Buta Aksara al-Qur’an di Jambi: Fantastis 33%.

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Opini
IST

M

Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.
(Tenaga Ahli Gubernur Jambi - Guru Besar UIN STS Jambi)

A. Pendahuluan
Fenomena buta aksara al-Qur’an masih menjadi salah satu problem laten umat Islam Indonesia. Dalam konteks keindonesiaan yang mayoritas Muslim, kemampuan membaca, memahami, dan mengamalkan al-Qur’an seharusnya menjadi tolok ukur kemajuan spiritual dan moral bangsa. Namun data menunjukkan bahwa tingkat literasi al-Qur’an masih jauh dari ideal.

Survei Kementerian Agama RI (2023) menunjukkan bahwa 38,49% masyarakat Indonesia belum memiliki kemampuan membaca al-Qur’an secara baik dan benar.
Di tingkat provinsi, Ibu Gubernur Jambi (Hj. Hesnidar Haris) pada sambutannya dalam ToT 30 Menit Bisa Membaca Al-Qur’an, (Desember 2024) menegaskan bahwa 33% masyarakat Jambi masih buta baca al-Qur’an. Angka ini masih di bawah angka nasional.
Lebih fantastis lagi, di Kota Jambi, penelitian oleh Gerakan Remaja Masjid Indonesia (Gerami, 2024) melaporkan bahwa sekitar 51–55% siswa SMP tidak dapat membaca al-Qur’an dengan lancar.
Angka-angka ini menunjukkan kesenjangan antara identitas religius masyarakat Melayu Jambi yang dikenal religius dengan realitas kemampuan membaca kitab sucinya sendiri. Situasi ini menuntut tindakan konkret berupa mobilisasi sosial, pendidikan formal, nonformal, dan kebijakan daerah yang sistematis untuk membangun masyarakat Qurani yang sadar nilai duniawi dan ukhrawi.

B. Mengapa Melek Al-Qur’an

  1. Perspektif Teoretis dan Pakar
    Literasi al-Qur’an tidak hanya berarti kemampuan teknis membaca huruf Arab, tetapi mencakup tiga ranah utama: (1) kemampuan fonetik dan tajwid, (2) pemahaman makna dan tafsir dasar, serta (3) internalisasi nilai-nilai Qur'ani ke dalam perilaku sosial.

Menurut Hanafi (2020), melek al-Qur’an berarti, kemampuan menjadikan teks wahyu sebagai rujukan dalam berpikir dan bertindak. Sedangkan Susanto (2024) menyebut literasi Qur'ani sebagai transformasi dari teks suci menjadi praktik sosial yang menghidupkan etika kemanusiaan.

Kajian empiris Supriadi et al. (2022) membuktikan bahwa peningkatan kemampuan baca al-Qur’an berkorelasi positif dengan peningkatan disiplin, empati sosial, dan prestasi belajar siswa di sekolah berbasis Islam.

  1. Dalil Qur’an dan Hadis
    Al-Qur’an menegaskan pentingnya membaca dan memahami wahyu. Ayat pertama yang turun:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. (QS. Al-‘Alaq: 1)

Ayat ini menjadi dasar bahwa membaca adalah perintah wahyu pertama. Dalam konteks spiritual dan sosial, membaca al-Qur’an bukan sekadar ritual, tetapi gerbang pengetahuan dan peradaban.

Rasulullah bersabda:

Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya. (HR. al-Bukhari)

Hadis ini menegaskan nilai ganda: belajar dan mengajar al-Qur’an adalah bentuk pengabdian tertinggi dalam Islam. Oleh karena itu, pemberantasan buta al-Qur’an bukan sekedar program pendidikan, tetapi juga ibadah sosial yang memperkuat ukhuwah dan keimanan.

  1. Implikasi Teoretis
    Secara teoretis, melek al-Qur’an memiliki dimensi duniawi (kemampuan berpikir kritis, etos kerja, integritas sosial) dan ukhrawi (amal ibadah dan takwa). Semakin tinggi literasi Qur'ani, semakin besar potensi masyarakat menuju keseimbangan iman, ilmu, dan amal.

C. Mobilisasi Melejitkan Kesadaran Masyarakat Qur'ani

  1. Mobilisasi Sosial dan Kelembagaan

Mobilisasi dalam konteks ini berarti gerakan sistematis lintas sektor antara pemerintah, pesantren, sekolah, masjid, dan ormas untuk memperluas akses pembelajaran al-Qur’an.

Di Jambi, sejak 2023 Pemprov bersama TP-PKK Provinsi Jambi dan Kanwil Kemenag telah melaksanakan:

a. Program ToT 30 Menit Bisa Membaca al-Qur’an

b. Gerakan Jambi Mengaji (Gerami)

c. Taman Baca Al-Qur’an (TBQ) keliling dan rumah tahsin desa

Program-program ini mencerminkan pendekatan bottom-up, mengandalkan relawan guru ngaji dan komunitas masjid sebagai agen perubahan.

  1. Strategi Mobilisasi yang Efektif

Berdasarkan kajian terbaru (Zarkasi et al., 2025; Jufri, 2025), strategi literasi Qur'ani efektif meliputi:

a. Pelatihan guru al-Qur’an berbasis kompetensi tahsin–tajwid.

b. Integrasi kurikulum sekolah dengan jam wajib membaca Qur’an (AKMI).

c. Pemanfaatan media digital Qur'ani (aplikasi, podcast, gamifikasi).

d. Insentif bagi ustadz/ustadzah desa melalui dana CSR dan zakat produktif.

e. Gerakan Keluarga Qur'ani berbasis PKK untuk menjangkau ibu rumah tangga.

Mobilisasi efektif ini berakar pada partisipasi masyarakat, bukan hanya proyek birokrasi yang bersifat top- down

D. Potensi Masyarakat Melayu Jambi yang berbasis Syara’

  1. Modal Sosial dan Budaya
    Masyarakat Melayu Jambi dikenal dengan semboyan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.” Artinya, adat dan agama saling menopang. Potensi ini menjadi kekuatan besar untuk membangun gerakan literasi Al-Qur’an berbasis kearifan lokal.

Surau, langgar, dan masjid yang tersebar di desa-desa hingga kota, menjadi pusat pembelajaran alami. Struktur sosial masyarakat Melayu Jambi yang komunal dan gotong royong memudahkan pembentukan kelompok belajar Qur’an di tingkat RT dan kelompok masyarakat, seperti majelis taklim.

  1. Potensi Kelembagaan

a. Pesantren dan Madrasah: pusat pembinaan kader Qur'ani atau melalui lembaga non formal masyarakat.

b. Ormas Islam dan Lembaga Dakwah: mitra strategis Pemprov dalam mobilisasi pembelajaran al Qur'an secara terstruktur dan terencana.

c. TP-PKK dan Baznas: pelaksana pemberdayaan berbasis keluarga Qur'ani dan zakat literasi untuk menopang gerakan Qur'ani.

Jika potensi ini dimobilisasi serentak, maka target Jambi Bebas Buta al-Qur’an 2030 realistis dicapai.

  1. Hambatan dan Solusi

Hambatan & Solusi
Minimnya guru tahsin bersertifikat, Pembelajaran tidak seragam, Pelatihan ToT Qur'ani masih minim, Kesibukan ekonomi masyarakat sehingga membuat jurang waktu belajar, kelas malam & digitalisasi (PAMi) belum optimal,
Kurangnya fasilitas, TBQ, Akses rendah di desa CSR & dana zakat literasi belum optimal.
Hambatan ini dapat dieliminir dalam memberikan solusi atas problem pembelajaran dan fasilitasi belajar, tentu dengan dukungan serius dan fokus dari para pihak pemerintah, ormas, lembaga Islam dan swasta yang dapat membeckup para guru tahsin yang profesional bersertifikat dan harus berbayar.

E. Korelasi Peradaban dan Masyarakat Qur"ani

Peradaban besar Islam tumbuh dari masyarakat yang menjadikan al-Qur’an sebagai sumber nilai publik. Literasi al-Qur’an tidak hanya membentuk akhlak individual, tetapi juga etos sosial dan tata kelola pemerintahan yang berkeadaban.

Menurut Romdhoni (2021) dan Aziz (2022), literasi Qur'ani memiliki fungsi ganda:

  1. Transformasi spiritual: menumbuhkan kesadaran takwa dan moralitas.
  2. Transformasi sosial: menciptakan keadilan sosial, integritas, dan kesejahteraan.

Masyarakat Qur'ani yang beradab adalah masyarakat yang berilmu, berakhlak, dan produktif, dalam tiga pilar peradaban inilah orang mampu menyeimbangkan duniawi dan ukhrawi.

Dengan demikian, pemberantasan buta al-Qur’an adalah investasi peradaban, bukan sekedar proyek keagamaan.

E. Perkembangan Global Metode Membaca Al-Qur’an: Klasik dan Modern

Perjalanan perkembangan metode membaca al-Qur’an dimulai dari tradisi lisan (talaqqi dan musyafahah) sejak masa Rasulullah di Madinah. Dalam metode ini, guru membacakan ayat, murid menirukan secara langsung hingga bacaan benar dari segi tajwid dan makhraj (Al-Qari, 2021). Tradisi ini kemudian melahirkan berbagai sistem pengajaran seperti qira’at, yakni ragam bacaan yang diriwayatkan dari tujuh imam qira’at, antara lain Nafi’, Ibn Kathir, dan ‘Asim (Nasr, 2022).

Dari perkembangan tersebut, muncul sistem tajwid, yaitu ilmu yang mengatur kaidah bacaan Qur’an, yang dikodifikasi pertama kali oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam dan disempurnakan oleh Ibn al-Jazari dalam al-Muqaddimah al-Jazariyyah (2020). Tajwid menjadi fondasi dari semua metode pengajaran baca Qur’an di dunia Islam modern.

Metode klasik tertua yang dikenal dalam sejarah pembelajaran Qur’an adalah metode Baghdadiyah, lahir di Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah sekitar abad ke-8 M. Sistem ini mengajarkan huruf Arab satu per satu secara ejaan (tahajji), lalu membentuk kata dan kalimat, hingga bacaan ayat al-Qur’an (Al-Harbi, 2023). Model ini masih digunakan di madrasah tradisional Irak, Mesir, Sudan, dan sebagian Asia Selatan, dengan modifikasi sesuai konteks lokal.

Di Asia Selatan, muncul metode Noorani Qaida, yang disusun oleh Maulana Noor Muhammad Haqqani di India–Pakistan sebagai sistem dasar untuk membaca Qur’an. Buku Noorani Qaida (Haqqani, 2021) menjadi standar awal literasi Qur’an di wilayah tersebut, bahkan dijadikan kurikulum di madrasah Pakistan.

Sementara itu, metode Tartīl/Tilāwah /Murattal berkembang pesat di Mesir dan Arab Saudi pada abad ke-20. Metode ini menekankan pembacaan al-Qur’an secara teratur, jelas, dan berirama, sehingga membantu pembelajar memahami panjang-pendek bacaan dan memperbaiki tajwid (al-Harbi, 2023). Tradisi tilawah modern ini dipelopori oleh qari’-qari’ besar seperti Syekh Mahmoud Khalil al-Husary dan Muhammad Siddiq al-Minshawi, yang menjadi ikon seni baca Qur’an dunia.

Metode Tahfidz (hafalan) juga berkembang sejak masa sahabat Nabi. Di era modern, lembaga seperti Darul Huffadz Institute (Mesir) dan pesantren-pesantren tahfidz di Indonesia serta Malaysia memperbarui sistemnya dengan teknik muraja’ah (pengulangan terstruktur) dan tahsin (perbaikan bacaan) (Al-Fadhli et al., 2023).

Transformasi Metode Membaca Al-Qur’an di Indonesia

Indonesia mengadopsi metode Baghdadiyah sejak abad ke-17 M melalui ulama Timur Tengah. Selama berabad-abad, metode ini menjadi dasar pengajaran Al-Qur’an di surau, madrasah, dan pesantren salaf. Namun sejak 1980-an, muncul metode modern yang lebih cepat dan menarik bagi anak-anak.

Metode paling populer ialah Iqra’, yang disusun oleh KH. As’ad Humam di Yogyakarta pada 1988. Buku Iqra’ terdiri dari enam jilid bertahap, dengan pendekatan membaca langsung tanpa ejaan panjang (Humam, 2022). Metode ini diakui Kementerian Agama RI dan menjadi standar nasional di TPA dan TPQ.

Selanjutnya, KH. Dachlan Salim Zarkasyi dari Semarang mengembangkan metode Qiro’ati (1963), yang menekankan talaqqi langsung dari guru kepada murid tanpa bantuan huruf latin. Pendekatan ini mendorong siswa membaca al-Qur’an secara tartil sejak awal (Zarkasyi, 2021).

Dari Qiro’ati, lahir varian baru bernama Yanbu’a, yang dikembangkan oleh KH. Ulin Nuha Arwani dan KH. Ulil Albab Arwani di Kudus (2004). Buku Panduan Pembelajaran Qur’an Metode Yanbu’a (Arwani, 2019) menambahkan fokus hafalan dan pemantapan tajwid.

Pada 2007, H. Deden Saefuddin Mashudi mendirikan Ummi Foundation di Surabaya dan memperkenalkan Metode Ummi, yang menggabungkan talaqqi, musyāfahah, dan pembinaan guru bersertifikat (Ummi Foundation, 2022). Keberhasilan metode ini mendorong Kementerian Agama memberikan lisensi nasional bagi lembaga bersertifikat Ummi.

Metode lain yang turut berpengaruh di Indonesia ialah Al-Barqy, hasil karya KH. Muhadjir Sulthon (1965), yang bertujuan mempercepat kemampuan baca Qur’an hanya dalam 30 jam pelatihan (Sulthon, 2023).
Selain itu, Wafa (dikembangkan oleh Dr. H. Imam Muhsin di Surabaya) memperkenalkan fun learning Qur’an berbasis audio-visual (Wafa Foundation, 2021).

Dari kalangan Nahdlatul Ulama, muncul Metode An-Nahdliyah, disusun oleh LP Ma’arif NU (2003) di Jombang, yang menggabungkan bacaan cepat dan talaqqi berjenjang (Ma’arif NU, 2019).

Metode-metode kontemporer lain muncul setelah 2010, antara lain:

At-Tibyan, oleh Ustadz Abdul Basit, mengintegrasikan talaqqi, tahajji, dan tajwid dalam satu sistem (Anggriani, 2023).

Al-Husna, dikembangkan oleh tim Muhammadiyah Solo, memakai sistem “Scanning–Story–Saying” berbasis Rasm Utsmani (Setyawan, 2023).

Karimah, disusun oleh PPQ Al-Mahir Colomadu (2018), yang menekankan pendekatan suara, analogi, dan motivasi (Widodo, 2023).

Semua metode tersebut menunjukkan arah baru pendidikan Qur’an di Indonesia: lebih komunikatif, mudah, menyenangkan, tapi tetap berpegang pada prinsip tajwid.

Inovasi dan Metode Lokal di Jambi (2025)

Provinsi Jambi memiliki kekayaan tradisi Islam yang kuat, termasuk warisan pembelajaran Qur’an berbasis Baghdadiyah klasik yang dipakai di pesantren-pesantren tua seperti Pondok Al-Jauharen Seberang Kota Jambi. Tradisi ini masih dipertahankan sebagai tahap awal belajar huruf hijaiyah dan makhraj (Yunus bin Shaleh, Dilalah Al ‘Ammah, 1939).

Pada 2024, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jambi memperkenalkan Metode Hattaiyah, sebagai inovasi lokal pemberantasan buta aksara al-Qur’an. Metode ini menggabungkan talaqqi, pendekatan Baghdadiyah, dan sistem pembinaan masyarakat desa Qur’ani (Kemenag Jambi, 2025).

Selain itu, lembaga pendidikan di Jambi mengadopsi metode modern seperti Ummi, Yanbu’a, dan Tahfidz Smart Program. Pemerintah Provinsi Jambi juga mendorong program Smart-Hafal Qur’an untuk pelajar dan guru sebagai bagian dari penguatan moral dan spiritual daerah (Antara Jambi, 2025).

Inovasi Global Modern
Dalam dekade terakhir, dunia Islam juga mengenal sejumlah pendekatan modern berbasis teknologi, antaranya:

Digital Qur’an/aI- Tajwid, dikembangkan oleh King Abdulaziz University (Saudi) dan beberapa universitas Malaysia, berupa aplikasi otomatis koreksi bacaan berbasis kecerdasan buatan (al-Fadhli et al., 2023).

Hybrid/Blended Qur’an Learning, yang menggabungkan pembelajaran tatap muka dan digital (Rachmawati, 2023).

Montessori Qur’an, adaptasi prinsip Montessori ke dalam pengajaran huruf Arab dan makhraj untuk anak usia dini (Hidayati, 2022).

Tahsin Modern dan Karantina Hafalan, seperti program Rumah Tahsin Indonesia dan Pesantren Karantina Tahfidz, yang memakai sistem intensif modern (Rahman, 2024; Syarifuddin, 2023).

Naghmah (Maqamat Qur’an), seni irama yang diperkenalkan ulama Mesir dan kini diajarkan di lembaga-lembaga tilawah internasional (Khalil, 2021).

Dari metode yang berkembang di dunia, dapat disimpulkan bahwa perkembangan metode membaca al-Qur’an bergerak dari pendekatan oral klasik menuju pembelajaran interaktif dan digital. Dunia Islam memelihara tradisi sanad dan tajwid, sementara Indonesia memimpin dalam inovasi metode cepat baca seperti Iqra’, Qiro’ati, Ummi, dan Yanbu’a.

Khusus di Jambi, pembaruan lokal seperti Metode Hattaiyah menjadi contoh nyata bahwa inovasi Qur’ani dapat tumbuh dari tradisi lokal tanpa meninggalkan akar klasik Baghdadiyah. Dengan demikian, transformasi metode membaca aql-Qur’an terus berjalan, menyatukan warisan ulama klasik dengan kebutuhan pendidikan abad 21.

F. Rekomendasi

  1. Menetapkan target Jambi Bebas Buta al-Qur’an 2030.
  2. Mewajibkan jam wajib baca Qur’an harian di sekolah.
  3. Membentuk Dewan Literasi Qurani Provinsi Jambi.
  4. Mengintegrasikan CSR tambang & perkebunan dan penggalian SDA untuk Rumah Qur’an Desa.
  5. Memastikan setiap keluarga Jambi memiliki anggota yang mampu membaca, memahami dan mengajar Qur’an.
  6. Perlombaan melalui MTQ menjadi simbol dalam mensyi'arkan al-Qur'an. Namun membebaskan masyarakat dari buta al-Qur'an, jauh lebih penting dan mulia bagi pembangunan peradaban masyarakat baik duniawi maupun ukhrawi

F. Penutup

  1. Angka buta Al-Qur’an di Jambi (33%) dan pelajar SMP (51–55%) menunjukkan angka yang fantastis, sekaligus mengindikasikan krisis literasi religius yang memerlukan intervensi para pihak segera.
  2. Program nasional Kemenag dan gerakan daerah seperti Gerami serta TP-PKK menjadi fondasi kuat bagi kebangkitan Qur'ani Jambi, yang harus dikelola secara kolaboratif jadi gerakan bersama secara berkesinambungan.
  3. Potensi sosial budaya Melayu Jambi yang religius harus dimanfaatkan sebagai modal sosial dalam memasyarakatkan Qur'an dan meng-qur'ankan masyarakat Melayu yang beradat, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.

Daftar Pustaka
Buku:

  1. Hanafi, Y. (2020). Literasi Al-Qur’an: Model Pembelajaran Tahsin-Tilawah. Penerbit Akademik.
  2. Romdhoni, A. (2021). Al-Qur’an dan Literasi. Linus Publishing.
  3. Aziz, T. (2022). Literasi dalam Al-Qur’an. Penerbit Nasional.
  4. Fathurrahman, H. (2021). Metode Iqro’, Tartil, dan Tilawati dalam Pembelajaran Al-Qur’an. Penerbit Pendidikan Islam.
  5. Susanto, A. (2024). Al-Qur’an dan Literasi Digital. PT Adab Indonesia.
  6. Lukman, F. (2022). The Official Indonesian Qur’an Translation. OpenBook Publishers.
  7. Mahmudah, N. H. (2025). Inovasi Pembelajaran Al-Qur’an. Buku Bab.
  8. Komunitas PKM. (2024). Pendampingan Literasi Al-Qur’an. Penerbit Institusi.
  9. Pondok M2IQ. (2023). Model Pembelajaran dan MTQ. Penerbit Komunitas.
  10. Goodwood Institute. (2025). Acceleration Methods: Eradication of Qur’an Illiteracy. Penerbit Ilmiah.

Jurnal:

  1. Supriadi, U., et al. (2022). Al-Qur’an Literacy: A Strategy in Improving Reading Skills. IJLTER, 21(1), 323–339.
  2. Salsabila, S. (2024). Strengthening Literacy Competencies through Islamic Education. Jurnal Pendidikan Islam.
  3. Jufri, J. (2025). Pendampingan Literasi Al-Qur’an pada Anak Taman Baca. Jurnal Pengabdian Masyarakat.
  4. Zarkasi, M. et al. (2025). Literacy-based Knowledge Integration (AKMI) in Madrasah. Education Policy Journal.
  5. IIQ Jakarta. (2022). Hasil Riset Buta Aksara Al-Qur’an Nasional. IIQ Press.

Data Empiris:

  1. Kementerian Agama RI. (2023). Survei Indeks Literasi Al-Qur’an Nasional 2023.
  2. AntaraNews. (2024). Gerami: 51% Siswa SMP di Kota Jambi Tak Bisa Baca Al-Qur’an.
  3. Infopublik.id. (2024). Pemprov Jambi Gelar ToT 30 Menit Bisa Membaca Al-Qur’an.
  4. Antara Jambi. (2024). TP-PKK Jambi Fokus Pemberantasan Buta Aksara Al-Qur’an.

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network