KERINCI – Di balik skandal pembobolan rekening Bank Jambi senilai Rp7,1 miliar, tersimpan deretan kisah menyayat hati para korban. Sebanyak 25 nasabah—yang terdiri dari guru PPPK, pengurus yayasan sosial, dan pejabat publik—menjadi korban kejahatan Regina alias RS, mantan analis kredit Bank Jambi Cabang Kerinci.
Salah satu korban pertama yang membuka kasus ini adalah Mita Ayu, seorang guru PPPK. Ia melapor ke polisi setelah gajinya terus-terusan dipotong untuk cicilan pinjaman yang tak pernah cair.
“Saya bingung, tiap bulan gaji saya dipotong, tapi uang pinjaman tak kunjung saya terima,” ungkap Mita.
Ternyata, uang pinjamannya sudah dicairkan—namun tidak masuk ke rekeningnya, melainkan ditarik secara ilegal oleh Regina.
Mayoritas korban pembobolan adalah para guru PPPK di Kabupaten Kerinci. Mereka percaya penuh pada Regina karena sering dibantu mengurus administrasi pinjaman.
Ironisnya, kepercayaan itu dimanfaatkan. Dana pinjaman yang sudah cair diam-diam ditarik dengan slip palsu. Bahkan, sebagian guru tidak sadar jika rekeningnya telah kosong—hingga datang pemberitahuan soal tunggakan.
“Kami kira hanya salah input atau sistem error, ternyata uang kami sudah dicairkan tanpa sepengetahuan,” ujar seorang guru yang enggan disebutkan namanya.
Tak hanya individu, satu yayasan sosial bernama Bantul Husnah juga menjadi korban. Dana operasional dan sumbangan sosial yang disimpan di rekening Bank Jambi, ikut dibobol Regina.
Belum diketahui secara pasti jumlah dana yang raib, namun kerugiannya mencapai ratusan juta rupiah. Uang itu seharusnya digunakan untuk operasional kegiatan anak yatim dan bantuan ke masyarakat.
Sosok publik pun tidak luput. Adirozal, mantan Bupati Kerinci, tercatat memiliki tiga rekening yang dibobol oleh Regina.
“Dari hasil pemeriksaan sistem, uang di tiga rekening beliau ditarik tanpa sepengetahuan pemilik. Beliau adalah korban,” tegas AKBP Taufik Nurmandia dari Polda Jambi.
Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa Adirozal dan Regina saling kenal. Hubungan personal itu diduga menjadi celah kepercayaan yang dimanfaatkan tersangka.
Hingga kini, baru Rp4 miliar dari Rp7,1 miliar yang berhasil dikembalikan ke 17 korban. Sisanya, sekitar Rp2 miliar lebih, belum dikembalikan ke tujuh nasabah.
“Kami hanya ingin uang kami kembali. Itu tabungan kami selama bertahun-tahun,” ujar salah satu korban guru.
Kasus ini bukan sekadar soal pelanggaran hukum. Ini adalah pengkhianatan kepercayaan dan luka kolektif bagi masyarakat Kerinci—yang menitipkan masa depan dan keuangannya di lembaga yang seharusnya paling aman.
Gaji guru, pinjaman mikro, dana sosial, hingga tabungan pensiun—semua raib. Dan sebagian besar dana itu digunakan untuk judi online.
Kini, korban hanya bisa menanti keadilan, sambil berharap uang mereka kembali, sedikit demi sedikit.(*)
Add new comment