KPK: Fenomena Pemerasan untuk Dana Pilkada TSM Harus Diungkap

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Berita
IST

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengungkapkan adanya laporan dugaan pemerasan yang dilakukan untuk mendukung calon petahana di Pilkada 2024. Laporan ini muncul setelah penangkapan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah bersama Sekretaris Daerah Isnan Fajri dan ajudannya, Evriansyah, dalam kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi.

"Setelah kejadian ini, saya mendapatkan WhatsApp dari beberapa nomor yang saya tidak kenal, menyampaikan bahwa di daerah tertentu juga terjadi hal serupa. Bahkan, mereka menyebut sudah TSM: Terstruktur, Sistematis, Masif," ujar Alex dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (24/11) malam.

Biaya Politik Tinggi Picu Pemerasan

Alex menjelaskan bahwa fenomena pemerasan ini dipicu oleh tingginya biaya politik. Berdasarkan kajian KPK, LIPI, dan Kemendagri, biaya yang dibutuhkan seorang kepala daerah tingkat kabupaten/kota untuk mencalonkan diri berkisar Rp20–30 miliar, sementara tingkat provinsi mencapai Rp50 miliar.

"Itu baru untuk mencalonkan, belum tentu menang. Kalau mau menang, biayanya bisa dua atau tiga kali lipat. Konon seperti itu," ungkap Alex.

Dana besar ini, menurut Alex, sering kali tidak hanya berasal dari kantong pribadi calon, tetapi juga dari sponsor. Bahkan, tekanan dan intimidasi kepada pejabat daerah untuk mendukung petahana sering terjadi, termasuk ancaman pergantian posisi jika tidak mendukung.

Alex menyoroti pentingnya pendidikan politik masyarakat untuk mengurangi ketergantungan pemilu pada uang. "Kemenangan itu banyak bergantung pada uang yang diberikan kepada masyarakat, salah satunya membeli suara. Ini biaya terbesar, termasuk untuk honor pendukung dan saksi-saksi. Itu semua membutuhkan dana yang sangat besar," katanya.

KPK mencatat adanya pola pemerasan, intimidasi, hingga pungutan kepada pejabat daerah untuk mendanai kampanye calon petahana. Alex berharap agar para pejabat daerah yang mengalami tekanan seperti ini berani melapor.

Kasus Bengkulu Jadi Alarm Nasional

Penangkapan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjadi contoh nyata dugaan pemerasan untuk kepentingan politik. Rohidin, yang kembali mencalonkan diri dalam Pilkada Bengkulu 2024-2029 berpasangan dengan Meriani, diduga memanfaatkan posisinya untuk menekan pejabat daerah.

KPK menahan tiga tersangka, sementara lima lainnya yang sempat diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilepaskan karena dianggap korban pemerasan.

"Dengan tidak menetapkan kepala dinas sebagai tersangka, kami berharap pegawai atau pejabat daerah lain yang mengalami pemerasan berani melapor. Sertakan bukti seperti chatting atau dokumen rapat terkait instruksi petahana," tegas Alex.

KPK menegaskan bahwa pelaporan dapat dilakukan kapan saja, bahkan setelah pemilihan usai. Langkah ini diharapkan menjadi upaya sistematis untuk memutus mata rantai korupsi dalam Pilkada.

Fenomena pemerasan untuk dana politik menjadi cerminan tingginya biaya demokrasi di Indonesia. Kasus Bengkulu tidak hanya menjadi peringatan bagi daerah lain, tetapi juga panggilan untuk masyarakat dan pejabat daerah agar lebih berani melawan praktik korupsi yang merusak integritas demokrasi. KPK terus mengajak semua pihak untuk melaporkan dugaan pelanggaran dengan bukti yang memadai demi terciptanya Pemilu yang bersih dan adil. (*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network