JAMBI – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan kejanggalan dalam pengelolaan Pendapatan Retribusi Daerah oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dalam audit tahun 2024. Laporan tersebut mengungkap adanya pemotongan langsung dari setoran retribusi pasar untuk membayar honor petugas pemungut, yang seharusnya masuk ke kas daerah terlebih dahulu sebelum dialokasikan kembali sesuai prosedur resmi.
Temuan ini menunjukkan adanya potensi pungutan liar (pungli) dan kebocoran anggaran, yang dapat berdampak pada berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD). Jika praktik ini terus dibiarkan, maka akan membuka celah penyimpangan dan ketidaktertiban dalam pengelolaan keuangan daerah.
Menurut hasil audit, target Pendapatan Retribusi Daerah tahun 2023 ditetapkan sebesar Rp1,1 miliar, tetapi realisasinya hanya mencapai Rp835 juta (75,82%). Pendapatan ini berasal dari retribusi pelayanan pasar, yang mencakup setoran kios permanen, los pasar, dan pedagang kaki lima.
Namun, dalam investigasi yang dilakukan BPK, ditemukan bahwa sebagian besar pendapatan ini tidak sepenuhnya masuk ke kas daerah, melainkan dipotong langsung untuk membayar honor petugas pemungut retribusi di 11 pasar.
Dari total setoran retribusi sebesar Rp642,6 juta, hampir Rp113,5 juta (sekitar 20%) dipotong langsung di lapangan untuk membayar honor 16 petugas pemungut tanpa melalui mekanisme resmi.
Menurut aturan tata kelola keuangan daerah, setiap pendapatan dari retribusi wajib disetorkan terlebih dahulu ke kas daerah sebelum dialokasikan kembali dalam bentuk belanja pegawai atau operasional. Namun, dalam kasus ini, Disperindag membiarkan pemotongan dilakukan langsung di lapangan tanpa mekanisme kontrol dan transparansi yang jelas.
BPK RI menilai praktik ini bermasalah karena:
- Honor petugas pemungut seharusnya dialokasikan dari anggaran belanja pegawai, bukan dipotong langsung dari setoran retribusi.
- Tidak ada regulasi resmi yang mengatur besaran honor yang dipotong, sehingga berpotensi disalahgunakan.
- Pendapatan daerah yang berkurang akibat pemotongan langsung ini dapat memicu kebocoran anggaran dan celah korupsi.
- Tidak ada mekanisme akuntabilitas atas jumlah pemungutan yang dilakukan petugas, sehingga sangat mungkin ada pemotongan lebih besar yang tidak dilaporkan.
BPK juga mempertanyakan kepastian setoran yang masuk ke kas daerah, karena tidak ada jaminan bahwa petugas di lapangan menyetorkan retribusi sesuai jumlah sebenarnya setelah dilakukan pemotongan.
Dalam laporan auditnya, BPK RI merinci jumlah retribusi yang disetorkan ke kas daerah dan jumlah honor yang dipotong langsung di setiap pasar. Berikut tiga pasar dengan pemotongan honor tertinggi:
- Pasar Semurup
- Setoran retribusi: Rp145,5 juta
- Honor pemungut (dipotong langsung): Rp20,8 juta
- Pasar Kersik Tuo
- Setoran retribusi: Rp104,5 juta
- Honor pemungut (dipotong langsung): Rp20,8 juta
- Pasar Baru Siulak
- Setoran retribusi: Rp105,4 juta
- Honor pemungut (dipotong langsung): Rp19,5 juta
Sementara itu, Pasar Batang Merangin menjadi kasus yang paling anomali, di mana Rp2,7 juta dari total retribusi Rp2,7 juta langsung dipotong untuk honor petugas, sehingga hampir tidak ada setoran ke kas daerah.
BPK menilai pola pemotongan ini bisa lebih besar dari yang dilaporkan, sebab tidak ada mekanisme audit ketat terhadap jumlah yang benar-benar dipungut oleh petugas di lapangan.
Atas temuan ini, BPK RI memberikan rekomendasi tegas kepada Bupati dan Kepala Disperindag untuk segera menghentikan praktik pemotongan langsung retribusi dan memperbaiki sistem pengelolaan retribusi daerah.
Langkah-langkah yang disarankan meliputi:
✅ Menghentikan pemotongan langsung honor petugas dari retribusi dan mengalokasikannya secara resmi melalui APBD.
✅ Melakukan audit menyeluruh terhadap setoran retribusi di semua pasar, untuk memastikan tidak ada dana yang disalahgunakan.
✅ Menerapkan sistem pembayaran retribusi yang lebih transparan dan terdokumentasi dengan baik, misalnya melalui sistem digital atau e-retribusi.
✅ Memastikan setiap pendapatan dari retribusi pasar masuk ke kas daerah terlebih dahulu sebelum digunakan untuk kebutuhan operasional.
✅ Mengadakan pengawasan ketat terhadap pemungut retribusi di lapangan untuk mencegah praktik pungli dan kebocoran anggaran.
Jika sistem pengelolaan ini tidak segera dibenahi, maka potensi kehilangan pendapatan daerah akibat praktik serupa bisa semakin besar di masa depan.
BPK RI mendesak audit lebih dalam terhadap seluruh retribusi pasar di daerah ini untuk mengungkap kemungkinan praktik penyalahgunaan dana.
Kasus ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan retribusi daerah masih memiliki banyak celah yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, DPRD dan masyarakat harus turut serta dalam mengawasi perbaikan sistem ini agar PAD bisa digunakan untuk kepentingan publik secara maksimal.
Jika sistem ini tetap dibiarkan tanpa pembenahan, maka yang dirugikan adalah masyarakat sendiri, karena PAD yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru bocor akibat tata kelola yang buruk.
Pemerintah daerah kini didorong untuk bertindak cepat dan tegas dalam menutup celah-celah korupsi di sektor retribusi pasar, guna memastikan keuangan daerah lebih transparan dan akuntabel.(*)
Add new comment