Untuk Apa jadi Orang Baik

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Politik
IST

Oleh :

Ahmad Inung

Alkisah, ada seorang yang tengah didera kerinduan kepada Tuhan. Siang dan malam dadanya dipenuhi rindu dendam ini. Sesungguhnya, telah lama kerinduan ini menyiksanya. Selama ini dia tidak menghiraukannya, bahkan mencoba mengingkarinya sekuat tenaga. Tapi, akhirnya dia menyerah. Dia mendengarkan suara hatinya. Merasai kerinduanya pada Tuhan dengan sepenuh-sepenuhnya. Saat kepekatan malam menyelubungi bumi dan keheningannya menenangkan, kerinduan itu semakin merajam hatinya.

Saat hampir semua orang menikmati tidur dalam dekapan hening malam, dia bangkit dari pembaringan untuk mengambil air wudhu. Dia gelar sajadahnya. Dia tumpahkan kerinduannya pada Tuhan dalam sujud panjangnya. Air matanya membanjir seperti hujan yang tumpah dari langit. Seperti anak kecil yang memanggil-manggil ibunya, begitulah dia melolong-lolong memanggil Tuhannya. Tak ada lagi zikir yang bisa dibunyikan. Tak ada lagi kata yang bisa dikatakan. Tak ada lagi wirid yang bisa dibatasi hitungan. Yang ada hanyalah kerinduan yang tumpah dalam tangisan. Dia tidak lagi memiliki malam tenang tanpa dicekam kerinduan kepada Tuhan.

Seperti remaja yang tengah jatuh cinta, setiap detik adalah kerinduan untuk bertemu kekasih pujaan. Ketika tangis kerinduan ini dia dendangkan dalam pujian malam, dalam sujud panjang yang tak lagi bisa diukur dengan jam, terkadang dia dihantui keraguan.

Apakah Tuhan mendengarkan?

Apakah Tuhan yang karena-Nya dia direjam rindu dendam ini menyambutnya?

Apakah...?

"Oh Tuhan, apakah Engkau berkenan menyambutku, memelukku, dan membalas segala rasa rindu ini?" Saat keraguan ini menyergapnya, setan mendatanginya.

Kepadanya setan berkata, "Untuk apa kamu menyiksa diri seperti ini? Untuk apa kamu menghabiskan malam-malammu dengan sujud dan tangis kerinduan pada Tuhan? Kamu berharap Tuhan menyambutmu? Katakan padaku, apakah Dia menyambutmu, menjawab pujianmu, mengelus rambutmu, menenangkan gundah hatimu? Kamu hanya menangis sendirian di tengah malam. Kamu hanya menyia-nyiakan waktumu. Sadarlah! Tuhan tak pernah menghiraukanmu."

Perkataan setan itu membutnya semakin ragu. Jangan-jangan benar perkataan setan. Jangan-jangan apa yang dilakukannya hanyalah kesia-siaan. Jangan-jangan perasaan rindu yang menyiksanya ini hanya bertepuk sebelah tangan. Toh selama ini dia tidak merasakan kehadiran Tuhan. Toh bermalam-malam lolongan tangisnya hanya menggema di sudut-sudut ruangan.

Sakitnya sakit adalah ketika rindu tak berbalas, ketika cinta diabaikan. Lebih sakit lagi adalah ketika rindu ini tak juga kunjung lenyap dari hati. Saat kerinduan dan keraguan mengombang-ambingkannya, saat dia hampir putus asa karena tak tahu harus bagaimana, datanglah Malaikat Jibril menjumpainya dalam rupa manusia, dengan jubah hijaunya.

Dengan penuh kasih sang Malaikat berkata, "Jangan percaya apa yang dikatakan setan. Allah, Zat yang karena-Nya engkau menangiskan rindu dalam sujudmu setiap malam, sangat menyayangimu. Dia telah menjawabmu saat engkau memanggil-Nya. Siapakah yang menanam rasa rindu itu di hatimu? Siapakah yang menggerakkan tekad di hatimu hingga engkau sanggup meninggalkan tempat tidurmu untuk mengambil air wudhu dan bersujud kepada-Nya? Yang menanam rindu itu adalah Tuhanmu. Yang menggerakkanmu untuk sujud tidak lain adalah Dia yang Maha Kasih. Dia tidak hanya menjawabmu di ujung doa-doamu, tapi telah mencintaimu sejak detak kerinduan pertama engkau rasakan. Dia telah memelukmu, mengusap rambutmu, dan mengusap air matamu sejak sebelum air mata itu menggenangi pelupuk matamu. Lalu mengapa tiba-tiba engkau meragukan cinta-Nya padamu hanya karena bisikan setan yang memang telah bersumpah untuk menghalangi manusia sujud pada Tuhannya? Nikmati rindumu pada-Nya karena Dia sendirilah yang menanam rasa itu. Nikmati cinta pada-Nya karena sesungguhnya Dia lebih dalam mencintaimu daripada cintamu pada-Nya."

***

Kisah di atas pernah saya baca di sebuah buku yang (kalau tidak salah) dinisbahkan kepada Sayyid Maulana Jalaluddin Ar-Rumi. Tentu saja saya menuliskan ulang di sini dengan bahasa saya sendiri. Anda bebas menghayati kisah di atas dari sudut pandang Anda. Namun, izinkan saya untuk membuat tafsir sederhana dan ringan atas kisah di atas. Dalam hidup, sering kali kita memperlakukan ibadah kita sebagai semata-mata instrumen untuk mendapatkan keuntungan. Baik itu keuntungan dalam bentuk kemewahan di dunia maupun surga di akhirat. Tentu saja, yang saya maksud ibadah di sini tidak hanya ibadah mahdhah seperti shalat, tapi juga seluruh perbuatan baik yang kita lakukan.

Misalnya, saat kita berzikir, kita tidak menghayatinya sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah, tapi merapalnya untuk mendapatkan karamah atau untuk memenuhi hajat-hajat kita. Sehingga, ketika kita tidak mendapatkan karamah atau hajat-hajat kita tak terkabulkan, kita merasa bahwa zikir kita tidak bernilai apa-apa. Kita menempatkan zikir tak lebih sebagai mantra untuk mendapatkan kekuatan- supranatural atau keajaiban ala tukang sulap. Dalam hidup ini, sering kali kita melakukan perbuatan baik bukan karena keniscayaan moral yang ketika kita melakukannya kita bisa disebut sebagai manusia waras. Namun, lebih karena berharap mendapatkan keuntungan pribadi.

Seakan-akan, kita boleh meninggalkan kewarasan moral itu jika tidak mendapatkan balasan yang menguntungkan. Menghamba kepada Allah adalah sebuah kewarasan karena memang kita adalah seorang hamba. Tak peduli apakah kita disiapkan ganjaran atau tidak, penghambaan adalah sebuah kewarasan. Saat kita menolong orang yang sedang kesusahan, itu adalah sebuah kewarasan. Justru ketika kita tidak menolong orang yang kesusahan pada saat kita mampu melakukannya adalah sebuah ketidakwarasan.

Perasaan ini tidak perlu diiming-imingi dengan ganjaran, karena begitulah keniscayaannya. Inilah mengapa Ibn Athaillah As-Sakandary dalam al-Hikam menyatakan:  

.كفى من جزاءىه إياك علي الطاعة أن رضىك لها أهلا

Arti bebasnya adalah sebagai berikut: “Cukuplah ganjaran Tuhan padamu adalah Dia ridha atau menjadikan dirimu sebagai seorang hamba yang taat kepada-Nya.”

Dengan kata lain, ketika Dia menuntunmu menjadi hamba yang memiliki kerinduan kepada-Nya, hamba yang bersujud dalam tangis kerinduan kepada-Nya, sebetulnya Dia telah menganugerahimu dengan cinta yang tidak bisa dibandingkan dengan apa saja, apalagi hanya sekadar keajaiban rambut yang tidak mempan dipotong sebilah pisau.

Cukuplah imbalan dari Tuhan bagi mereka yang bersujud pada Tuhan adalah keinginan kuat yang membuatnya bersujud. Cukuplah imbalan bagi mereka yang rindu pada Tuhan adalah rasa rindu yang ditanamkan Tuhan ke dalam hatinya. Cukuplah imbalan bagi mereka yang berbuat baik adalah keputusan hatinya untuk melakukan kebaikan. Apalagi yang lebih hebat dari hati yang dipilih Tuhan sebagai tempat untuk menanam kebaikan dan kerinduan kepada-Nya? Jika masih juga ada keraguan, ingatlah akan sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari:

إذا تَقَرَّبَ العبدُ إليَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إليه ذِرَاعًا، وإذا تَقَرَّبَ إليَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وإذا أتاني يمشي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Artinya: “Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekatinya satu hasta. Jika dia mendekati-Ku satu hasta, Aku mendekatinya satu depa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, Aku mendatanginya dengan berlari.”

Jadi, ketika kita berbuat baik, tidak perlu lagi bertanya ganjaran Tuhan apa yang akan kita dapatkan. Saat kita memiliki kebebasan untuk berbuat baik atau jahat, kemudian kita memutuskan berbuat baik, pada dasarnya kita telah dipilih Tuhan untuk menerima anugerah agung-Nya. Saat kita menghadapi persoalan hidup kemudian kita memutuskan untuk menangis kepada-Nya, tak perlu kita mempertanyakan kasih sayang-Nya kepada kita, karena kita telah menerimanya, bahkan sebelum air mata membasahi pipi kita.

Sumber: https://arina.id/khazanah/ar-C4Z5J/untuk-apa-jadi-orang-baik

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network