Di bawah terik matahari siang yang menyengat, suasana di lapangan Perumahan Mendalo Hill mendadak berubah tegang. Warga dan puluhan pemuda berkumpul membentuk lingkaran besar, tatapan mereka tertuju pada dua sosok yang berdiri di tengah, berhadapan seperti pejuang yang siap bertarung. Salah satu pemuda tanpa baju, ototnya berkilat di bawah sinar matahari. Lawannya, seorang pria berbaju hitam, tampak sama-sama siap untuk melontarkan pukulan, kedua tangan terkepal erat.
Desas-desus tentang penyebab perkelahian ini beredar dari mulut ke mulut. Kabarnya, semua bermula dari adu kecepatan di jalanan. Balapan liar yang berujung pada saling ejek, dan kini berlanjut menjadi duel fisik di bawah sinar matahari yang menyala terang.
Perekam video berdiri di tepi lingkaran, meneriakkan dukungan dengan antusias, "Pijak be kepalanyo!" serunya, memancing riuh sorakan dari penonton lainnya. Beberapa mencoba melerai, namun lebih banyak yang hanya terpaku, menikmati drama yang berlangsung di hadapan mereka. Sorak-sorai menggema di lapangan, seolah-olah mereka menyaksikan pertandingan yang sudah dinantikan.
Pemuda berbaju hitam bergerak cepat, mengayunkan pukulan pertamanya yang disambut dengan balasan tak kalah keras dari lawannya yang tanpa baju. Tangan mereka beradu, napas mereka mulai terengah, namun harga diri membuat mereka terus maju. Dentuman pukulan berulang kali menggetarkan suasana, sementara di sekitar, suara "terus, terus!" menggema. Ada yang tampak tegang, ada yang bersemangat, bahkan beberapa tertawa sambil mencemooh.
Namun, puncak pertarungan ini tiba ketika pemuda tanpa baju akhirnya roboh ke tanah. Seketika suasana sunyi sesaat, kemudian pecah kembali dalam bisik-bisik dan tawa. Perkelahian selesai, tapi jejaknya tertinggal di benak mereka yang menyaksikan. Sementara itu, perekam video masih mengarahkan kamera, mencatat sisa-sisa dari duel yang berakhir di bawah langit yang panas.
Seorang warga yang menonton dari jauh menggelengkan kepala, wajahnya muram. “Akan terus seperti ini? Bagaimana kalau jadi kebiasaan?” tanyanya pelan, memecah kerumunan. Dengan sorot mata khawatir, ia beranjak pergi, meninggalkan lapangan yang kembali sunyi di bawah terik siang Mendalo Hill.(*)
Add new comment