PENGANGGURAN DI INDONESIA

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Opini
IST

OLEH : FAHMI RASID

"Sebuah Panggilan Nurani untuk Bangkit Bersama"

Indonesia adalah negeri yang kaya. Tanahnya subur, lautnya luas, dan jumlah penduduknya lebih dari 270 juta jiwa — sebuah potensi besar yang jika dikelola dengan bijak, bisa menjadi kekuatan ekonomi dunia. Namun, di balik potensi itu, tersimpan ironi yang masih terus menghantui: pengangguran. Bukan sekadar statistik, pengangguran adalah wajah nyata dari mimpi yang tertunda, semangat yang tertahan, dan ketimpangan yang belum selesai.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, per Februari 2025, jumlah pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 7,28 juta jiwa atau setara dengan 4,76% dari total angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang. Meskipun terjadi penurunan tingkat pengangguran dari 4,82% pada Februari 2024, tetapi secara jumlah pengangguran justru bertambah sekitar 83 ribu orang dalam setahun terakhir.

Di sisi lain, jumlah penduduk bekerja meningkat sebesar 3,59 juta orang, menjadikan total penduduk bekerja mencapai 145,77 juta jiwa (BPS, 2025). Ini menunjukkan bahwa lapangan kerja tumbuh, tetapi belum cukup cepat untuk menyerap angkatan kerja baru yang terus bertambah setiap tahun.

Lalu bagaimana di daerah? Di Provinsi Jambi, misalnya, TPT per Februari 2025 berada di angka 4,48%, naik tipis dari 4,45% tahun sebelumnya. Ini berarti, meskipun penduduk bekerja bertambah sekitar 263 ribu orang, angka pengangguran tetap belum bisa ditekan secara signifikan (BPS Jambi, 2025).

Mari kita akui bersama: pengangguran bukan hanya soal lapangan kerja, tetapi juga tentang mentalitas, disiplin diri, dan kesadaran kolektif untuk bersyukur dan bergerak bersama. Ini adalah masalah kompleks yang tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah, tetapi membutuhkan kolaborasi seluruh unsur masyarakat: dari individu, keluarga, lembaga pendidikan, pelaku usaha, hingga pemangku kebijakan.

  1. Sedikitnya Lapangan Usaha : Masalah Struktural yang Harus Dipecahkan

Fakta pertama yang sulit disangkal adalah terbatasnya lapangan kerja formal yang tersedia, terutama di sektor yang mampu memberikan penghasilan layak dan jaminan sosial. Banyak sektor industri masih stagnan atau bahkan menyusut akibat digitalisasi dan otomasi.

Padahal, dengan jumlah penduduk produktif yang terus bertambah, dunia usaha seharusnya tumbuh lebih agresif. Namun sayangnya, pertumbuhan usaha, terutama UMKM dan industri padat karya, masih menghadapi banyak kendala: dari akses permodalan, perizinan yang rumit, hingga keterbatasan pasar.

Di sinilah negara dan swasta perlu berkolaborasi lebih dalam. Pemerintah dapat mempercepat transformasi ekonomi daerah berbasis potensi lokal, mendorong digitalisasi UMKM, serta membuka akses pada kredit usaha rakyat dan inkubasi bisnis.

  1. Lulusan Berijazah yang Bingung : Pendidikan Tidak Sinkron dengan Dunia Nyata

Fenomena yang menyedihkan terjadi setiap tahun: ribuan lulusan universitas menganggur. Mereka menyelesaikan pendidikan tinggi dengan harapan besar, tetapi kenyataan tidak seindah mimpi.

BPS mencatat bahwa mayoritas pengangguran berasal dari kalangan lulusan SMA dan universitas, bukan dari mereka yang tidak sekolah. Artinya, ada kesenjangan serius antara dunia pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.

Pendidikan kita terlalu lama menekankan aspek teoritis, minim praktik. Banyak lulusan tidak tahu bagaimana menghadapi wawancara kerja, membuat portofolio, apalagi membangun jaringan dan mengembangkan diri secara mandiri.

Lebih ironis lagi, banyak dari mereka tidak siap untuk memulai dari bawah. Terlalu banyak lulusan yang “menunggu pekerjaan ideal”: gaji besar, kantor nyaman, status sosial. Mereka lupa bahwa proses tumbuh dimulai dari hal kecil. Ketika terlalu memilih, akhirnya tak memilih apa pun, dan terjebak dalam pengangguran menahun.

  1. Lemahnya Disiplin Diri : Potensi yang Gagal Dimanfaatkan

Sering kali kita menyalahkan keadaan: “tidak ada lowongan”, “tidak punya koneksi”, “pesaing terlalu banyak”. Tapi jarang yang mau mengakui bahwa masalah utama adalah kurangnya disiplin diri.

Kita hidup di era digital, di mana hampir semua skill bisa dipelajari gratis: dari desain grafis, coding, pemasaran digital, video editing, hingga bahasa asing. Namun banyak anak muda malas belajar sendiri, menunggu disuapi, dan menolak untuk terus mencoba.

Padahal, saat ini pekerjaan seperti freelancer, content creator, admin media sosial, hingga dropshipper online bisa jadi sumber penghasilan yang stabil. Tapi semuanya butuh disiplin, kesabaran, dan konsistensi, sesuatu yang justru langka.

Jika saja semua pencari kerja menyisihkan waktu 2 jam sehari untuk belajar skill baru secara konsisten, dalam 6 bulan mereka sudah punya nilai jual. Tetapi realitanya, banyak yang lebih banyak bermain ponsel, menonton hiburan, atau scrolling media sosial tanpa arah.

  1. Kurangnya Rasa Syukur : Mental Mengeluh yang Menghambat Perubahan

Di tengah semua tantangan ini, ada satu hal yang tak kalah penting: mental mengeluh dan menyalahkan semua hal di luar diri sendiri. Kita terbiasa menyalahkan pemerintah, sistem, ekonomi global, orang tua, bahkan “takdir”.

Padahal, bersyukur adalah akar dari produktivitas. Bersyukur membuat kita mampu melihat kesempatan kecil sebagai peluang besar. Bersyukur membuat kita lebih tangguh dan tidak mudah menyerah. Bersyukur membuka hati untuk belajar dan beradaptasi, bukannya marah karena kenyataan tidak sesuai keinginan.

Kita butuh generasi muda yang lebih bersyukur daripada mengeluh, lebih rajin daripada menunggu, dan lebih tahan banting daripada manja ekspektasi.

MENUJU SOLUSI :
Kerja Bersama, Bukan Salahkan Siapa-siapa

Mengatasi pengangguran bukan hanya tugas pemerintah, bukan hanya tugas anak muda, bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi tugas kita semua.

Pemerintah perlu mempercepat penciptaan lapangan kerja melalui kebijakan fiskal pro-rakyat, insentif investasi, dan dukungan terhadap sektor informal dan UMKM.

Lembaga pendidikan harus merombak sistem pengajaran agar lebih kontekstual, aplikatif, dan membangun keterampilan nyata.

Swasta dan industri perlu membuka lebih banyak program pemagangan, pelatihan kerja, serta peluang kerja berbasis hasil, bukan sekadar ijazah.

Masyarakat dan keluarga harus menanamkan nilai-nilai kerja keras, rasa syukur, kemandirian, dan kedisiplinan sejak dini.

Dan setiap individu perlu bercermin: Sudahkah saya benar-benar berusaha? Sudahkah saya membekali diri dengan keterampilan yang relevan? Sudahkah saya cukup bersyukur atas apa yang saya miliki hari ini?

PENUTUP :
Harapan Masih Ada, Tapi Harus Kita Jemput

Indonesia belum kehilangan harapan. Kita punya generasi muda yang penuh ide, teknologi yang terus berkembang, serta kekayaan budaya dan sumber daya yang melimpah. Tugas kita sekarang adalah mengubah cara pikir dan cara kerja.

Kita tidak bisa lagi hanya menjadi penonton dalam perjalanan pembangunan bangsa. Kita harus menjadi pelaku. Tidak bisa lagi menunggu “pekerjaan ideal”, kita harus menciptakan nilai. Tidak bisa lagi mengandalkan ijazah, kita harus membuktikan kemampuan.

Bangsa ini tidak akan maju karena jalan tol atau gedung pencakar langit. Ia maju karena rakyatnya kuat, disiplin, dan bersyukur.

Dan semuanya dimulai dari satu langkah: kesadaran untuk bangkit.(*)

REFERENSI

  1. Badan Pusat Statistik (BPS) RI.
    (2025, Mei 6). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025.
    Diakses dari: https://www.bps.go.id
  2. BPS Provinsi Jambi.
    (2025, Mei 6). Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jambi Februari 2025.
    Diakses dari: https://jambi.bps.go.id
  3. Antaranews.com.
    (2025, Mei 5). BPS: Angka Pengangguran di Indonesia Naik 83 Ribu Orang pada Februari 2025.
    Diakses dari: https://www.antaranews.com
  4. Bisnis.com.
    (2025, Mei 5). BPS: Jumlah Pengangguran Bertambah Jadi 7,28 Juta Orang per Februari 2025.
    Diakses dari: https://ekonomi.bisnis.com
  5. Indonesia.go.id.
    (2025, Mei). Pengangguran Terendah Sejak 1998: Ada 3,59 Juta Lapangan Kerja Baru Tercipta di 2025.
    Diakses dari: https://indonesia.go.id
  6. Jambi.antaranews.com.
    (2025, Mei 6). BPS Jambi: Jumlah Penduduk Bekerja Alami Peningkatan 263 Ribu.
    Diakses dari: https://jambi.antaranews.com
  7. Jambione.com.
    (2025, Mei 6). Ekonomi Jambi Tumbuh 4,55 Persen di Awal 2025.
    Diakses dari: https://www.jambione.com
  8. Pusat Data Kontan.
    (2025). Perbandingan Penduduk Bekerja dan Pengangguran 2019–2025.
    Diakses dari: https://pusatdata.kontan.co.id/infografik/112

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network