Penjabat (Pj) Bupati Sarolangun, Bahri, meninjau pembangunan jalan penghubung antara Desa Lubuk Kepayang dan Desa Kasang Melintang, Sabtu (23/11/2024). Infrastruktur yang didanai Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit 2024 ini menjadi harapan baru bagi masyarakat desa. Namun, di balik kabar baik ini, pertanyaan besar muncul: apakah ini solusi jangka panjang, atau hanya tambal sulam untuk menenangkan keluhan warga?
DBH Sawit: Dana Strategis, Pemanfaatan Taktis
Bahri menyoroti penggunaan DBH Sawit sebagai sumber pembiayaan untuk peningkatan jalan, termasuk pengaspalan dan rigid beton. Meski langkah ini diapresiasi, fakta bahwa jalan tersebut masih rentan terhadap banjir menimbulkan keraguan akan keberlanjutan proyek ini.
“Saya akan mengusulkan penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT) untuk membangun turap atau beronjong guna melindungi jalan dari kerusakan akibat banjir,” ujar Bahri.
Usulan ini, meski tampak visioner, mengindikasikan kurangnya perencanaan komprehensif sejak awal. Apakah proyek infrastruktur di Sarolangun dirancang untuk bertahan lama, atau sekadar menyelesaikan masalah permukaan tanpa memperhatikan ancaman lingkungan?
Rencana 2025: Harapan atau Janji Belaka?
Bahri juga menjanjikan pembangunan jalan lanjutan dari Desa Kasang Melintang ke Desa Pangkal Bulian pada tahun 2025, menggunakan dana DBH Sawit. Namun, janji ini membawa risiko retorika politis jika tidak disertai langkah konkret dan transparansi anggaran.
“Tahun depan, kita akan memanfaatkan DBH Sawit untuk membangun akses jalan dari Desa Kasang Melintang ke Desa Pangkal Bulian. Mohon bersabar,” ujarnya.
Pernyataan ini mengundang kritik, mengingat warga telah lama mengeluhkan akses jalan yang buruk. Dengan keterbatasan anggaran yang diakui Bahri sendiri, apakah ini menjadi janji yang dapat direalisasikan atau sekadar narasi politik untuk menenangkan masyarakat?
Pentingnya Perencanaan Berbasis Risiko
Pembangunan infrastruktur jalan di Sarolangun sering kali terlihat sebagai reaksi terhadap keluhan masyarakat tanpa mitigasi risiko jangka panjang. Ancaman banjir yang diakui Bahri sendiri menunjukkan lemahnya perencanaan berbasis risiko dalam proyek ini.
Jika langkah-langkah seperti pembangunan turap dan beronjong baru direncanakan setelah proyek jalan selesai, ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa potensi risiko tidak diantisipasi sejak awal?
Dampak Jangka Panjang: Pembangunan atau Beban Anggaran?
Pembangunan jalan memang memberikan harapan baru bagi warga, terutama petani sawit yang bergantung pada akses jalan desa untuk distribusi hasil perkebunan. Namun, jika infrastruktur ini tidak dirancang untuk bertahan lama, dampaknya justru akan menjadi beban anggaran di masa depan.
Masyarakat Sarolangun membutuhkan pembangunan yang tidak hanya menjawab kebutuhan saat ini, tetapi juga tahan terhadap tantangan lingkungan dan memastikan manfaat jangka panjang.
Langkah Pj Bupati Bahri perlu diapresiasi, tetapi juga harus dikritisi. Pembangunan jalan di Sarolangun harus didukung oleh perencanaan matang, transparansi anggaran, dan solusi jangka panjang. Jika tidak, pembangunan ini berisiko menjadi sekadar pemadam kebakaran yang menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. (*)
Add new comment