Merangin – Di sepanjang aliran sungai Tabir, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, suara gemuruh alat berat jenis excavator menggema. Di tepi sungai, sekitar tujuh orang pekerja terlihat sibuk mengeruk tanah dan memisahkan emas dari lumpur. Aktivitas ini berlangsung dengan intensitas yang mengkhawatirkan, mencemari aliran sungai dan mengundang keresahan di tengah masyarakat setempat.
Kehadiran Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di daerah ini bukanlah hal baru. Sudah berulang kali disuarakan bahwa kegiatan ilegal ini merusak lingkungan dan mengancam kesehatan warga. Namun, hingga kini, solusi yang diharapkan tak kunjung datang.
Tim investigasi melakukan pemantauan langsung di lokasi. Di bawah terik matahari, mereka menyaksikan bagaimana ekskavator merobek tebing sungai, meninggalkan jejak kerusakan yang tak terelakkan. Air sungai yang dulunya jernih kini berubah keruh, membawa partikel-partikel berbahaya yang mengalir ke hilir, mengancam ekosistem dan kehidupan warga yang bergantung pada sungai ini.
Di pinggir sungai, para pekerja PETI tampak enggan berbicara banyak. Saat ditanya siapa pemilik operasi ini, mereka hanya tersenyum kecut dan menggelengkan kepala, seolah-olah nama sang pemilik adalah rahasia yang harus dijaga ketat. "Kami hanya pekerja, tidak tahu siapa pemiliknya," ujar salah satu pekerja yang menolak menyebutkan namanya.n
Upaya untuk mendapatkan informasi dari pihak berwenang juga menemui jalan buntu. Ketika tim investigasi mencoba menghubungi Kapolsek Tabir Ulu, AKP Deni, melalui pesan WhatsApp pada 20 Juli 2024, pesan tersebut tidak mendapatkan respon. Hingga berita ini dipublikasikan, Kapolsek AKP Deni belum memberikan komentar atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Ketiadaan respon dari pihak kepolisian menambah frustrasi warga. Mereka merasa dibiarkan tanpa perlindungan, sementara kegiatan PETI terus berlangsung dan mengancam kehidupan mereka. "Kami sangat khawatir dengan pencemaran ini. Air sungai yang biasa kami gunakan sekarang tidak bisa dipakai lagi," kata salah seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh PETI bukanlah hal sepele. Pencemaran air menyebabkan berkurangnya kualitas air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat setempat. "Air sungai ini dulu bisa kami minum, sekarang hanya untuk mencuci saja sudah takut," ujar seorang ibu rumah tangga yang tinggal di dekat sungai.
Tidak hanya itu, sedimentasi yang dihasilkan oleh kegiatan PETI juga berdampak pada flora dan fauna di sepanjang sungai. Ikan-ikan mati, tumbuhan air menghilang, dan habitat alami terganggu. Dalam jangka panjang, kerusakan ini akan sulit dipulihkan, meninggalkan warisan masalah bagi generasi mendatang.
Masyarakat kini berharap adanya tindakan tegas dari pihak berwenang. Mereka mendesak agar pemerintah daerah dan aparat keamanan segera turun tangan untuk menghentikan kegiatan ilegal ini. "Kami butuh tindakan nyata, bukan hanya janji," tegas seorang tokoh masyarakat setempat.
Kisah PETI di Sungai Tabir adalah cerminan dari banyak daerah lain di Indonesia yang berjuang melawan aktivitas penambangan ilegal. Dengan segala dampak negatifnya, sudah sepatutnya ada upaya bersama untuk menghentikan kegiatan ini demi menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. Semoga dengan adanya laporan ini, pihak terkait bisa segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Hingga saat ini, harapan warga Desa Tabir Ulu tetap menggantung. Mereka menunggu dengan cemas, berharap ada secercah harapan dari pihak berwenang untuk menyelamatkan sungai mereka yang telah lama menjadi nadi kehidupan di daerah ini.(*)
Add new comment