benih Padi: Rp199,89 juta
- Pupuk NPK: dua paket berbeda, masing-masing Rp132,6 juta dan Rp150,5 juta
- Fungisida, Sidabas, Rodentisida: masing-masing sekitar Rp51 juta
- POC Hantu dan MUSI 100 Gram: berdiri sendiri dengan nilai masing-masing Rp168 juta dan Rp139 juta
Bila dikumpulkan, ini adalah satu ekosistem pengadaan dengan total miliaran rupiah—yang dikerjakan seolah-olah kecil, padahal besar.
Lebih jauh, pola pemenang proyek juga menarik perhatian. Setidaknya ada tiga CV yang secara konsisten memenangkan berbagai paket:
- CV AZHOFIROH: menang dalam 4 paket pengadaan, termasuk benih padi, pupuk, pestisida, hingga mulsa plastik.
- CV RIMBO TANI: menyabet tiga proyek besar, termasuk POC Hantu dan MUSI 100 Gram.
- CV TRI KARYA BERSAUDARA: mendapat kontrak pengadaan alat tanam jagung dan power thresher senilai lebih dari Rp167 juta.
Semuanya paket yang dilakukan lewat penunjukan langsung.
Apakah memecah proyek seperti ini melanggar hukum? Tidak selalu. Tapi etikanya dipertanyakan. Karena Perpres 12/2021 melarang memecah pengadaan secara sengaja untuk menghindari tender terbuka.
Tender terbuka adalah mekanisme utama untuk memastikan persaingan yang adil, harga terbaik, dan akuntabilitas publik. Ketika tender dihindari, yang hilang bukan hanya efisiensi—tapi kesempatan publik untuk tahu siapa dapat proyek, mengapa, dan dengan standar apa.
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura pasti akan mengatakan bahwa pengadaan ini mendukung program ketahanan pangan. Tapi apakah benar tujuannya efisien, atau justru menjadikan belanja publik sebagai ladang privat untuk segelintir rekanan?
Dengan total anggaran Rp1,1 miliar, publik berhak tahu:
- Mengapa tidak dilakukan tender?
- Apa urgensi memecah proyek secara teknis?
- Siapa yang membuat keputusan pemisahan ini?
- Apa tolok ukur keberhasilan dari masing-masing paket?
Jika pertanian adalah soal keberlanjutan, maka pengadaannya juga harus berkelanjutan secara nilai dan prinsip.
Kini, saatnya publik bertanya apakah pupuk yang dibeli betul-betul untuk sawah, atau hanya pupuk untuk membesarkan lingkaran rekanan?(*)
Add new comment