Kumpeh Ulu kembali bergolak. Video viral menunjukkan amukan massa yang menghancurkan beberapa truk pengangkut sawit. Kendaraan itu dirusak habis-habisan. Kaca-kaca truk pecah, badan kendaraan penyok, dan suasana mencekam. Peristiwa ini terjadi pada Jumat malam (08/11/24), diduga akibat kemarahan warga yang tak terbendung.
Penyebabnya?
Warga marah setelah pihak berwajib menangkap beberapa orang dari desa. Mereka dituduh mencuri kelapa sawit milik PT FPIL, perusahaan besar yang menguasai lahan sawit di daerah ini. Tuduhan pencurian itu menjadi bara yang menyulut emosi warga. Bagi mereka, ini bukan sekadar pencurian—ini persoalan hidup dan mati.
“Sudah lama kami merasa ditekan oleh perusahaan,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya. Ia mengisyaratkan adanya ketidakadilan yang dirasakan warga setempat. “Kami hanya ingin hidup. Sawit itu ada di tanah kami, tapi apa yang kami dapat?” lanjutnya.
Insiden pengerusakan ini mencerminkan betapa konflik lahan dan ekonomi di perkebunan sawit telah mengakar dalam. Di banyak wilayah, warga merasa terpinggirkan oleh korporasi besar. Mereka hidup dekat dengan sawit, tapi jauh dari kesejahteraan. Sehingga, ketika beberapa warga ditangkap, kemarahan itu pecah. Truk-truk yang berada di sekitar lokasi menjadi sasaran amuk.
Pihak PT FPIL belum memberikan komentar resmi. Mereka bungkam, sementara suara protes warga kian nyaring. Beberapa sumber menyebutkan bahwa warga mencurigai adanya permainan kekuatan di balik tuduhan pencurian ini. Apakah ini murni pencurian? Atau, ini hanya upaya untuk membungkam suara-suara kritis di sekitar perkebunan?
Tak hanya warga, pihak berwajib pun mendapat sorotan. Bagaimana penegak hukum menangani kasus ini akan menjadi ujian keadilan. Jika pendekatan yang diambil cenderung berpihak, bukan tak mungkin konflik ini akan terus membara. Apalagi, sejarah mencatat, konflik semacam ini sering kali berujung pada tindakan main hakim sendiri yang merugikan semua pihak.
Peristiwa ini adalah pengingat keras tentang konflik sosial di perkebunan sawit. Ketika kesejahteraan tidak merata, ketika ketimpangan dibiarkan tumbuh, massa akan memilih jalannya sendiri. Dan kali ini, jalan itu berupa truk-truk sawit yang hancur di malam hari.
Warga menginginkan keadilan. Mereka ingin suara mereka didengar, bukan hanya dilihat sebagai “pencuri” di tanah yang mereka huni selama berpuluh-puluh tahun.(*)
Add new comment