Jambi Mengalami Inflasi 3,77%: Dampak & Solusi Efektif pada Sektor Ekonomi dan SDM Produktif di Provinsi Jambi

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Opini
IST

A. Pendahuluan
Pada September 2025 Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi melaporkan inflasi year-on-year (YoY) sebesar 3,77% dengan IHK 109,80; inflasi tertinggi tercatat di Kabupaten Kerinci (5,90%) dan terendah di Kota Jambi (3,06%). Angka ini sedikit melampaui kisaran sasaran yang dianjurkan Bank Indonesia (2,5% ±1%), sehingga menempatkan tekanan harga pada level yang perlu mendapat perhatian kebijakan baik di tataran provinsi maupun kabupaten/kota (BPS Provinsi Jambi, 2025).

Inflasi tidak sekedar soal kenaikan angka: ia mentransmisikan dampak ke biaya produksi, tingkat investasi, struktur permintaan, dan akhirnya ke kualitas serta produktivitas sumber daya manusia (human capital). Di Provinsi Jambi, ekonomi daerah yang didominasi pertanian, perkebunan, perdagangan, dan pengolahan rentan terhadap gejolak harga pangan, energi, dan biaya logistik. Tulisan ini menguraikan bagaimana inflasi 3,77% memengaruhi ekonomi produktif dan SDM produktif Jambi, pengukuran dampak, serta rekomendasi kebijakan yang mengaitkan stabilisasi harga dengan penguatan modal manusia.

B. Kerangka teoritis singkat (landasan untuk analisis)

Teori inflasi klasik dan modern menunjukkan tiga saluran utama penyebab dan transmisi: demand-pull (pergeseran permintaan agregat), cost-push (kenaikan biaya produksi), dan built-in/expectation driven inflation (inflasi berbasis ekspektasi) (Bernanke, 2022; IMF, 2022). Dalam konteks pembangunan daerah, literatur pengembangan manusia (human capital theory) menegaskan bahwa stabilitas harga memengaruhi keputusan rumah tangga untuk mengalokasikan pengeluaran antara konsumsi pokok dan investasi pada pendidikan/kesehata,komponen kunci pembentukan SDM produktif (Becker dalam literatur human capital modern; OECD, 2021). Empiris mutakhir juga mengaitkan food-inflation langsung dengan penurunan indikator investasi manusia, terutama pada kelompok berpendapatan rendah (Habib, 2025).

Dari sisi mikro-bisnis, kenaikan biaya input (energi, pupuk, transportasi) menurunkan margin profit dan likuiditas UMKM, yang memengaruhi kemampuan mereka membayar upah kompetitif, berinvestasi, atau mendanai pelatihan pekerja—semua berdampak pada produktivitas tenaga kerja (OECD, 2022). Oleh karena itu, analisis ini menghubungkan teori inflasi dan teori human capital untuk memetakan mekanisme transmisi yang relevan bagi Provinsi Jambi.

C. Mekanisme transmisi inflasi ke ekonomi produktif di Jambi

  1. Kenaikan biaya input pertanian dan industri pengolahan.
    Di Jambi, pupuk, bahan bakar, dan input agrikultur lainnya adalah bagian besar biaya produksi. Cost-push inflation menaikkan biaya per unit produksi sehingga petani/industri cenderung mengurangi intensitas input produktif atau menekan margin—mengurangi output per hektar atau per unit, menurunkan produktivitas total faktor (TFP).
  2. Erosi upah riil dan daya beli.
    Jika upah nominal tidak mengikuti laju inflasi, upah riil turun. Di Provinsi Jambi banyak pekerja berada di sektor informal (pertanian harian, perdagangan tradisional) tanpa penyesuaian upah otomatis. Penurunan daya beli mengurangi konsumsi non-pokok dan investasi rumah tangga pada pendidikan dan kesehatan.
  3. Penundaan investasi swasta.
    Ketidakpastian harga dan margin menurunkan insentif investor untuk berinjeksi modal dalam teknologi peningkatan produktivitas—efek ini menunda pergeseran ke sektor bernilai tambah tinggi.
  4. Tekanan fiskal daerah dan realokasi belanja.
    Pemerintah daerah mungkin menambah bantuan sosial untuk stabilisasi harga, namun ini dapat mengurangi ruang fiskal untuk belanja modal produktif (infrastruktur, program pelatihan). Permendagri terbaru mengatur pedoman penyusunan APBD yang memaksa keselarasan prioritas, namun tekanan tak terduga akibat inflasi dapat memaksa perubahan realokasi (Permendagri No. 15/2024).

Saluran-saluran di atas saling berinteraksi: misalnya, gangguan pasokan yang menaikkan harga pangan (cost-push) juga mendorong pemerintah daerah melakukan operasi pasar (respons fiskal) yang mempengaruhi anggaran pembangunan jangka menengah.

D. Dampak empiris terukur pada sektor-sektor produktif

Berdasarkan struktur ekonomi Jamb yang dominan pertanian/perkebuna, industri pengolahan (CPO, karet), UMKM, dan perdagangan—inflasi 3,77% memengaruhi sektor-sektor sebagai berikut:

  1. Pertanian & perkebunan. Kenaikan harga pupuk/solar dan ongkos angkut menaikkan biaya produksi. Petani cenderung mengurangi dosis input atau luas tanam, menurunkan hasil per hektar. Dampaknya bersifat langsung pada produksi komoditas primer yang menjadi basis penghidupan di banyak kabupaten.
  2. Industri pengolahan. Kenaikan biaya bahan baku dan energi menurunkan margin; produk-produk Jambi menghadapi tekanan daya saing di pasar regional.
  3. Perdagangan & UMKM. Menurunnya daya beli menurunkan volume penjualan; UMKM yang likuiditasnya tipis menunda inovasi atau pelatihan, mengurangi potensi naik-kelas usaha.
  4. Transportasi & logistik. Kenaikan BBM dan ongkos angkut mengerek biaya distribusi—mengakibatkan inflasi cost-push tambahan.

Literatur empiris nasional menunjukkan bahwa inflasi moderat-tinggi dapat menurunkan pertumbuhan PDRB regional 0,2–0,4 poin dalam jangka pendek (Fitri, 2024; Thawley, 2024), dan mengurangi TFP melalui pengurangan investasi dan penurunan kualitas input SDM (Uddin, 2025; OECD, 2021).

E. Pengaruh inflasi terhadap SDM produktif bersifat multi-dimensional:

  1. Penurunan upah riil dan kesejahteraan pekerja.
    Ketika upah riil terkikis, pekerja mengalami tekanan gizi dan kesehatan—faktor yang telah terbukti menurunkan produktivitas per jam kerja (OECD, 2021). Kelompok informal paling rentan, sehingga produktivitas sektor yang bergantung pada tenaga kerja murah dapat turun.
  2. Pengalihan pengeluaran dari investasi manusia ke konsumsi pokok.
    Rumah tangga menunda atau memangkas pengeluaran pendidikan dan kesehatan ketika harga pangan meningkat, yang pada gilirannya menurunkan akumulasi human capital jangka menengah (Habib, 2025).
  3. Keterbatasan pelatihan dan pengembangan keterampilan.
    Perusahaan dan pemerintah daerah yang menghadapi tekanan anggaran dapat memangkas program pelatihan, menghambat upskilling/reskilling yang diperlukan untuk transformasi ekonomi lokal.
  4. Migrasi tenaga kerja dan perubahan komposisi pasar tenaga kerja.
    Tekanan biaya hidup dapat memicu alih-lokasi tenaga kerja atau migrasi keluar daerah bagi pekerja yang memiliki keterampilan, menyebabkan potensi brain drain lokal.

Studi empiris terbaru (Habib, 2025; Uddin, 2025) menemukan hubungan negatif antara food inflation dan indikator investasi human capita, khususnya pada kelompok pendapatan rendah yang relevan bagi provinsi seperti Jambi dengan ketergantungan bahan pokok tinggi.

Aspek sosial-ekonomi yang memperparah atau memitigasi dampak, terdapat beberapa variabel lokal menentukan besar kecilnya dampak inflasi terhadap SDM produktif:

  1. Struktur ketenagakerjaan. Semakin besar proporsi pekerja informal, semakin besar dampak penurunan upah riil pada kualitas hidup dan produktivitas.
  2. Kapasitas fiskal daerah. Provinsi/kabupaten yang memiliki PAD relatif stabil memiliki ruang lebih untuk intervensi sosial tanpa mengorbankan belanja modal. Namun data menunjukkan ketergantungan daerah di Sumatra pada transfer pusat cukup tinggi sehingga ruang manuver fiskal terbatas (analisis fiskal regional).
  3. Keberadaan jaringan perlindungan sosial. Penyaluran bantuan yang tepat sasaran dapat meminimalkan pengalihan pengeluaran dari pendidikan/kesehatan
  4. Infrastruktur logistik dan pasar. Efisiensi rantai pasok mengurangi volatilitas harga dan memitigasi cost-push shock.

F. Solusi dan Strategi kebijakan Efektif: mengaitkan stabilisasi harga dengan penguatan SDM

Mengingat saluran transmisi di atas, strategi kebijakan harus bersifat terintegrasi: stabilisasi jangka pendek + reformasi struktural jangka menengah yang melindungi investasi manusia.

  1. Kebijakan jangka pendek (stabilisasi dan proteksi)

a. Penguatan TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah): memperkuat koordinasi BPS, Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, dan perwakilan BI di provinsi/kabupaten untuk deteksi dini dan operasi pasar. TPID menjadi instrumen utama respons cepat terhadap volatile food (dokumen praktik TPID & panduan nasional).

b. Operasi pasar & buffer stock komoditas strategis (beras, cabai, ayam) untuk menekan lonjakan harga sementara.

c. Bantuan sosial terarah untuk kelompok pekerja produktif berpendapatan rendah agar investasi pendidikan/ kesehatan rumah tangga tidak tergerus.

  1. Kebijakan menengah (supply-side dan human capital)

a. Peningkatan produktivitas pertanian melalui subsidi input produktif bersyarat, perbaikan akses kredit, dan teknologi pertanian—mengurangi volatilitas pasokan dan menurunkan biaya produksi jangka panjang.

b. Investasi infrastruktur logistik (cold chain, jalan produksi) untuk memangkas biaya distribusi dan kehilangan pascapanen.

c. Jaring pengaman pro-SDM: alokasi APBD untuk beasiswa vokasi, program peningkatan keterampilan bagi pekerja UMKM, serta pembiayaan pelatihan yang diprioritaskan pada sektor hilir yang meningkatkan nilai tambah. Pedoman penyusunan APBD (Permendagri No. 15/2024) memberikan kerangka alokasi prioritas yang dapat diarahkan untuk program ini.

  1. Kebijakan koordinatif (moneter-fiskal & komunikasi)

Koordinasi kebijakan BI-Pemda untuk mengelola ekspektasi inflasi dan penyaluran kredit produktif; komunikasi yang jelas akan membantu menstabilkan ekspektasi harga (Bank Indonesia, 2025).

G. Indikator pengukuran dan evaluasi kerercapaian kebijakan

Untuk mengukur keberhasilan, provinsi/kabupaten harus memantau secara berkala: (1) inflasi komponen pangan; (2) rasio PAD terhadap total pendapatan (kemandirian fiskal); (3) belanja modal vs belanja operasional; (4) indikator SDM: partisipasi pendidikan, indikator gizi anak, produktivitas per pekerja (output per pekerja); (5) realisasi investasi swasta dan kredit UMKM. Data-data ini dapat diselaraskan dalam dashboard TPID–BPS–Bappeda untuk evaluasi kebijakan real-time.

H. Penutup
Inflasi 3,77% di Provinsi Jambi adalah sinyal bahwa ada tekanan biaya yang harus ditangani secara cepat agar tidak mengikis produktivitas ekonomi dan modal manusia. Dampak inflasi melintasi sektor yang dapat meningkatkan biaya input, mengikis upah riil, menurunkan investasi, dan mengurangi alokasi rumah tangga pada pendidikan serta kesehatan. Oleh karena itu, respons harus terpadu: operasi pasar dan bantuan sosial jangka pendek dilengkapi dengan investasi struktural pada ketahanan pangan, infrastruktur logistik, dan program peningkatan keterampilan. Perbaikan koordinasi TPID, penggunaan pedoman APBD (Permendagri No. 15/2024), serta komunikasi kebijakan bersama BI dan pemerintah pusat menjadi prasyarat untuk menurunkan inflasi sembari menjaga perkembangan SDM produktif di Jambi.

Daftar Pustaka

  1. Bernanke, B. S. (2022). 21st Century Monetary Policy: The Federal Reserve from the Great Inflation to COVID-19. W. W. Norton & Company.
  2. Fitri, W. S. (2024). The impact of inflation on Indonesia's economic growth. International Journal of Management and Accounting Knowledge Studies, (2024). Retrieved from https://feb-unri.com/index.php/ijmaks/article/download/6/12.
  3. Habib, A. O. (2025). Income, food inflation, and human capital development. Journal of Development Economics & Policy, 2025. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2468227625004247.
  4. IMF. (2022). Global Financial Stability Report: Navigating the High-Inflation Environment. International Monetary Fund.
  5. OECD. (2021). Productivity and Human Capital. OECD Publishing. https://www.oecd.org/en/publications/productivity-and-human-capital_01ca6be9-en.
  6. Permendagri No. 15 Tahun 2024. Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (Salinan dokumen tersedia di portal keuda Kemendagri / Scribd).
  7. Thawley, C. (2024). Towards a higher growth path for Indonesia. The Ringkasan Ekonomi Indonesia, 2024. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2024.2432035.
  8. TPID. (2022). Laporan Pelaksanaan Tugas dan Pedoman TPID. (Dokumen teknis TPID/TPIN). Retrieved from TPIN and regional TPID publications.
  9. Uddin, M. R. (2025). Globalization, physical capital, and human capital nexus. Journal of Regional Development Studies, 2025. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2590051X25000176.
  10. World Bank. (2023). Inflation in Emerging and Developing Economies. World Bank Publications.
  11. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi. (2025, October 1). Inflasi year-on-year (y-on-y) Provinsi Jambi pada September 2025 sebesar 3,77 persen. https://jambi.bps.go.id/id/pressrelease/2025/10/01/802/inflasi-year-on-year--y-on-y--provinsi-jambi-pada-september-2025-sebesar-3-77-persen-.html.
  12. Bank Indonesia. (2025). Press release & news: BI stance and inflation outlook (2024–2026). Bank Indonesia. https://www.bi.go.id/en/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_2713325.aspx.

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network