Peningkatan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Jambi ke kategori tinggi disambut apresiasi, tapi juga kritik konstruktif. Prof Muchtar Latif, Tenaga Ahli Gubernur Jambi, dalam paparannya di Rakor IDI Bappeda Provinsi Jambi, Kamis (18/9/2025), menegaskan capaian ini baru awal.
“Naiknya IDI memang patut kita syukuri. Tapi demokrasi tidak bisa hanya dilihat dari angka. Ada pekerjaan rumah serius yang harus kita benahi, mulai dari partisipasi masyarakat dalam pemilu, netralitas penyelenggara, hingga peran media lokal,” kata Prof Muchtar.
Menurut Prof Muchtar, sejak era reformasi 1998 demokrasi di Indonesia tumbuh dinamis, tapi tidak lepas dari distorsi. Ia menyoroti masalah klasik di Jambi saat Pemilu 2024. Mulai dari rendahnya partisipasi, lemahnya transparansi dana kampanye, pengawasan pemilu lokal yang belum optimal, serta literasi politik masyarakat yang masih rendah.
“Kesadaran politik warga kita masih terbatas. Politik uang dan kampanye negatif masih terjadi. Ini yang membuat demokrasi di daerah belum sepenuhnya sehat,” jelasnya.
Mantan Rektor UIN STS Jambi itu lalu merujuk data BPS, posisi IDI Provinsi Jambi berada di peringkat 24 dari 38 provinsi di Indonesia. Secara global, IDI Indonesia sendiri hanya menempati peringkat 59 dari 167 negara versi Economic Democracy Index.
“Posisi ini disebut sebagai flawed democracy atau demokrasi cacat. Jadi jangan cepat puas, Jambi harus jadi contoh bahwa demokrasi bisa naik kelas,” tegasnya.

Beberapa faktor yang disebut Prof Muchtar turut menekan kualitas demokrasi di Jambi antara lain, Tingginya angka kemiskinan (di atas 7%). Rata-rata lama sekolah masih rendah (8,9 tahun). Minimnya infrastruktur teknologi informasi. Tingginya pengangguran dan layanan kesehatan belum optimal. Rendahnya pemahaman masyarakat soal pemilu.
“Demokrasi hanya bisa tumbuh kalau ekonomi masyarakat kuat, pendidikan membaik, dan akses informasi terbuka. Kalau itu stagnan, IDI tidak akan bertahan lama di level tinggi,” paparnya.
Prof Muchtar menekankan bahwa semua pihak punya peran. Pemerintah daerah harus mendukung transparansi publik, menjaga netralitas, dan menegakkan regulasi. Penyelenggara pemilu dan pengawas wajib independen, transparan, dan rutin membuka data.
Kemudian Partai politik wajib menjaga etika kampanye, menjauhi politik uang, serta memperkuat kaderisasi. Akademisi dan media memberi edukasi politik yang sehat dan literasi demokrasi. dan Masyarakat, harus aktif berpartisipasi dan mengawasi jalannya pemilu.
“Demokrasi bukan milik satu lembaga, tapi milik semua. Kalau satu saja tidak berfungsi, indeks bisa kembali turun,” pungkasnya.(*)
Add new comment