Sri Sukarsih berjalan menyusuri Jalan H. Agus Salim di Jelutung, tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa siang itu hidupnya akan berubah. Matahari bersinar terik, tetapi suasana tampak lengang, membuatnya menikmati sejenak ketenangan yang langka di tengah hiruk-pikuk kota Jambi.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Dua pria asing menghampirinya, dengan raut wajah penuh kebingungan. Mereka mengaku datang dari luar kota, dari Sumatera Selatan, dan sedang mencari kantor dinas sosial. "Maaf, Bu, bisa bantu kami? Kami tersesat dan butuh petunjuk," ujar salah seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai AA, tukang ojek pangkalan yang tampak ramah dan penuh hormat.
Sri Sukarsih, dengan rasa simpati, berhenti sejenak untuk membantu. Namun, ajakan pria itu semakin mencurigakan ketika mereka memintanya untuk ikut naik mobil mereka, berdalih bahwa mereka ingin mengantarnya ke lokasi yang dimaksud. Dalam hatinya, Sri ragu, tetapi keramahan dan kepolosan pria-pria itu meyakinkannya. Ia pun setuju ikut.
Tak butuh waktu lama, niat buruk mereka mulai terkuak di perjalanan. AA dan rekannya, KT, mulai berbicara tentang hal-hal yang tak masuk akal, jimat khodam, dan ritual yang konon bisa mendatangkan rezeki berlimpah. Mereka meyakinkan Sri bahwa mereka memiliki kekuatan spiritual, yang mampu menggandakan keberuntungan.
"Serahkan ponselmu, kartu ATM, dan uang yang kau miliki. Kami akan mendoakannya agar rezekimu berlipat ganda," ujar AA, suaranya penuh keyakinan.
Sri, yang semula penuh curiga, mulai terhipnotis oleh tutur kata lembut kedua pria itu. Pikirannya terbelah antara rasa takut dan harapan. Mungkinkah ada sesuatu yang benar dari ucapan mereka? Akhirnya, di tengah kebimbangan, ia menyerahkan ponsel Oppo A16, kartu ATM, dan uang tunai yang ada di dompetnya.
Ketika tiba di sebuah tempat yang mereka anggap suci, AA dan KT meminta Sri untuk turun sejenak, mengambil air wudhu agar ritual mereka lebih khusyuk. "Ambil air wudhu dan bersihkan dirimu. Setelah itu, rezeki akan menghampirimu," ujar KT dengan nada serius.
Tanpa kecurigaan yang tersisa, Sri mengikuti perintah mereka. Ia melangkah menuju tempat wudhu, namun saat ia kembali, tak ada lagi AA, KT, ataupun mobil yang mengantarnya. Hanya jejak debu di jalanan yang tersisa, seolah menghapus semua yang baru saja terjadi.
Merasa tertipu, Sri bergegas melapor ke Polsek Jelutung. Tangisnya pecah saat menceritakan bagaimana ia diombang-ambingkan oleh janji palsu dua pria asing itu. Kapolsek, IPDA Andi, segera mengambil tindakan. Tim Reskrim bergerak cepat, menelusuri jejak para pelaku melalui petunjuk-petunjuk yang mereka tinggalkan.
Berbekal informasi dari masyarakat dan rekaman CCTV di beberapa tempat, tim akhirnya berhasil melacak keberadaan AA dan KT. Keduanya bersembunyi di sebuah hotel di Jambi, berharap bisa lari dari kejaran hukum. Namun, usaha mereka sia-sia.
Tanpa perlawanan berarti, AA dan KT ditangkap di kamar hotel tempat mereka menginap. Saat polisi menggeledah tempat itu, ditemukan barang-barang milik Sri—ponselnya, kartu ATM, serta sejumlah uang tunai Rp390.000. Namun, yang paling mencolok dari temuan itu adalah dua benda yang diduga jimat, yang selama ini mereka gunakan sebagai alat untuk memperdaya korban.
Di hadapan IPDA Andi dan para penyidik, AA dan KT tak berkutik. Mereka dihadapkan pada bukti-bukti yang memberatkan, tak bisa lagi lari dari kenyataan bahwa hari-hari mereka sebagai penipu berakhir sudah. Mereka dijerat Pasal 378 atau 372 KUHPidana tentang penipuan dan penggelapan, dengan ancaman hukuman yang menanti.
Dalam sel tahanan, AA dan KT hanya bisa merenung, mengingat hari-hari mereka bermain dengan nasib orang lain, menjanjikan mimpi-mimpi kosong dengan tipu muslihat mereka. Namun kini, jimat yang mereka andalkan tak lagi bisa melindungi mereka dari keadilan yang siap menjerat.(*)
Add new comment