Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd
(Ketua ICMI Orwil Jambi)
A. ICMI dalam Sejarah: Harapan Umat dan Bangsa
Hadirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) lahir pada 7 Desember 1990 sebagai respons atas kegelisahan umat terhadap minimnya representasi kaum intelektual Muslim dalam ranah strategis bangsa. Pada masa Orde Baru, ruang publik bagi kelompok Islam cenderung sempit dan penuh kecurigaan. Kemunculan ICMI di tangan B.J. Habibie menjadi momentum historis yang mengakhiri “politik isolasi” terhadap cendekiawan Muslim (Effendy, 2008).
Kelahiran ICMI bukan sekadar organisasi, melainkan peristiwa sosial-politik besar. Ia membuka saluran baru bagi Muslim terdidik untuk masuk ke ruang pengambilan kebijakan, menguatkan modernisasi, dan mengusung gagasan Islamic scientific awakening ala Habibie (Barton, 2002). ICMI sejak awal diposisikan sebagai organisasi inklusif yang merangkul berbagai kelompok profesi: akademisi, ulama, birokrat, teknokrat, dan profesional.
Momentum 34 tahun menunjukkan bahwa ICMI bukan hanya saksi sejarah, tetapi “mesin gagasan” umat. Pada era awal, ICMI menghadirkan harapan bahwa umat dapat berkontribusi pada pembangunan tanpa harus terjebak tarik-menarik ideologis. Ia menjadi jembatan antara negara, kampus, dan masyarakat sipil.
B. ICMI dan Khittah Perjuangan Kualitas Umat dan Bangsa
Sejak berdirinya, ICMI mendeklarasikan khittah perjuangan yang menekankan penguatan kualitas umat dan bangsa. Pemikiran Habibie dan para pendiri ICMI merumuskan paradigma bahwa kecendekiaan adalah instrumen strategis untuk transformasi sosial.
ICMI mengembangkan lima kualitas pengabdian yang menjadi pilar gerakan:
- Kualitas Iman (Keimanan)
Iman menjadi dasar moral kecendekiaan. Habibie melihat iman sebagai sumber etika publik, integritas, dan tanggung jawab sosial. Kualitas iman membentuk pribadi yang bertaqwa, berakhlak, dan tahan terhadap penyalahgunaan kekuasaan (Azra, 2010).
- Kualitas Pikir (Kecendekiawanan/Kepakaran)
ICMI hadir sebagai rumah besar kaum intelektual Muslim yang menempatkan ilmu sebagai pilar kemajuan. Perspektif knowledge society menjadi narasi utama yang terus dikembangkan (Nakamura, 2012).
- Kualitas Kerja (Etos Kerja)
Etos kerja unggul menjadi ciri khas budaya organisasi ICMI. Hal ini tercermin dari cara Habibie mengintegrasikan profesionalisme, disiplin, dan produktivitas sebagai work ethics for national competitiveness.
- Kualitas Karya (Kreativitas dan Inovasi)
ICMI mendorong karya nyata: riset, teknologi, kebijakan publik, dan lembaga pemberdayaan. Semboyan IMTAK–IPTEK adalah manifestasi kualitas karya yang menekankan keseimbangan spiritualitas dan inovasi.
- Kualitas Hidup (Kesejahteraan Umat)
Tujuan akhir perjuangan adalah peningkatan martabat manusia. ICMI menilai kesejahteraan tidak sebatas ekonomi, tetapi juga pendidikan, kesehatan, keadilan, dan pemberdayaan. Inilah orientasi masyarakat madani (Nurcholish Madjid, 1997).
Kelima kualitas ini menjadikan ICMI bukan sekadar organisasi, tetapi model gerakan intelektual Muslim yang menekankan spiritualitas, ilmu, kerja, inovasi, dan kemaslahatan.
C. ICMI Melahirkan IPTEK dan IMTAK untuk Peradaban Dunia
ICMI identik dengan gagasan IMTAK–IPTEK yang diperkenalkan Habibie. Ia meyakini bahwa kemajuan umat Islam hanya dapat dicapai melalui integrasi keimanan dan ilmu pengetahuan modern (Habibie, 1992).
Di sini, ICMI berperan:
- Mendorong modernisasi universitas,
- Memperkuat riset teknologi,
- Memperluas beasiswa dan pengembangan SDM,
- Menjembatani komunitas ilmuwan global,
- Mempromosikan literasi sains dalam masyarakat.
Dalam kancah internasional, ICMI sering dijadikan model gerakan intelektual Muslim modern yang mampu mengharmonikan agama, ilmu, dan kemajuan sosial (Rahman, 2015).
D. ICMI dalam Dinamika Pentas Politik Orde Baru, Era Reformasi hingga Merah Putih
ICMI di awal 1990-an menjadi fenomena politik besar. Banyak analis menyebut kelahirannya sebagai manuver Habibie untuk memperluas ruang politik umat, meskipun tetap dalam kerangka sistem Orde Baru (Liddle, 1996).
Pada puncaknya, ICMI memengaruhi birokrasi, kebijakan teknologi, dan arah modernisasi nasional. Namun setelah kejatuhan Orde Baru, ICMI mengalami deklinasi pengaruh akibat perubahan lanskap politik. Reformasi menghadirkan demokratisasi yang membuat kelompok Muslim memiliki banyak jalur organisasi alternatif.
Walaupun demikian, ICMI tetap menjaga komitmen kebangsaan “Merah Putih” sebagai organisasi moderat dan non-partisan. Periode pasca-Orde Baru menjadi fase konsolidasi, di mana ICMI kembali menegaskan identitas intelektual dan perannya dalam masyarakat sipil (Fauzan, 2020).
E. ICMI dalam Gugatan Umat dan Bangsa di Era Global dan Digital
Era global dan digital menghadirkan tantangan baru bagi ICMI: disrupsi teknologi, polarisasi politik digital, krisis literasi informasi, serta ketidakadilan ekonomi digital. Muncul pertanyaan kritis dari umat: Apakah ICMI masih relevan?
Gugatan ini wajar, karena masyarakat kini menuntut:
- Kepakaran dan skill baru
- Pemimpin intelektual yang visioner,
- Kontribusi konkret menghadapi AI, big data, dan ekonomi digital,
- Kemampuan menyelesaikan problem ketidakadilan sosial yang makin kompleks.
ICMI sebenarnya telah lama mendapat kesempatan bentangan dan membentang “karpet merah” untuk kemajuan umat melalui riset, pendidikan, dan teknologi. Namun realitas politik menunjukkan bahwa perjuangan ICMI sering tidak dinikmati oleh organisasi itu sendiri. Banyak inovasi, ide, dan kader ICMI justru dipanen pihak lain, kadang rezim kekuasaan yang sebelumnya memandang sebelah mata.
Inilah “paradoks kecendekiaan”:
ICMI bekerja keras melakukan transformasi, tetapi tidak selalu mendapat ruang penghargaan proporsional, malah berada diruang hampa yg diabaikan keberadaannya oleh rezim.
Era digital menuntut ICMI untuk merebut kembali panggung keilmuan:
- Memimpin literasi digital,
- Membangun ekosistem riset dan AI Muslim,
- Mengembalikan tradisi ijtihad ilmiah berbasis ilahiah
- Memperkuat jejaring global Muslim intellectuals,
- Menempatkan diri sebagai rujukan keilmuan nasional.
Jika ICMI mampu menjawab gugatan ini, ia akan kembali menjadi rumah kecendekiaan Indonesia, yang dapat membentang kembali karpet merah untuk umat dan bangsa.
F. ICMI dan Karpet Merah vs Ijo Royo-Royo: Nostalgia Sejarah ICMI Emas
Istilah “karpet merah vs ijo royo-royo” menggambarkan romantika perjalanan ICMI. Pada masa keemasannya (1990–1998), ICMI dianggap organisasi paling strategis, penuh pesona intelektual, dan menjadi pusat perhatian negara. Itulah “karpet merah”.
Namun pascareformasi, suasana berubah: dinamika politik hijau yang melambangkan persaingan internal Islam dan pertarungan fraksi politik, membuat ICMI sering tersisih dalam gelanggang politik praktis. ICMI tetap menjadi organisasi pemikir, tetapi tidak lagi menjadi pusat daya tarik yang menjadi magnit dan pesona politik kekuasaan dan kebangsaan.
Nostalgia ini bukan keluhan, tetapi refleksi:
ICMI perlu kembali pada karakter emasnya, ilmiah, moderat, inovatif, dan berintegritas tinggi, dengan kecendekiaan, keumatan dan kebangsaan dan pengukir peradaban.
G. ICMI Perambah Kebangkitan Kecendekiaan: Para Pihak Menuai
Dalam perjalanan panjangnya, ICMI telah membuka jalan lahirnya SDM unggul: profesor, rektor, birokrat, teknokrat, pejabat negara, pemimpin organisasi, dan inovator sosial.
Namun, seperti sering disampaikan para tokoh, ICMI adalah perambah yang ditempatkan sebagai pejuang dan kreator sejarah kecendekiaan masa lalu , bukan pemungut hasil.
Organisasi ini bekerja menyiapkan jalur modernisasi, tetapi tidak menjadi pihak yang menikmati hasilnya, dalam berbagai rezim yang telah berkuasa, ICMI masih di pandang dengan kacamata buram yang tidak berkapasitas, sepertinya kekuasaan telah menjadi milik partai dan ormas Islam raksana ditanah air, sehingga kaplingan kabinet telah dibagi habis tanpa menoleh sedikitpun, ada ICMI yang telah membentang karpet merah dan hijau bagi umat dan bangsa.
Kendati demikian, ICMI harus melihat posisi ini secara positif:
- Sebagai amanah dan pengukir sejarah untuk umat dan bangsa
- Sebagai tugas peradaban yang memiliki entitas Islam terbesar dunia
- Sebagai bukti bahwa perjuangan intelektual adalah kerja jangka panjang, yang hasilnya tidak selamnya dapat dipanen.
Kini, kebangkitan kecendekiaan harus diarahkan mempersiapkan generasi muda: digital-native intellectuals yang siap memadukan IMTAK dan IPTEK dalam dunia baru berbasis teknologi.
H. Penutup
Perjalanan 34 tahun ICMI adalah kisah panjang perjuangan kecendekiaan, spiritualitas, dan kebangsaan. ICMI telah menjadi ruang produksi gagasan, pusat pembentukan SDM unggul, dan rumah moderasi bagi umat. Tantangan era digital menuntut ICMI untuk melakukan rekonfigurasi peran agar kembali menjadi rujukan moral-intelektual bangsa.
Dengan lima kualitas pengabdian; kualitas iman, pikir, kerja, karya, dan kualitas hidup, ICMI memiliki modal kuat untuk memimpin kebangkitan baru umat dan bangsa. Perjalanan ini belum selesai. Tetapi sejarah telah mencatat bahwa ICMI adalah pilar penting dalam pembentukan Indonesia modern.
Referensi;
- Barton, G. (2002). Indonesia’s Muslim Middle Class and Politics. Oxford University Press.
- Esposito, J. (2001). Islam and Politics. Syracuse University Press.
- Rahman, F. (2015). Islam and Modern Knowledge. Brill.
- Nakamura, M. (2012). Islam, Politics, and Change in Indonesia. Allen & Unwin.
- Liddle, R. W. (1996). Leadership and Culture in Indonesian Politics. Equinox.
- Hefner, R. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press.
- Hooker, V. (2004). A Short History of Indonesia. Allen & Unwin.
- Eliraz, G. (2004). Islam in Indonesia: Modernism and Struggles. University of Hawaii Press.
- Bourchier, D., & Hadiz, V. (2003). Indonesian Politics and Society. Routledge.
- Kim, H. (2019). Religion and Knowledge in Southeast Asia. Routledge.
- Azra, A. (2010). Islam Substantif. Mizan.
Effendy, B. (2008). Islam dan Negara. Paramadina. - Madjid, N. (1997). Masyarakat Madani. Paramadina.
Habibie, B. J. (1992). Ilmu Pengetahuan dan Etos Kerja. ICMI Press. - Fauzan, S. (2020). Dinamika ICMI dalam Era Reformasi. Jurnal Sosial Politik Indonesia, 12(1), 55–78.
- Amal, T. (2011). Islam dan Tantangan Modernitas. RajaGrafindo.
- Humaidy, M. (2019). ICMI dan Transformasi Sosial. Jurnal Pemikiran Islam, 5(2), 88–102.
Add new comment